Dengarkan artikel ini:
Bahlil Lahadalia lakukan safari ke daerah-daerah dan ke organisasi-organisasi sayap Partai Golkar. Ia memasang target peningkatan suara Golkar di Pemilu 2029 – hal yang bisa saja akan mengerek Golkar jadi partai nomor 1 di Indonesia. Gebrakan ini bukan tanpa tantangan, tapi akan jadi pencapaian luar biasa dari parpol senior Indonesia ini.
Di tengah riuhnya peta politik pasca-Pemilu 2024, satu partai tampak mulai menata barisan dengan penuh kepercayaan diri: Partai Golkar. Partai tua yang pernah menjadi tulang punggung kekuasaan Orde Baru ini kini sedang menatap Pemilu 2029 dengan harapan baru. Di bawah kepemimpinan Bahlil Lahadalia, Golkar seolah mendapatkan energi segar dan semangat baru yang berbeda dari era sebelumnya.
Bahlil tidak datang dari tradisi elitis Golkar. Ia bukan tokoh tua partai yang bertahun-tahun bercokol dalam struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Ia datang dari jalanan, dari dunia usaha, dan dari luar lingkaran sentral kekuasaan lama. Namun justru dari sana Bahlil menemukan kekuatannya: kemampuan menjangkau semua pihak, merangkul arus bawah, dan menggerakkan mesin partai ke akar rumput yang sesungguhnya.
Pernyataannya dalam Musyawarah Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) awal Mei 2025 menjadi semacam komitmen politik: jika jumlah kursi Golkar turun pada Pemilu 2029, maka ia akan mundur dari jabatan Ketua Umum. Sebuah taruhan politik yang tidak main-main, dan—dalam logika politik patronase di Indonesia—sekaligus sinyal bahwa Bahlil siap “main besar”.
Kepemimpinannya mendapat pujian karena tidak hanya bicara di atas mimbar, tetapi aktif menyapa kader-kader daerah, organisasi sayap, dan konstituen langsung partai. Bahlil tahu bahwa Golkar bukan partai ideologis yang bisa bertahan dengan retorika semata. Ia adalah mesin kekuasaan yang harus terus diberi oli, bahan bakar, dan kecepatan. Dengan safari politik yang terus digelar, ia mencoba menyatukan semua kekuatan internal Golkar agar bersiap untuk satu hal: kemenangan.
Apakah itu cukup untuk mengalahkan PDIP yang selama dua dekade terakhir selalu berada di puncak? Ataukah Golkar hanya sedang membangun ilusi momentum di tengah perubahan politik nasional?
Peluang Emas Kekosongan Ideologis
Secara historis, Partai Golkar adalah partai yang paling fleksibel di Indonesia. Ia tidak dibangun di atas ideologi seperti PDIP dengan nasionalismenya, atau PKS dengan Islamismenya. Golkar dibangun sebagai kendaraan kekuasaan. Karena itu, ia selalu mampu beradaptasi dengan penguasa yang baru. Dari Soeharto, Habibie, Megawati, SBY, hingga Jokowi, Golkar tidak pernah benar-benar jadi oposisi. Mereka selalu berada di tengah pusaran kekuasaan, entah sebagai pemain utama atau mitra penting.
Saat ini, konstelasi politik tengah mengalami kekosongan ideologis. PDIP yang dulu begitu kuat dalam identitas ideologi nasionalis kini mengalami kemunduran narasi. Jokowi yang dulunya menjadi maskot mereka, justru kini menjauh dan lebih dekat dengan Prabowo Subianto. Di tengah kekosongan ini, Golkar justru memiliki ruang untuk bangkit—bukan dengan ideologi, tetapi dengan jaringan, mesin, dan loyalitas struktural.
Inilah yang dimanfaatkan oleh Bahlil. Ia tidak mencoba membangun narasi besar ideologis. Sebaliknya, ia memperkuat akar struktural partai: pengurus daerah, organisasi sayap, dan loyalitas terhadap pemerintahan yang ada. Sejalan dengan komitmennya, Bahlil menyebut bahwa Golkar akan menjadi kekuatan utama pengawal pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini penting, karena dalam demokrasi patronal seperti Indonesia, kedekatan dengan penguasa masih menjadi nilai tukar elektoral yang signifikan.
Jika pemerintahan Prabowo sukses membawa stabilitas ekonomi dan politik, maka partai yang menjadi penyangganya—dalam hal ini Golkar—akan ikut panen elektoral. Dan jika PDIP tetap memilih jalur oposisi atau gagal menemukan wajah baru pasca-Megawati, maka peluang Golkar untuk menjadi pemenang bukan lagi mimpi.
Melihat peluang Partai Golkar untuk memenangkan Pemilu 2029, kita bisa meninjaunya melalui tiga lensa teori politik yang relevan: teori partai dominan, teori clientelism elektoral, dan teori institusionalisasi partai.
Pertama, teori partai dominan sebagaimana diulas oleh Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems (1976). Sartori menjelaskan bahwa dalam sistem politik tertentu, satu partai bisa menjadi dominan jika berhasil menguasai arena pemilu secara konsisten, bukan hanya karena suara, tetapi karena kontrol terhadap lembaga dan sumber daya negara.
