Dengarkan artikel ini:
Ribut-ribut terkait pagar bambu di laut Tangerang yang dikait-kaitkan dengan PIK 2 jadi isu menarik dalam dinamika relasi antara penguasa dan konglomerat. Ini akan jadi momen pembuktian Presiden Prabowo, seperti apa sikap dan treatment yang ia berikan pada para konglomerat, khususnya kepada Anthoni Salim dan Aguan: dua konglomerat utama di proyek PIK 2.
Relasi antara kekuasaan politik dan kapitalisme selalu menjadi sorotan di Indonesia. Apalagi jika masalah ini sudah menyangkut level penguasa di tingkat presiden, dan pengusaha di level konglomerat.
Salah satunya adalah terkait relasi antara Presiden Prabowo Subianto dengan Anthoni Salim dan Sugianto Kusuma alias Aguan, dua konglomerat yang namanya paling banyak dibicarakan dalam 2 minggu terakhir.
Ketiga tokoh ini kini berada dalam perbincangan hangat publik terkait isu besar yang sedang berkembang, yakni kasus pagar bambu sepanjang 30 kilometer di laut Tangerang yang dikaitkan dengan proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Proyek ini merupakan kolaborasi antara dua konglomerat besar, Salim dan Aguan, yang sebelumnya dikenal dekat dengan pemerintahan Joko Widodo.
Isu pagar laut ini mencuat setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa perairan di sekitar pagar laut itu telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Perusahaan dan perorangan yang memiliki SHGB dan SHM itu disebut terafiliasi dengan proyek PIK 2.
Fakta ini memunculkan pertanyaan besar karena sertifikat-sertifikat tersebut diterbitkan untuk wilayah lautan, yang jelas melanggar peraturan perundang-undangan. Penerbitan sertifikat tersebut terjadi di era Jokowi, di bawah kepemimpinan Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/Kepala BPN.
Selain persoalan hukum, dampak sosial dari kasus ini juga sangat besar. Nelayan kecil di wilayah tersebut mengeluhkan sulitnya mengakses area melaut akibat pagar bambu yang membentang di laut. Situasi ini memunculkan konflik kepentingan yang tajam antara elit kapitalis dan masyarakat kecil, menimbulkan tekanan sosial yang harus segera ditangani oleh pemerintahan baru di bawah Prabowo.
Pertanyaannya adalah akan seperti apa Prabowo sebaiknya menyikapi polemik ini?
Geliat Konglomerat
Anthoni Salim melalui Salim Group dan Sugianto Kusuma dengan Agung Sedayu Group adalah dua konglomerat besar yang memiliki hubungan erat dengan kebijakan strategis pemerintahan sebelumnya atau di era Joko Widodo.
Salim Group, yang dikenal sebagai salah satu pemain utama di sektor pangan melalui merek-merek seperti Indofood, juga memiliki pengaruh besar di sektor properti dan infrastruktur. Kedekatan politiknya memungkinkan Salim Group memperluas jaringan bisnisnya hingga mencakup proyek-proyek strategis nasional.
Di sisi lain, Sugianto Kusuma atau Aguan, pemilik Agung Sedayu Group, berperan sebagai Ketua Konsorsium Nusantara, yang menjadi wadah bagi para konglomerat untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Peran ini menggarisbawahi keterlibatan aktif Aguan dalam inisiatif besar pemerintahan Jokowi, termasuk proyek yang dirancang untuk mengubah wajah Indonesia ke depan.
Banyak yang menduga dukungan Aguan pada IKN adalah alasan mengapa pemerintahan Jokowi memberikan status Proyek Startegis Nasional (PSN) pada sebagian proyek PIK 2. Dengan status PSN ini, maka berbagai persoalan izin pembangunan akan menjadi prioritas bagi stakeholders yang berkaitan dengannya, utamanya terkait birokrasi pemerintah.
Relasi antara pemerintah dan konglomerat ini menunjukkan bagaimana kebijakan besar sering kali dirancang dengan menggandeng pengusaha sebagai mitra strategis. Namun, pola seperti ini juga berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum dan konflik kepentingan.
Kasus pagar laut di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang melibatkan Salim dan Aguan, menjadi contoh bagaimana hubungan antara kekuasaan dan kapitalisme dapat menciptakan dinamika rumit yang berdampak luas, baik secara sosial maupun politik.
Prabowo Bagaimana?
Sebagai presiden baru, Prabowo menghadapi dilema besar dalam menentukan sikap terhadap kasus PIK 2. Di satu sisi, ia perlu menjaga hubungan baik dengan Salim dan Aguan, mengingat peran besar mereka dalam ekonomi nasional. Di sisi lain, ia harus menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat kecil, terutama nelayan, untuk menjaga legitimasi politiknya.
Langkah pertama yang dapat diambil Prabowo adalah meninjau ulang sertifikat SHGB dan SHM yang diterbitkan untuk wilayah laut. Keputusan ini tidak hanya akan mengembalikan kepercayaan publik tetapi juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum. Namun, langkah ini tentu memiliki risiko, terutama jika menimbulkan ketegangan dengan para konglomerat.
Untuk memahami dinamika ini, teori kapitalisme negara dapat menjadi landasan analisis. Menurut Fred Block, kapitalisme negara adalah situasi di mana negara memainkan peran aktif dalam memfasilitasi akumulasi kapital oleh elite tertentu.
Dalam konteks Indonesia, pola ini terlihat jelas dalam hubungan antara pemerintah dan konglomerat besar seperti Salim dan Aguan. Kebijakan seperti pembangunan IKN adalah contoh nyata bagaimana negara memanfaatkan sumber daya publik untuk kepentingan segelintir elite.
Selain itu, Karl Polanyi dalam The Great Transformation menyoroti bagaimana kapitalisme sering kali menciptakan “fictitious commodities”, seperti tanah dan laut, yang seharusnya tidak dikomodifikasi. Kasus PIK 2 menunjukkan bagaimana wilayah laut diubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, merugikan masyarakat kecil seperti nelayan.
Pendekatan lain adalah teori politik simbolik oleh Murray Edelman, yang menjelaskan bagaimana pemimpin dapat menggunakan tindakan simbolis untuk membangun legitimasi. Dalam hal ini, Prabowo dapat memanfaatkan politik simbolik dengan mengambil tindakan tegas terhadap kasus PIK 2, seperti membatalkan sertifikat yang bermasalah dan memperbaiki akses bagi nelayan.
Kasus pagar laut di PIK 2 adalah ujian awal bagi pemerintahan Prabowo. Bagaimana ia menangani isu ini akan menentukan arah relasi antara kekuasaan politik dan kapitalisme di Indonesia.
Jika Prabowo memilih untuk melanjutkan pola relasi Jokowi dengan konglomerat besar, maka kapitalisme negara akan tetap menjadi ciri utama. Namun, jika ia mengambil langkah tegas untuk melindungi kepentingan masyarakat kecil, maka Indonesia mungkin akan memasuki era baru yang lebih berkeadilan.
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan Prabowo. Apakah ia akan membangun konsensus antara elite dan rakyat kecil, ataukah ia akan terjebak dalam dinamika “segitiga api” antara kekuasaan, kapitalisme, dan keadilan sosial. Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi penentu masa depan politik dan ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)