Pernyataan Airlangga Hartarto tentang dukungan Jokowi untuk Khofifah membuka lembar kusut hubungan sang presiden dengan Megawati Soekarnoputri. Pertanyaan mencuat, akankah negativisme “petugas partai” masih berlanjut, atau Jokowi telah mendapatkan pilihan politik alternatif?
PinterPolitik.com
“We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual.”
:: Henry John Temple Palmerston (1784-1865), politisi Inggris ::
[dropcap]K[/dropcap]isah tentang koalisi untuk kekuasaan dan pengkhianatan politik di belakangnya memang telah menjadi penghias buku-buku sejarah. Bab-bab berdebu persekutuan Konstantin Agung dan Licinius melawan Maxentius untuk menyatukan seluruh Romawi merupakan salah satunya. Maxentius berhasil dikalahkan, namun Konstantin justru berbalik mengalahkan Licinius sang sekutu dan menguasai Romawi di bawah panji kekuasaan tunggal. Tak ada sekutu yang abadi.
Kisah from ally to enemy atau dari sekutu berubah jadi musuh ini juga sama seperti hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet pada Perang Dunia II. Sebagai pemenang perang, keduanya menjadi penentu frame politik internasional, namun persaingan mengubah dua entitas itu menjadi musuh, bahkan hingga saat ini.
Kini, kisah from ally to enemy itu berpeluang terjadi dalam politik Indonesia. Adalah hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan patron politiknya, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang mendapatkan sorotan belakangan ini.
Hampir semua orang memang mengidentikkan Jokowi dengan Megawati dan PDIP, begitupun sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri, faktor posisi PDIP yang menjadi pengusung utama Jokowi sejak Pilpres 2014 lalu menjadi alasan mengapa kedua entitas tersebut selalu saling diasosiasikan.
Namun, faktanya, kebijakan dan jalan politik Jokowi selama berkuasa tidak selalu beriringan dengan Megawati dan PDIP, bahkan tidak jarang kedua kubu ini malah saling bertolak belakang satu dengan yang lain.
Fenomena terbaru terjadi sebelum Pilgub Jawa Timur (Jatim). Adalah pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto yang mengklaim bahwa Presiden Jokowi mendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak pada gelaran pemilihan kepala daerah provinsi paling timur Pulau Jawa tersebut.
Inilah yang terjadi jika demokrasi tidak matang, demokrasi menjadi menyebalkan.
Demokrasi itu jangan baperan, biar terasa asik dan adem.@PDI_Perjuangan @DPP_Golkar— Aryoko (@J_Aryoko) June 26, 2018
Airlangga mengklaim bahwa Jokowi menyebut dukungan untuk calon kepala daerah tidak harus terjadi berdasarkan kesamaan partai politik. Pernyataan tersebut tentu mengejutkan, mengingat pada Pilgub Jatim, PDIP justru mendukung pasangan Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno.
Sontak, pernyataan Airlangga itu membuat PDIP kebakaran janggut. Partai banteng itu menuduh Airlangga sengaja mengadu domba Mega dengan Jokowi.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, pernyataan Airlangga ini sebetulnya bukan sesuatu yang aneh, mengingat portal berita Singapura The Straits Times juga menyebutkan bahwa hal yang sama terjadi di Jawa Barat. Jokowi disebut-sebut lebih condong mendukung Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum yang disebut sebagai “sekutu” sang presiden, ketimbang mendukung pasangan yang diusung PDIP, TB Hasanuddin dan Anton Charliyan.
“Friksi” – jika mau disebut demikian – yang terjadi antara Jokowi dengan Mega ini memang melahirkan perdebatan. Akankah keduanya pecah kongsi dalam tajuk political betrayal dan berpisah pada Pilpres 2019 nanti?
Riak Retak “Petugas Partai”
Istilah “petugas partai” adalah frasa sekaligus predikat yang mungkin pertama kali digunakan oleh Megawati Soekarnoputri ketika ia mengritik kader-kader PDIP yang disebutnya berjalan sendiri.
