Dengarkan artikel ini:
Saat sebagian publik berspekulasi tentang reshuffle kabinet Prabowo Subianto yang mulai ramai dibicarakan di awal masa pemerintahannya, muncul narasi menarik dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman. Dalam sebuah forum sarasehan aktivis, ia menyebut bahwa Prabowo memiliki semacam indra keenam.
Indra keenam yang dimaksud bukan dalam pengertian mistis, tapi sebagai bentuk intuisi politik yang tajam untuk mendeteksi siapa di antara para pembantunya yang hanya pandai “mengolah”—yakni membuat laporan seolah-olah bagus padahal aslinya tidak ada kerja nyata.
Menurut Habiburokhman, menteri-menteri yang akan rapat dengan Prabowo sampai gemetar kalau merasa telah melakukan kesalahan. Bukan karena Prabowo galak, melainkan karena mereka sadar tak bisa menipu atau menari-nari di depan seorang pemimpin yang disebut mampu membaca gerak-gerik, bahasa tubuh, bahkan sinyal kecil dari para oportunis kekuasaan.
Ucapan ini menyiratkan bahwa reshuffle di era Prabowo bukan hanya soal teknokrasi dan indikator kinerja, tetapi tentang siapa yang benar-benar nyambung dengan sang presiden—baik secara visi, moral, maupun aura politik.
Pernyataan ini tentu menarik untuk dibaca lebih dalam. Apakah benar Prabowo punya semacam “detektor moral” di sekelilingnya? Apakah reshuffle yang sedang digodok akan jadi semacam upacara spiritual untuk menyucikan barisan pembantu istana dari para “tukang olah”? Atau, jangan-jangan ini hanya narasi romantik untuk membungkus praktik kekuasaan yang sebenarnya jauh lebih keras dan penuh kalkulasi?
Patronase, Machiavelli, dan Panggung Politik
Untuk memahami fenomena “indra keenam” Prabowo, kita perlu menempatkannya dalam tiga kerangka besar dalam studi politik: patronase dan kecocokan personal, kepemimpinan Machiavellian, serta teori performativitas kekuasaan. Ketiganya bukan sekadar teori yang abstrak, tapi lensa untuk membaca bagaimana seorang pemimpin memilih, mengganti, dan menguji orang-orang di sekelilingnya.
Yang pertama soal patronase politik. Dalam politik Asia Tenggara, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner menyebut praktik patronase sebagai pilar utama pembentukan kekuasaan. Pemimpin bukan hanya memilih orang karena prestasi administratif, tetapi karena loyalitas, kesetiaan emosional, dan kecocokan intuitif—semacam chemistry spiritual antara patron dan klien. Di titik ini, reshuffle bukan soal angka atau grafik kinerja, tapi soal “rasa”.
Dalam sistem semacam ini, pemimpin seperti Prabowo menjalankan apa yang oleh sebagian ilmuwan disebut intuitive leadership. Ia tidak perlu duduk berjam-jam membaca laporan Bappenas untuk tahu siapa yang bohong. Cukup dari sikap, sinyal mikro dalam ucapan, atau bahkan dari cara seseorang menyodorkan proposal program. Aura itu terasa. Rasa tidak enak itu muncul. Dan bagi pemimpin dengan jam terbang tinggi seperti Prabowo, perasaan semacam itu adalah alat politik paling tajam.
Narasi “indra keenam” menjadi penanda bahwa kekuasaan bukan hanya rasional dan terukur, tetapi juga metafisik dan afektif. Prabowo tidak hanya ingin orang yang bisa kerja. Ia ingin orang yang bisa nyambung batin dengan dirinya.
Yang kedua adalah dalam kerangka piker Machiavellian. Jika dibaca dari kacamata Niccolò Machiavelli, reshuffle adalah panggung untuk menguji siapa yang betul-betul loyal dan siapa yang hanya ikut rombongan karena angin politik sedang bagus.
Dalam The Prince, Machiavelli menyarankan agar penguasa tidak mudah percaya kepada para pembantunya. Sebab di balik senyum dan sumpah setia, selalu ada peluang pengkhianatan. Maka, menggoyang kursi para menteri adalah cara untuk melihat siapa yang tetap setia bahkan ketika jabatannya terancam.
Dalam konteks Prabowo, “indra keenam” itu bisa dibaca sebagai political sensitivity—kepekaan yang dilatih dari puluhan tahun berada di teater kekuasaan. Ia tahu mana menteri yang diam-diam membangun jaringan sendiri, mana yang mulai berselingkuh dengan kekuatan luar, dan mana yang tetap menjaga garis komando meski tidak populer.