Golkar pernah berada di posisi ini pada era Orde Baru. Jika ia kembali menguasai infrastruktur kekuasaan melalui kabinet Prabowo, BUMN, hingga jaringan bisnis, maka bukan tidak mungkin ia bisa menjadi dominan kembali—setidaknya dalam skala baru.
Kedua, teori clientelism elektoral, sebagaimana dijelaskan oleh Edward Aspinall dan Paul Hutchcroft dalam Patronage and Clientelism in Southeast Asian Democracies (2019), menyebutkan bahwa dalam sistem demokrasi yang belum sepenuhnya mapan, hubungan patron-klien tetap menjadi faktor penting dalam pemenangan pemilu.
Dalam konteks Indonesia, Golkar sangat berpengalaman dalam praktik ini. Mereka memiliki jejaring tokoh lokal, kepala daerah, dan elite desa yang bisa digerakkan dengan insentif politik. Jika ini dikelola dengan baik oleh Bahlil, dan ditambah akses ke sumber daya negara, maka Golkar bisa menjadi partai dengan keunggulan distribusi patronase yang tak tertandingi.
Ketiga, teori institusionalisasi partai, seperti yang dikembangkan oleh Scott Mainwaring dalam bukunya Rethinking Party Systems in the Third Wave of Democratization (1999), menyebut bahwa kekuatan partai bukan hanya di suara, tapi di kestabilan internal, kesinambungan struktur, dan kedisiplinan kader.
Di sinilah Bahlil memiliki tantangan sekaligus peluang. Jika ia mampu menjaga soliditas partai, menghindari konflik internal seperti Munaslub yang kerap menghantui Golkar, dan mendorong kaderisasi yang sehat, maka Golkar bisa menjadi partai yang tidak hanya besar karena warisan masa lalu, tetapi kuat karena fondasi masa depan.
Dengan ketiga lensa ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Golkar berada di persimpangan antara regenerasi dan dominasi. Di bawah Bahlil, ia tidak hanya menjadi partai tua yang mengulang sejarah, tapi bisa menjadi kekuatan baru yang siap mencetak sejarah.
Dari Kamar Mesin ke Panggung Besar
Namun jalan menuju kemenangan tidak akan mudah. Bahlil harus menghadapi tiga tantangan utama jika ingin benar-benar membawa Golkar menjadi partai nomor satu di 2029.
Pertama adalah soliditas internal. Golkar bukan partai tunggal komando. Ia adalah rumah bagi banyak faksi, dari loyalis Akbar Tandjung, sisa-sisa kekuasaan Aburizal Bakrie, hingga kelompok muda yang mendukung regenerasi. Munaslub selalu menjadi ancaman laten.
Jika Bahlil tidak bisa menyatukan mereka, maka pertarungan internal bisa menggagalkan peluang eksternal. Namun sejauh ini, sinyalnya positif. Banyak organisasi sayap menunjukkan loyalitas pada Bahlil.
Kedua, rekonsiliasi antara pusat dan daerah. Mesin Golkar sejatinya ada di daerah. Kepala-kepala daerah dari Golkar adalah tulang punggung elektoral partai. Di sinilah safari politik Bahlil punya peran penting. Ia sadar bahwa kemenangan bukan ditentukan di ruang elite Jakarta, tapi di desa-desa dan kelurahan yang jadi medan tempur elektoral. Dengan mendekat ke akar rumput, Bahlil mencoba membalik logika kekuasaan Golkar dari atas ke bawah, menjadi dari bawah ke atas.
Tantangan ketiga adalah mencari wajah baru yang bisa dijual ke publik. Sejauh ini, Golkar belum memiliki figur capres atau cawapres potensial dari internal yang bisa menandingi popularitas Prabowo atau Gibran. Jika Bahlil sendiri tidak maju, maka ia perlu menyiapkan tokoh yang punya daya jual elektoral.
Tapi lebih dari itu semua, tantangan terbesar adalah mengembalikan makna partai sebagai institusi politik, bukan sekadar kendaraan kekuasaan. Jika Bahlil hanya memanfaatkan momentum kekuasaan Prabowo, tanpa membangun ide, gagasan, dan regenerasi, maka Golkar hanya akan besar saat dekat dengan kekuasaan, tapi runtuh saat angin politik berubah.
Untuk itu, perlu ada agenda yang lebih jauh dari sekadar “menang pemilu”. Perlu ada upaya menjadikan Golkar sebagai platform politik nasional yang punya arah jelas dan mampu menjawab tantangan zaman.
Pada akhirnya, the next rise of Golkar bukanlah cerita nostalgia. Ini adalah tentang masa depan. Bahlil Lahadalia mungkin bukan tokoh karismatik seperti Soeharto, atau ideolog seperti Megawati. Tapi ia bisa menjadi teknokrat yang menggerakkan mesin partai dengan disiplin dan target.
Jika Golkar berhasil naik menjadi pemenang pada Pemilu 2029, itu bukan karena mereka menang narasi, tapi karena mereka menang struktur. Mereka menang karena bisa menjadi partai yang hadir, bekerja, dan bersuara di semua lini—dari elite sampai akar rumput.
Sejarah memang tidak pernah mengulang dengan cara yang sama. Tapi di politik Indonesia, partai yang cerdas membaca arah angin, dan punya cukup pelaut untuk menavigasi badai, akan selalu punya peluang untuk menang. Dan mungkin, Golkar sedang menuju ke sana. (S13)