HomeHeadlineTrump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim bertemu kembali di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 27 Januari 2025. Mungkinkah Prabowo dan Anwar kini sedang ‘bersaing’ satu sama lain?


PinterPolitik.com

“What we’ve come through, you know we’re dangerous, Marabahaya! Essential! We’re on a revolution. Let’s come together now” – Project E.A.R., “Marabahaya” (2009)

Nina duduk di ruang tamunya yang sederhana, ditemani secangkir kopi panas dan tumpukan koran pagi. Matanya tertuju pada salah satu artikel yang cukup menarik perhatiannya: berita pertemuan antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim pada Senin, 27 Januari 2025. 

Artikel itu menyebutkan bahwa pertemuan ini adalah yang ketiga dalam enam bulan terakhir. Namun, yang membuat Nina tersentak bukanlah frekuensi pertemuan itu, melainkan analisis yang dia baca beberapa hari sebelumnya di Nikkei Asia. 

Tulisan Norman Goh pada 21 Januari 2025 menyebutkan adanya semacam “kompetisi” terselubung antara Prabowo dan Anwar. Keduanya disebut memiliki ambisi besar untuk menjadikan negara masing-masing sebagai pemain kunci di panggung internasional. Dengan mengutip sejumlah pakar, Norman bahkan menulis bahwa persaingan ini dapat menjadi ancaman bagi kesatuan ASEAN, terutama dalam menghadapi tekanan dari Tiongkok dan perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump yang baru terpilih.

Bukannya langsung setuju dengan pendapat para pakar yang dikutip dalam artikel itu, Nina justru memutar otaknya. Sambil menyeruput kopinya, ia bertanya-tanya, “Apakah benar ambisi Prabowo dan Anwar akan membawa dampak negatif bagi ASEAN? Mengapa tidak melihatnya sebagai peluang untuk memperkuat posisi ASEAN secara kolektif di tengah ketegangan geopolitik global?”

Ia bertanya lebih jauh: jika benar ada kompetisi, apakah itu selalu berarti perpecahan? Bukankah mungkin saja ambisi mereka justru menjadi dorongan untuk memperkuat kerja sama kawasan? Dengan dua pemimpin yang ambisius, bukankah ASEAN bisa menemukan cara baru untuk beradaptasi dan menjadi lebih relevan? 

Baca juga :  Menuju Senja PKS?

Dalam benaknya, Nina menyimpan pertanyaan yang lebih besar, “Bagaimana nasib ASEAN ke depannya? Apakah ini awal dari kebangkitan atau justru keruntuhan solidaritas kawasan?”

Cerita Prabowo dan Anwar Ibrahim

Bagi Nina, kehadiran Prabowo Subianto dan Anwar Ibrahim sebagai pemimpin Indonesia dan Malaysia justru menghadirkan peluang yang unik. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi akibat pengaruh Tiongkok yang intrusif dan kebijakan Donald Trump yang sering tidak terduga, kedekatan personal antara kedua pemimpin ini bisa menjadi katalis untuk memperkuat hubungan bilateral dan, lebih luas lagi, kerja sama di ASEAN.

Prabowo memiliki hubungan historis yang erat dengan Malaysia. Ia pernah tinggal di sana selama beberapa waktu dan bahkan mengakui bahwa setiap kunjungannya ke Malaysia terasa seperti pulang kampung. Hal ini mencerminkan hubungan emosional yang dapat memengaruhi diplomasi dengan cara yang lebih cair dan penuh pengertian. 

Sementara itu, Anwar Ibrahim memiliki banyak kawan di Indonesia. Ketika ia menghadapi cobaan berat dalam bentuk kasus hukum yang mengguncang karier politiknya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu tokoh Indonesia yang berdiri mendukungnya secara moral. Kedekatan ini, yang telah terjalin jauh sebelum keduanya menjadi pemimpin, menciptakan fondasi yang kokoh untuk membangun hubungan strategis yang lebih dalam.

Dalam bukunya, Soft Power: The Means To Success In World Politics, Joseph Nye Jr. menjelaskan bahwa hubungan personal dan nilai-nilai bersama dapat menjadi elemen penting dalam memengaruhi dinamika politik global. 

Nina berpikir bahwa kedekatan antara Prabowo dan Anwar adalah contoh nyata dari soft power yang bisa dimanfaatkan oleh kedua negara untuk menciptakan aliansi yang lebih kuat di tengah tantangan geopolitik. Dengan latar belakang budaya dan sejarah yang serupa, Indonesia dan Malaysia memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak integrasi ASEAN yang lebih solid.

