Dengarkan artikel ini:
Anies Baswedan harus tetap menjaga relavansinya dalam narasi pembentukan opini masyarakat, jika ingin maju lagi di 2029. Namun, PR Anies jauh lebih besar: ia tak punya kendaraan politik, tak punya jabatan publik tertentu, dan belum punya program atau campaign yang ingin didorong. Dengan kondisi sekarang ini, Anies hanya bisa berharap sosoknya masih tetap dianggap fresh bagi pemilih dan pendukung yang potensial untuk 2029.
Anies Baswedan mungkin kalah di Pilpres 2024, tapi namanya belum hilang dari panggung politik nasional. Justru, sejak kekalahan itu, Anies tampak lebih bebas dan luwes. Ia tak lagi tampil sebagai pejabat, tapi sebagai figur publik yang terus membangun narasi dan menjaga magnet elektoralnya.
Salah satu momen paling mencuri perhatian beberapa hari terakhir adalah ketika ia hadir di konser D’Masiv. Di tengah lautan penonton, sang vokalis, Rian Ekky Pradipta, tiba-tiba mengajak Anies naik ke panggung dan bernyanyi bersama. Anies yang mengenakan pakaian kasual langsung merespons dengan senyum dan menyanyi, menciptakan momen viral yang dengan cepat menyebar di media sosial. Video itu tidak hanya menunjukkan bahwa Anies masih punya massa, tapi juga bahwa ia masih punya pesona.
Tentu, kehadirannya di konser bukan sekadar relaksasi pribadi. Ini adalah panggung politik baru. Politik yang lebih cair, lebih emosional, dan lebih dekat dengan publik muda. Dalam logika politik pasca-pilpres, Anies sedang membangun relevansi kultural—sebuah langkah penting bagi siapa pun yang bercita-cita maju kembali di 2029.
Tak hanya konser. Nama Anies juga kembali muncul dalam isu lama yang pernah menjadi ciri khasnya: Formula E. Kendati acara itu sudah selesai sejak ia tak lagi menjabat, audit dan pemberitaan seputar balapan listrik tersebut kembali menyeret namanya ke ruang publik. Bagi pendukungnya, ini adalah bagian dari upaya sistematis untuk mengerdilkan warisan Anies di Jakarta. Tapi bagi Anies, setiap perbincangan—positif atau negatif—adalah ruang untuk tetap eksis.
Kini, spekulasi mulai bermunculan. Akankah Anies bergabung dengan partai politik? Akankah ia membentuk gerakan baru seperti “Anies Movement” atau sejenisnya? Atau ia justru akan menjadi figur netral seperti Mahathir Mohamad—siap maju bila negara memanggil, tanpa harus membentuk barisan formal? Yang jelas, ia tidak diam. Ia sedang menyusun ulang peta dan mencari celah.
Dengan pengalaman sebagai Gubernur DKI dan mantan Mendikbud, ditambah basis intelektual dan komunikasi yang solid, Anies punya modal. Tapi modal itu butuh wahana. Butuh panggung. Butuh kendaraan politik yang bisa membawa ambisinya ke garis start Pilpres 2029.
Jalan Sang Mantan Kandidat
Untuk memahami manuver Anies, kita bisa merujuk pada beberapa teori penting dalam ilmu politik. Salah satunya adalah teori “political opportunity structure” yang dipopulerkan oleh Sidney Tarrow. Tarrow menjelaskan bahwa keberhasilan seorang aktor politik sangat dipengaruhi oleh struktur peluang politik yang tersedia.
Dalam konteks ini, kekalahan Anies bukanlah akhir, melainkan titik jeda sambil menunggu konfigurasi politik baru. Jika rezim Prabowo mulai goyah atau masyarakat mulai mencari alternatif, maka Anies bisa muncul kembali sebagai simbol perubahan.
