Dengarkan artikel berikut. Audio ini diciptakan dengan teknologi AI.
Di dalam sejarah, banyak pemimpin bangsa dari kultur Timur menjadi pemimpin dengan jumlah anak terbanyak. Kira-kira apa alasannya?
Sejarah dipenuhi oleh tokoh-tokoh besar yang tak hanya mewariskan kekuasaan dan pengaruh, tetapi juga garis keturunan yang luar biasa panjang. Salah satu fakta paling mencengangkan datang dari daftar pemimpin dengan anak terbanyak sepanjang sejarah.
Nama-nama seperti Sultan Ismail Ibn Sharif dari Maroko (dengan lebih dari 800 anak), Genghis Khan dari Kekaisaran Mongol (yang diperkirakan punya ratusan, hingga 1.000 anak), hingga Fath Ali Shah dari Persia—semuanya berasal dari kawasan Timur dunia.
Jika melihat lima besar pemimpin dengan anak terbanyak dalam sejarah, mayoritas berasal dari kultur Timur seperti Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Afrika Utara. Ini jelas memantik pertanyaan: mengapa para pemimpin dari kawasan ini begitu “produktif” secara keturunan? Apakah ada faktor budaya, politik, atau bahkan geografis yang mendorong kecenderungan ini?
Pertanyaan ini menarik untuk ditelaah karena menyentuh banyak sisi dari sejarah, kekuasaan, dan budaya maskulinitas. Sementara pemimpin Barat pun tentu memiliki banyak keturunan, jumlahnya jarang mencapai ratusan seperti para raja atau penakluk dari Timur.
Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam motif dan kondisi yang melatarbelakangi fenomena ini. Adakah unsur kultural dan mungkin, politik, di belakang hal ini?

Bentuk Keperkasaan Politik?
Salah satu alasan utama yang kerap dikemukakan adalah bahwa dalam banyak kultur Timur, banyak anak kerap dianggap sebagai simbol maskulinitas dan kejayaan. Seorang pemimpin yang memiliki banyak anak dianggap sebagai sosok yang kuat, subur, dan dominan. Hal ini berkaitan erat dengan nilai-nilai patriarki yang mendalam dalam banyak masyarakat agraris dan kekaisaran kuno.
Contohnya adalah Genghis Khan. Sebagai penakluk besar dari Asia Tengah, Genghis Khan tak hanya menguasai wilayah yang sangat luas, tapi juga meninggalkan warisan genetik yang sangat signifikan. Studi genetika menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 200 pria di dunia saat ini bisa melacak garis keturunan mereka ke Genghis Khan. Dalam konteks Kekaisaran Mongol, memiliki banyak anak bukan hanya soal keluarga, tetapi juga bagian dari strategi memperluas pengaruh kekuasaan dan memperkuat loyalitas internal.
Antropolog Jack Goody dalam “Production and Reproduction” menunjukkan bahwa dalam masyarakat agraris dan aristokratis, keturunan banyak dianggap sebagai bentuk investasi sosial dan politik. Dalam konteks ini, Genghis Khan bisa jadi bukan hanya menaklukkan wilayah, tetapi juga menyebarkan garis keturunannya sebagai ekspansi kekuasaan yang bersifat biologis. Dan praktik ini sendiri bisa dinilai sebagai salah satu bentuk legitimasi maskulinitas.
Struktur politik-sosial yang berlaku kala itu juga bisa jadi mendorong raja dan bangsawan untuk memiliki banyak keturunan laki-laki demi menjaga kesinambungan warisan politik dan ekonomi. Menurut penelitian antropolog Maurice Godelier dalam “The Enigma of the Gift”, banyaknya keturunan dalam sistem kerajaan tidak hanya untuk mempertahankan garis darah, tetapi juga menciptakan loyalitas dalam kelompok elit yang terbentuk melalui jaringan kekeluargaan.
Di banyak wilayah Timur yang luas dan beragam, penguasaan atas wilayah yang kurang terstruktur secara birokratik seperti di Barat membuat kekuasaan lebih bersifat personal dan berbasis loyalitas keluarga atau klan. Dengan memiliki banyak anak, pemimpin dapat membentuk jaringan kekuasaan yang tersebar dan solid.
Namun, apa yang membuat kultur pemimpin Timur berbeda dengan Barat?

Barat Juga Sebetulnya Banyak?
Berbeda dengan pemimpin-pemimpin Timur, para pemimpin dari Barat memang kurang ter-ekspos dalam jumlah anak yang mereka miliki. Banyak raja dan bangsawan Eropa juga memiliki anak dari hubungan di luar nikah (bastard), seperti Raja Charles II dari Inggris yang memiliki setidaknya selusin anak tidak sah. Namun, mereka jarang secara resmi mengakui atau mendudukkan anak-anak ini dalam struktur kekuasaan.
Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari latar kultural, sosial, dan sistem kekuasaan yang membentuk pandangan mereka terhadap legitimasi keluarga dan pewarisan kekuasaan.
Di banyak kerajaan Barat, sistem warisan dan pewarisan tahta sangat diatur secara ketat oleh norma-norma hukum dan adat. Anak-anak yang lahir di luar institusi pernikahan resmi jarang mendapatkan pengakuan politik, meskipun mereka mungkin memiliki hubungan darah dengan pemimpin. Hal ini membuat jumlah anak yang tercatat secara sah menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan para pemimpin di Timur yang lebih fleksibel dalam struktur keluarga mereka.
Selain itu, sistem suksesi yang kaku—primogeniture atau hak waris anak sulung laki-laki—membatasi insentif untuk memiliki banyak anak. Hal ini mengurangi fungsi politis dari reproduksi. Dalam konteks modern, seperti dijelaskan oleh Michel Foucault dalam “The History of Sexuality”, masyarakat Barat mengalami proses normalisasi seksual dan keluarga melalui disiplin sosial, yang membatasi peran seksualitas dalam politik secara terbuka.
Perbedaan antara pemimpin Timur dan Barat dalam hal jumlah anak lantas bisa jadi cerminan dari beragam pendekatan terhadap kekuasaan, keluarga, dan warisan. Di Timur, anak menjadi simbol kekuasaan, alat politik, dan bagian dari ekspansi pengaruh yang sah. Di Barat, sistem hukum, norma sosial, dan pendekatan yang lebih birokratis terhadap pemerintahan membuat peran anak dalam kekuasaan menjadi lebih terbatas.
Fenomena ini menunjukkan bahwa praktik memiliki banyak anak bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan cerminan dari struktur sosial dan budaya yang berlaku. Ia mengajarkan kita bahwa kepemimpinan dan keluarga selalu berada dalam simpul yang kompleks antara kekuasaan dan nilai-nilai yang mengelilinginya. (D74)