Baca juga :  Prabowo, Trump, dan Sigma-isme

Namun, Nina tetap bertanya-tanya. Mengapa kedekatan ini menjadi penting, bahkan secara strategis dan geopolitik? Bagaimana hubungan personal ini dapat mengubah dinamika regional? Apakah ini cukup untuk meredam perpecahan di ASEAN atau justru memicu perubahan yang lebih besar?

Trump-Xi Ketar-ketir?

Nina merenungkan lebih jauh, membayangkan bagaimana harmoni antara Indonesia dan Malaysia di bawah kepemimpinan Prabowo dan Anwar dapat menjadi langkah strategis untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Dalam buku The Tragedy of Great Power Politics karya John J. Mearsheimer, konsep balancing dijelaskan sebagai upaya negara-negara untuk mengimbangi pengaruh kekuatan besar yang mencoba mendominasi. 

Bagi Nina, jika Indonesia dan Malaysia dapat bergerak seirama, mereka berpotensi menjadi kekuatan penyeimbang di tengah kompetisi geopolitik antara AS di bawah Donald Trump dan Tiongkok di bawah Xi Jinping.

Sebagai middle powers, Indonesia dan Malaysia memiliki posisi strategis yang unik. Keduanya tidak memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan global seperti AS atau Tiongkok, tetapi cukup kuat untuk memimpin kawasan Asia Tenggara. 

Prinsip ASEAN Centrality, yang menempatkan ASEAN sebagai pusat pengambilan keputusan di kawasan, hanya akan bisa diterapkan jika negara-negara utama di ASEAN, seperti Indonesia dan Malaysia, memperkuat kerja sama mereka. 

Dalam konteks Laut China Selatan (LCS), hal ini menjadi semakin krusial. Dengan posisi geografis yang strategis dan kemampuan diplomasi yang tangguh, kedua negara dapat mengarahkan ASEAN untuk menjaga stabilitas di kawasan sekaligus melindungi kedaulatan mereka dari upaya dominasi eksternal.

Nina berpikir, jika Indonesia dan Malaysia dapat mengintegrasikan kekuatan mereka—baik melalui kerja sama diplomasi maupun aliansi strategis—ASEAN akan memiliki otoritas lebih besar di kawasan mereka sendiri. Alih-alih tunduk pada kepentingan Tiongkok atau AS, ASEAN dapat menentukan narasi mereka sendiri di LCS dan isu-isu regional lainnya. Bukan begitu? (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump berniat mendirikan sovereign wealth fund (SWF). Keputusan ini dinilai jadi keputusan yang sangat besar dan berdampak ke seluruh dunia, mengapa demikian? 

Prabowo dan The Intra-Elite Enemy

Masalah penataan distribusi gas LPG 3 kilogram menjadi sorotan terbaru publik pada pemerintahan Prabowo.

Prabowo Ditantang Memecat PNS?

Diskursus efisiensi anggaran negara turut mengarah pada peringkasan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gaungnya telah lama terdengar. Ihwal yang tak kunjung terealisasi dan berubah menjadi semacam “mitos”. Beberapa sampel di negara lain seperti Argentina, Amerika Serikat, hingga Singapura kiranya dapat menjadi refleksi. Lalu, mampukah Presiden Prabowo mendobrak mitos tersebut?

Menuju Senja PKS?

Hidayat Nur Wahid (HNW) dinilai tidak sensitif terhadap penggunaan transportasi umum. Seperti Ja Rule, PKS terancam kehilangan relevansi?

Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Konsep Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump beresonansi dengan dorongan adanya keperluan konsep Make Indonesia Great Again (MIGA). Mampukah ambisi ini dijalankan? 

Amerika Sudah “Ditamatkan” Tiongkok? 

Tiongkok semakin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa menyaingi Amerika Serikat (AS). Kini, kompetisi bagi AS bahkan datang di sektor yang didominasinya, yakni dunia artificial intelligence. Lantas, mungkinkah ini awal dari kejayaan Tiongkok yang menjadi nyata? 

AHY dan Jokowi’s Bamboo Trap?

Saling lempar tanggung jawab atas polemik pagar bambu laut di pesisir Kabupaten Tangerang memunculkan satu diskursus menarik mengenai head-to-head langsung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, diskursus itu menambah probabilitas eksistensi ranjau politik Jokowi terkait dengan pengaruh pasca presidensinya. Mengapa itu bisa terjadi?

More Stories

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

Menuju Senja PKS?

Hidayat Nur Wahid (HNW) dinilai tidak sensitif terhadap penggunaan transportasi umum. Seperti Ja Rule, PKS terancam kehilangan relevansi?

Prabowo, Trump, dan Sigma-isme

Presiden AS Donald Trump disebut berjasa untuk mengembalikan TikTok agar tersedia kembali di negeri Paman Sam. Mungkinkah ini sigma-isme?