90% aktivitas perdagangan dunia dilakukan melewati jalur laut. Menariknya, Tiongkok kini jadi salah satu negara dengan pengaruh terbesar di sektor ini. Bagaimana dampaknya terhadap konstelasi geopolitik global?
Dalam diskursus publik tentang perdagangan global, perhatian biasanya tertuju pada negara eksportir terbesar atau perang tarif antar negara adidaya. Namun, ada satu aspek yang kerap luput dari sorotan: siapa yang sebenarnya mengendalikan logistik perdagangan global? Pertanyaan ini penting karena sekitar 90% volume perdagangan dunia diangkut lewat laut. Maka, aktor yang menguasai logistik laut sejatinya memainkan peran sentral dalam sistem ekonomi global.
Saat ini, lima perusahaan pelayaran kontainer terbesar dunia berdasarkan kapasitas TEU (twenty-foot equivalent unit) adalah: MSC (Swiss-Italia), Maersk (Denmark), CMA CGM (Prancis), COSCO Shipping (Tiongkok), dan Hapag-Lloyd (Jerman). Di atas kertas, Tiongkok hanya berada di posisi keempat melalui COSCO. Jika hanya melihat ranking, kita bisa saja menyimpulkan bahwa dominasi Tiongkok masih di bawah negara-negara Eropa.
Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks—dan menarik. Di balik ketidakseimbangan angka ini, Tiongkok justru memiliki kuasa yang luar biasa besar dalam ekosistem perdagangan laut. COSCO adalah perusahaan milik negara. Lebih dari itu, Tiongkok juga terlibat dalam pembangunan dan kepemilikan pelabuhan di seluruh dunia, serta menjadi produsen utama kapal-kapal dagang.
Dengan kata lain, Tiongkok mungkin bukan pemilik kapal terbanyak, tetapi bisa jadi ia adalah pihak yang paling banyak mengendalikan arah jalur logistik global. Pertanyaannya: bagaimana bisa sebuah negara mengatur ekonomi dunia hanya lewat kapal dan pelabuhan? Dan apa dampak politik dari strategi semacam ini?

Menguasai Laut Tanpa Perang
Untuk memahami kekuatan Tiongkok dalam perdagangan global, kita harus melihatnya dari dimensi yang lebih luas ketimbang sekadar kapasitas kapal kontainer. Menurut UNCTAD (2023), Tiongkok memproduksi lebih dari 51% kapal dagang dunia. Artinya, setengah dari kapal-kapal yang lalu lalang di perairan internasional berasal dari galangan kapal di Shanghai, Dalian, atau Guangzhou. Ini menciptakan ketergantungan sistemik terhadap industri maritim Tiongkok.
Namun kekuasaan Tiongkok tidak berhenti di pabrik. Menurut laporan Council on Foreign Relations (2024), Tiongkok memiliki saham besar di setidaknya 129 pelabuhan di seluruh dunia. Ini termasuk pelabuhan strategis seperti Piraeus di Yunani, Hambantota di Sri Lanka, dan Djibouti di Tanduk Afrika. Dengan pengaruh langsung atas pelabuhan-pelabuhan ini, Tiongkok memiliki leverage atas jalur suplai internasional, termasuk bahan pangan, energi, dan produk industri.
Dari kacamata politik, ini adalah bentuk geoekonomi yang sangat strategis. Menurut teori realisme struktural, negara berupaya mengamankan posisinya dalam sistem internasional dengan memaksimalkan kontrol atas sumber daya dan infrastruktur kunci. Shipping dan pelabuhan adalah sarana untuk itu. Kendali atas pelabuhan bukan sekadar aset bisnis, melainkan juga alat negosiasi politik—bahkan alat tekanan jika diperlukan.
Mengapa shipping penting secara politis? Karena dalam krisis, seperti saat pandemi Covid-19, negara yang menguasai rantai logistik dapat menentukan siapa yang mendapat prioritas pasokan. Bantuan medis, bahan makanan, dan alat kesehatan tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga siapa yang mendapatkannya lebih dulu. Negara seperti Tiongkok, dengan kendali atas kapal dan pelabuhan, bisa memengaruhi distribusi tersebut secara global.
Dengan infrastruktur maritim yang masif, Tiongkok juga bisa mengatur rute-rute dagang baru seperti Belt and Road Initiative (BRI), memperluas jejaringnya ke Afrika, Asia Tengah, dan bahkan Eropa Timur. Ini memberikan Tiongkok ruang untuk mempengaruhi politik dalam negeri negara mitra, misalnya melalui utang pelabuhan, hak guna, atau investasi infrastruktur.
Maka, dominasi shipping bukan semata urusan ekonomi, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan global baru yang dirancang Tiongkok. Tanpa menembakkan satu peluru pun, mereka bisa memengaruhi arah logistik, negosiasi perdagangan, bahkan arah politik negara lain. Kekuasaan ini sunyi, tapi sangat nyata.

Kuasa Laut vs Dominasi Militer?
Meski Tiongkok kini menjadi pemain sentral dalam logistik perdagangan global, ada satu batas yang belum bisa mereka lewati: status sebagai adidaya penuh. Sebab dalam sistem internasional saat ini, dominasi geoekonomi belum cukup untuk menggantikan kekuatan hard power, terutama kekuatan militer.
Amerika Serikat (AS) masih mempertahankan jaringan pangkalan militer terbesar di dunia, termasuk di kawasan strategis seperti Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudra Hindia, hingga Teluk Persia. AS memiliki Angkatan Laut terbesar dan paling canggih, dengan kapal induk, armada tempur, dan kapal selam nuklir yang mampu menjangkau semua titik vital perdagangan dunia. Ketika terjadi ketegangan atau konflik terbuka, kendali atas keamanan jalur laut global masih di tangan Washington, bukan Beijing.
Bahkan dalam konteks logistik, banyak perusahaan pelayaran tetap bergantung pada sistem keamanan dan peraturan maritim internasional yang didominasi negara Barat, termasuk konvensi IMO (International Maritime Organization) dan sistem asuransi berbasis dolar. Dalam hal ini, Tiongkok masih bermain dalam sistem yang dibangun Barat, bukan menciptakan sistem alternatif.
Kesimpulannya, dominasi Tiongkok dalam dunia shipping mencerminkan strategi jangka panjang berbasis ketergantungan ekonomi, bukan dominasi militer langsung. Ini adalah permainan kekuasaan yang cerdik—menanam investasi di pelabuhan, memproduksi kapal, membangun relasi dagang yang mengikat. Namun, selama mereka belum menggeser dominasi militer dan peraturan global, kekuasaan mereka tetap bersifat terbatas.
Tiongkok hari ini adalah penguasa logistik dunia, tapi belum jadi penguasa dunia. Power play mereka efektif, namun belum absolut. Yang menjadi pertanyaan: apakah langkah berikutnya adalah memperkuat militer dan diplomasi, ataukah mereka akan tetap bermain dalam arena geoekonomi yang senyap tapi mengikat?
Satu hal pasti: masa depan perdagangan global tidak akan lagi diputuskan di meja perundingan dagang, melainkan di pelabuhan-pelabuhan dan jalur pelayaran. (D74)