Dengarkan artikel ini:
Gosip soal pergantian Kapolri – dan Panglima TNI – memang terus berhembus di media sosial. Menuju 1 tahun pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan terjadi dalam 4 bulan lagi, tentu dua posisi ini sangat vital bagi Presiden Prabowo. Bagaimanapun juga, mantan Danjen Kopassus itu harus memastikan bahwa sosok-sosok yang ia pilih benar-benar bisa bersinergi dan mengawal kekuasaannya serta program-programnya.
Setelah setengah tahun kekuasaan Prabowo-Gibran berjalan, publik kini kembali dihadapkan pada manuver kekuasaan yang halus namun menentukan: isu pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Panglima TNI. Meskipun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru akan pensiun secara resmi pada 2027, spekulasi soal perombakan sudah santer terdengar. Begitu pula dengan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang juga masih menjabat. Namun dalam politik kekuasaan, usia pensiun bukanlah jaminan kelangsungan jabatan.
Untuk Kapolri misalnya, tiga nama mulai mencuat ke permukaan, masing-masing membawa profil yang menarik. Yang pertama ada Komjen Rudy Heriyanto, kini Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, dikenal karena karier panjangnya di bidang reserse.
Lalu ada Irjen Rudi Darmoko, Kapolda NTT yang dikenal sebagai Adhi Makayasa Akpol 1993 dan disebut-sebut punya kedekatan personal dengan Prabowo karena jejak sang ayah di Kopassus. Terakhir, ada Komjen Albertus Rachmad Wibowo, Wakil Kepala BSSN yang juga berasal dari jalur reserse dan disebut potensial menjadi Wakapolri.
Dalam konteks politik Indonesia, posisi Kapolri dan Panglima TNI bukan sekadar jabatan administratif. Keduanya adalah instrumen kekuasaan yang krusial, penjaga stabilitas, pengendali keamanan, sekaligus jembatan antara negara dan aparat bersenjata. Karena itu, tidak mengejutkan jika Presiden baru seperti Prabowo ingin menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi strategis ini.
Namun, keputusan ini juga penuh dilema. Jika Prabowo mengganti Listyo Sigit atau Agus Subiyanto terlalu dini, ia akan dianggap tidak menghormati norma kelembagaan. Sebaliknya, jika ia mempertahankan mereka terlalu lama, ia akan terus dibayang-bayangi oleh tudingan bahwa aparat keamanan masih dalam pengaruh “rezim lama”.
Terlebih, narasi “Partai Cokelat” yang menyindir kedekatan Polri dengan Jokowi makin sering bergema di media sosial. Dalam situasi seperti ini, setiap keputusan Prabowo akan memiliki konsekuensi politik yang mendalam.
Kapolri, Panglima, dan Teori Kekuasaan
Dalam memahami pentingnya posisi Kapolri dan Panglima dalam struktur kekuasaan, kita perlu menengok teori-teori politik klasik dan kontemporer.
Pertama, konsep dari Samuel Huntington dalam bukunya The Soldier and The State menyoroti pentingnya profesionalisme militer dan otonomi sipil. Huntington menyatakan bahwa militer yang sehat adalah militer yang tunduk pada otoritas sipil, tapi juga dijaga profesionalitasnya tanpa intervensi politik berlebihan.
Dalam konteks Indonesia, keputusan Prabowo untuk mengganti atau mempertahankan pimpinan TNI-Polri bisa dilihat sebagai ujian terhadap batas antara loyalitas profesional dan kontrol sipil. Apakah Prabowo akan menjunjung prinsip Huntington, atau justru menciptakan militer-polisi yang lebih politis dan loyal secara personal?
Kedua, Michel Foucault dalam teori governmentality-nya menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak lagi hanya ditunjukkan melalui kekerasan, tetapi melalui pengaturan institusi dan distribusi posisi. Dalam hal ini, mengganti Kapolri dan Panglima bukan hanya soal penggantian personel, tapi soal membentuk ulang struktur kekuasaan dan jaringan loyalitas. Foucault membantu kita memahami bahwa institusi seperti Polri dan TNI bukan hanya alat negara, tetapi arena politik yang penuh dengan relasi kuasa.