Habiburokhman menyebut bahwa tidak ada yang berani “minta-minta proyek” ke Prabowo. Ini bukan hanya soal ketegasan moral, tetapi juga cara seorang Machiavellian memastikan bahwa dirinya tidak dikelilingi oleh pembantu yang berani bermain dua kaki. Ancaman reshuffle menjadi semacam ritual pembersihan dan pengujian. Siapa yang tetap diam dan patuh, mungkin akan selamat. Tapi yang panik, goyah, dan mulai melobi kiri-kanan, akan segera terbaca oleh radar Prabowo.
Yang terakhir, soal kepemimpinan performatif. Teori terakhir yang bisa membantu membaca “indra keenam” Prabowo datang dari sosiolog seperti Erving Goffman dan Jeffrey Alexander. Mereka melihat politik sebagai drama besar. Para aktor—dalam hal ini menteri-menteri dan pejabat tinggi—tidak hanya diuji dari substansi kerja mereka, tetapi juga dari cara mereka tampil di panggung kekuasaan.
Prabowo bukan hanya seorang presiden, tetapi juga aktor utama dalam pertunjukan politik nasional. Maka, orang-orang yang ia pilih harus mampu ikut bermain di atas panggung itu. Mereka harus bisa menjaga citra, menenangkan konflik, membawakan narasi, dan berbicara dengan gaya yang cocok dengan garis besar pertunjukan. Dalam kerangka ini, reshuffle bukan hanya soal siapa yang gagal kerja, tapi juga siapa yang gagal acting dengan baik.
“Indra keenam” Prabowo bekerja sebagai sensor performatif. Ia tahu siapa yang tidak bisa tampil tenang di saat krisis. Ia tahu siapa yang hanya terlihat cakap ketika kamera menyala, tapi panik di ruang rapat. Dan yang paling penting, ia tahu siapa yang menyampaikan visinya dengan penuh ketulusan, dan siapa yang sekadar lip-sync kebijakan.
Kabinet Besar dan Ujian Sesungguhnya
Dengan total 48 menteri dan 56 wakil menteri, Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran adalah kabinet terbesar sejak era Orde Baru. Di tengah komposisi yang gemuk ini, narasi “indra keenam” menjadi penting untuk menjawab satu pertanyaan kunci: apakah Prabowo benar-benar bisa menjaga efektivitas pemerintahan dengan barisan sebesar ini?
Jawabannya tidak sederhana. Di satu sisi, intuisi politik Prabowo memang bukan sembarangan. Ia sudah malang melintang di dunia kekuasaan sejak puluhan tahun lalu, mengenal elite politik hampir di seluruh spektrum, dan punya tim-tim intelijen informal yang tak terlihat publik. Di sisi lain, kompleksitas politik di kabinet ini juga tidak bisa diremehkan. Ada kepentingan partai, bisnis, loyalis Jokowi, relawan Gibran, dan berbagai faksi kecil yang saling bertaut.
Di tengah semua itu, kemungkinan munculnya para “tukang olah” nyaris tak terhindarkan. Orang-orang yang pandai menyusun presentasi, rajin unggah kegiatan ke media sosial, tetapi sebenarnya hanya jadi perpanjangan tangan kepentingan tertentu. Dan justru dalam kondisi seperti inilah reshuffle menjadi ujian sejati atas kemampuan Prabowo menjaga integritas pemerintahan.
Jika reshuffle hanya dijadikan alat tukar kekuasaan antar elite, maka narasi indra keenam akan menjadi mitos kosong. Tapi jika benar bahwa Prabowo bisa melihat lebih dalam dari sekadar CV dan laporan program, maka reshuffle bisa menjadi instrumen penyucian politik. Ia bisa menyingkirkan aktor-aktor yang hanya berpura-pura kerja, dan mengganti mereka dengan figur-figur yang benar-benar bisa menjaga ritme pemerintahan dan stabilitas nasional.
Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan: bahkan pemimpin dengan intuisi tajam pun bisa salah menilai. Politik bukan ilmu pasti. Loyalitas bisa berubah. Aktor politik bisa memainkan peran ganda. Dan intuisi, sekuat apa pun, tetap rentan terhadap manipulasi.
Pada akhirnya reshuffle di era Prabowo bukan hanya soal siapa yang masih layak duduk di kursi empuk kabinet. Ini soal pertaruhan besar antara intuisi dan kalkulasi, antara rasa dan realitas. Narasi “indra keenam” Prabowo—jika memang benar adanya—menjadi gambaran tentang bagaimana pemimpin di era ini dituntut tidak hanya pintar dan tegas, tapi juga sensitif secara politik, moral, dan sosial.
Prabowo sedang memainkan peran ganda: sebagai patron yang memilih dengan rasa, sebagai penguasa Machiavellian yang menguji loyalitas, dan sebagai aktor utama yang harus menjaga performa seluruh panggung kekuasaan tetap konsisten di mata publik. Reshuffle bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari babak baru dalam drama kekuasaan.
Apakah ia berhasil? Hanya waktu, dan publik yang waspada, yang bisa menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)