Selanjutnya, kita bisa menggunakan pendekatan dari Jeffrey C. Goldfarb yang menulis soal “the politics of small things”. Goldfarb berargumen bahwa hal-hal kecil seperti pertunjukan budaya, ekspresi publik, hingga narasi personal bisa menjadi sumber kekuatan politik. Kehadiran Anies di konser, gaya komunikasinya yang merakyat, dan kedekatannya dengan isu-isu publik urban adalah bentuk praktik dari politik kecil yang mampu membangun resonansi besar. Politik bukan hanya soal institusi dan partai, tapi juga soal sentuhan emosi dan keterhubungan simbolik.
Terakhir, Pierre Bourdieu dalam teori “capital” memberikan pemahaman penting. Anies tengah mengumpulkan “cultural capital” dan “social capital”—modal budaya dan sosial yang dibutuhkan untuk mengembalikan posisinya sebagai elite politik. Dengan tetap hadir dalam diskursus publik, menjaga hubungan dengan media, dan tampil dalam ruang-ruang sosial non-formal, Anies sedang melakukan akumulasi modal alternatif. Ia tahu bahwa dalam politik Indonesia, kekuatan tak hanya ditentukan oleh struktur formal, tapi juga oleh persepsi dan daya tarik simbolik.
Ketiga pendekatan ini menjelaskan bahwa jalan politik Anies mungkin terlihat santai, bahkan manis, tapi sesungguhnya terstruktur. Ia sedang menjalani apa yang disebut sebagai fase preparatory politicking—politik persiapan, sebelum nanti tiba waktu kontestasi formal.
Dari Panggung Hiburan ke Panggung 2029
Pertanyaannya kini: bagaimana masa depan Anies? Bisakah ia kembali bangkit dan menjadi ancaman serius di Pilpres 2029?
Pertama-tama, Anies harus segera memutuskan nasib politiknya—apakah ia akan tetap sebagai aktor independen atau masuk dalam struktur partai. Keputusan ini sangat krusial. Tanpa kendaraan politik, ia hanya akan jadi selebriti politik, bukan pemain utama. Jika ia ingin membentuk partai baru, maka kerja keras harus dimulai dari sekarang—menyiapkan infrastruktur, membangun jaringan, dan mengatasi ambang batas parlemen yang makin tinggi.
Namun jika ia bergabung dengan partai yang sudah mapan, maka ia harus bisa menegosiasikan ruang otoritas. Bukan sekadar menjadi bintang tamu, tapi pemegang kendali. Ada nama seperti PKS, NasDem, hingga PAN yang kemungkinan terbuka untuk akomodasi. Tapi semuanya tergantung pada kekuatan tawar dan imajinasi politik Anies.
Selain itu, ia perlu menjaga narasi. Anies harus tetap menjadi simbol antitesis dari kekuasaan saat ini. Jika Prabowo melanjutkan gaya populisme yang keras dan elitis, maka Anies harus tampil sebagai alternatif yang sejuk, egaliter, dan berbasis gagasan. Dalam hal ini, pengalaman Pilpres 2024 memberikan banyak pelajaran. Anies tak boleh lagi terjebak dalam retorika abstrak, tapi harus menampilkan program konkret yang menyentuh kebutuhan rakyat.
Ia juga harus mulai memperluas basis dukungan. Tidak cukup hanya di kalangan urban Muslim atau kaum intelektual kampus. Anies harus menyentuh petani, buruh, nelayan, hingga komunitas adat. Untuk itu, ia perlu membangun aliansi dan kehadiran di luar Jakarta—masuk ke desa-desa, pesantren, dan kantong-kantong pemilih di luar Jawa.
Dan yang tak kalah penting: menjaga stamina. Politik adalah maraton. Jalan ke 2029 masih panjang. Banyak yang akan gugur di tengah jalan. Tapi jika Anies mampu menjaga energi, narasi, dan jejaringnya, maka bukan tidak mungkin ia akan muncul sebagai penantang utama lima tahun dari sekarang.
Jalan manis Anies bukan tentang popularitas sesaat. Ini tentang strategi panjang, tentang membangun momentum secara konsisten, dan tentang seni bertahan dalam dunia politik yang kejam. Bila ia berhasil, maka konser D’Masiv itu akan dikenang bukan sebagai hiburan semata, tapi sebagai catatan awal dari kebangkitan sang mantan kandidat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)