Ketiga, kita bisa merujuk pada pandangan Gaetano Mosca tentang ruling class. Dalam kerangka Mosca, setiap kekuasaan membutuhkan kelompok elite yang loyal dan kompeten untuk menopang pemerintahan. Gagal memilih elite yang tepat bisa mengguncang stabilitas politik dari dalam. Jika Prabowo ingin memulai era baru, maka pembentukan ruling class versi dirinya sendiri—termasuk di tubuh Polri dan TNI—menjadi langkah penting. Namun, risiko muncul jika elite baru ini tidak memiliki legitimasi publik atau kapabilitas institusional.
Ketiga teori ini menyodorkan dilema yang sama: antara stabilitas dan perubahan. Di satu sisi, Prabowo butuh kontrol atas aparat keamanan untuk memastikan visinya berjalan tanpa sandungan. Di sisi lain, perubahan yang prematur bisa merusak keseimbangan kekuasaan yang telah terbangun sejak era Jokowi.
Jalan Terjal Prabowo Menuju Kontrol Penuh
Dalam politik, loyalitas adalah barang mahal. Prabowo, sebagai Presiden baru, tentu memahami bahwa menguasai Kementerian dan lembaga sipil saja tidak cukup. Ia harus membangun loyalitas hingga ke struktur keamanan negara. Tapi jalannya tidak mulus.
Listyo Sigit, meskipun sering diasosiasikan dengan Jokowi, punya catatan profesional yang relatif bersih dan masih memiliki waktu jabatan cukup panjang. Mengganti Listyo dalam waktu dekat bisa menimbulkan kesan bahwa Prabowo terlalu buru-buru ingin mengamankan pos strategis. Namun membiarkan Listyo tetap menjabat bisa menciptakan dualisme loyalitas di tubuh Polri.
Di sisi lain, mengganti Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto juga bukan tanpa risiko. Agus dikenal sebagai figur penengah yang mampu menjaga keseimbangan antar matra. Selain itu, proses suksesi di tubuh TNI jauh lebih sensitif karena menyangkut keseimbangan AD, AL, dan AU. Kesalahan kecil bisa memicu friksi antar institusi bersenjata.
Dengan demikian, Prabowo mungkin memilih strategi reset senyap: mengganti satu demi satu dalam waktu yang dianggap tepat, bukan dengan gebrakan mendadak. Misalnya, mengangkat Wakapolri baru terlebih dahulu untuk menguji peta kekuatan, atau menempatkan loyalis di posisi penting di luar struktur utama sebagai persiapan suksesi.
Publik harus sadar bahwa pengangkatan Kapolri dan Panglima bukan semata soal profesionalisme. Ini adalah bagian dari konstruksi kekuasaan. Pertanyaannya: apakah Prabowo akan memilih jalan stabilitas atau keberanian politik?
Jika Prabowo benar-benar ingin menjalankan agenda besar, seperti transformasi ekonomi, hilirisasi, dan ketahanan pangan, ia memerlukan aparat keamanan yang loyal, efisien, dan bebas dari konflik politik lama. Namun, loyalitas semu tanpa kompetensi hanya akan menjadi beban baru bagi pemerintahannya.
Prabowo berada di persimpangan penting. Setiap keputusan terhadap Kapolri dan Panglima bukan sekadar reshuffle. Ia sedang menulis ulang struktur kekuasaan nasional. Dan publik akan menjadi saksi apakah ini menjadi babak baru atau pengulangan dari kekuasaan yang lama berputar di tempat yang sama.
Reset senyap bisa jadi strategi, tapi ia juga bisa jadi sinyal bahwa Prabowo sedang mengatur ulang jantung kekuasaan Indonesia. Diam-diam tapi menentukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)