Ironisnya, istilah itu justru ditujukan kepada Jokowi, kader yang setia mencium tangan Mega setiap kali bertemu. Faktanya, hubungan Jokowi dengan Mega dalam tajuk “petugas partai” itu berjalan layaknya konotasi negatif dari pemaknaan istilah tersebut.
Hubungan yang cenderung negatif di antara kedua tokoh ini sebenarnya bisa dimaklumi. Pada Pilpres 2014 lalu beredar selentingan yang menyebutkan bahwa Jokowi sebetulnya bukan kader asli PDIP, sekalipun mantan Wali Kota Solo itu kemudian resmi menjadi anggota partai banteng.
Perdebatan tersebut muncul di forum-forum diskusi di dunia maya, termasuk lewat munculnya kelompok kader PDIP yang tidak menyetujui pencalonan Jokowi karena alasan status kader Jokowi tersebut. Kelompok yang menyebut diri Banteng Anti Jokowi – yang entah mengapa disingkat BAJAK dan bukan BAJOK – ini justru mendeklarasikan dukungan terhadap Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.
Hal ini membuat Jokowi dianggap sebagai tokoh yang lebih kuat berafiliasi dengan para relawan pemenangannya yang notabene mayoritas bukan bagian dari partai politik, termasuk dari PDIP sendiri.
Kemasan politik Jokowi yang muncul dengan blusukan dan mobil Esemka-nya, serta citra politik bersih dari korupsi, justru menjadi kekuatan politik personal yang lebih kuat, ketimbang citra PDIP sebagai partai nasionalis-Soekarnois yang mengusung pria kurus itu.
Latar belakang Jokowi inilah yang salah satunya melahirkan friksi di bulan April 2015, ketika PDIP dan Megawati mengritik Menteri BUMN, Rini Soemarno yang disebut lebih banyak mengangkat relawan Jokowi sebagai komisaris BUMN, ketimbang dari kader PDIP. Latar “kecemburuan” politik dianggap sebagai salah satu alasannya.
Rini memang awalnya dekat dengan Mega, namun ia bukanlah kader PDIP dan dianggap sebagai salah satu menteri yang paling dekat dengan Jokowi, serta berasal dari barisan relawan sang presiden. The Straits Times sempat menulis bahwa Rini adalah tokoh yang dekat dan didukung oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono.
Jika ditilik lebih ke belakang, pada Pilpres 2014 Jokowi sempat dikabarkan bertengkar dengan putri Megawati, Puan Maharani. Pemberitaan tentang hal tersebut dimuat di The Jakarta Post dan memunculkan riak-riak di antara Jokowi dengan Megawati.
Kemudian, hubungan yang panas juga terjadi di seputaran kasus pengangkatan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri yang dibatalkan oleh Jokowi. Dalam rekaman percakapan Setya Novanto terkait kasus “Papa Minta Saham”, disebut-sebut bahwa Mega marah besar atas pembatalan tersebut.
Bukan rahasia jika Mega memang cukup dekat dengan BG yang kini menjabat sebagai Kepala BIN. Panas-dingin hubungan ini terus mewarnai pemerintahan Jokowi, termasuk terkait isu di seputaran inner circle kekuasaan Jokowi.
Pada Agustus 2017 lalu juga sempat beredar isu bahwa PDIP justru sedang berupaya mencari sosok lain sebagai capres untuk Pilpres 2019 karena Jokowi dianggap sebagai sosok yang mbalelo atau keras kepala. Isu tersebut muncul dari internal partai banteng itu sendiri, walaupun kemudian perlahan surut dari pemberitaan.
Kerap tampil bersama di hadapan media, dan seolah menampilkan posisi keduanya sebagai oligark dan tangan politiknya, nyatanya hubungan Mega dan Jokowi memang masih berputar pada negatifnya konotasi “petugas partai”. Awal tahun ini, istilah tersebut kembali disinggung Mega di dalam salah satu pidato politiknya.
wah semakin tipis kemungkinan dong duet Jokowi-Mahfud.
— feko supriyadi (@fekowords) June 27, 2018
Beredar kabar bahwa pernyataan Mega ini dikeluarkan karena Jokowi mendukung pasangan lain di Pilgub Jatim, dalam hal ini Khofifah sang mantan Menteri Sosial. Dengan demikian, pernyataan Airlangga Hartarto memang bukanlah isapan jempol semata. Menteri Perindustrian itu tahu betul apa yang diucapkannya, dan reaksi yang muncul dari PDIP menandakan partai itu tidak nyaman.
Pihak Istana memang membantah apa yang diklaim Airlangga, namun yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah Sekretaris Kabinet, Pramono Anung yang notabene adalah kader PDIP. Yang jelas, PDIP dan Jokowi memang menikmati simbiosis mutualisme yang terjadi di antara mereka. Persoalannya, sampai kapan hubungan yang penuh konotasi negatif ini akan bertahan?
Political Betrayal, Akhir Lakon “Petugas Partai”?
Akankah hubungan politik Mega dan Jokowi berakhir? Akankah terjadi political betrayal – pengkhianatan politik – di antara dua faksi politik ini?
Faktanya, political betrayal antara Mega dan Jokowi sangat mungkin terjadi. Dalam politik, tidak ada musuh dan kawan yang abadi – demikian kata politisi Inggris di era Ratu Victoria, Henry John Temple Palmerston di awal tulisan ini. Oleh karena itu political betrayal Jokowi-Megawati sangat mungkin terjadi.
Nachman Ben-yehuda dalam bukunya yang berjudul Betrayal and Treason, Violations of Trust and Loyalty menyebutkan bahwa ada tiga hal yang mengindikasikan ada tidaknya betrayal. Tiga hal itu adalah moral, loyalitas, dan kepercayaan. Ketiga faktor tersebut menjadi indikasi ada tidaknya sebuah “pengkhianatan politik”.
Dalam konteks hubungan Mega dan Jokowi, secara moral keduanya masih saling menghormati posisi masing-masing – mungkin bisa dilihat dari aksi-aksi simbolik Jokowi yang katakanlah masih mencium tangan Mega hingga saat ini. Namun, secara loyalitas dan kepercayaan, keduanya sangat mungkin berbalik satu dengan yang lain.
Bukan tidak mungkin Jokowi ingin posisi yang lebih setara, tidak sekedar sebagai “petugas partai” yang membuatnya terbelenggu dalam kepentingan Mega dan PDIP. “Petugas partai” adalah terminologi yang sangat inferior. Jokowi hanya dipandang sebagai “alat partai”, sementara kekuasaan tetap ada di partai – dalam hal ini tentu saja pemimpin partai.
Dengan kata lain, “petugas partai” secara kasar berarti “alat atau boneka” pemimpin partai. Predikat ini tentu membuat Jokowi tidak leluasa menjalankan pemerintahannya. Dengan latar kekuatan politik sebagai orang yang mulanya berasal dari luar partai, jelas Jokowi ingin keluar dari belenggu tersebut.
Saya lbh percaya mas Airlangga dr pd tokoh2 senior Golkar
— Maestro (@indraagnw) June 26, 2018
Munculnya Golkar yang belakangan menjadi begitu dekat dengan sang petahana dan menjadi partai paling awal yang mendeklarasikan pencapresan Jokowi, membuat posisi politik sang presiden menjadi sangat kuat di hadapan PDIP. Jokowi punya alat bargaining ketika “dipaksa” PDIP untuk melakukan ini dan itu. Kini, Jokowi telah punya kendaraan politik sendiri melalui Golkar yang adalah partai kedua terbesar di bawah PDIP.
Maka, jika PDIP memaksakan kebijakan politik tertentu, misalnya dalam hal sosok cawapres untuk Pilpres 2019, boleh jadi Jokowi akan mengalihkan posisi politiknya ke partai lain – dalam hal ini Golkar. Posisi tersebut juga akan sangat menguntungkan Jokowi, apalagi jika partai lain seperti si biru Demokrat ikut masuk mendukung Jokowi.
Jika hal ini yang terjadi, maka kisah political betrayal menjadi benar-benar nyata. Kasus Pilgub Jabar dan Jatim adalah dua langkah awal yang telah dilakukan Jokowi. Persoalannya tinggal apakah aksi “paksa-paksa” itu terjadi lagi dan membuat Jokowi berpaling dari PDIP? Menarik untuk ditunggu. (S13)