Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?
Jawa Timur tidak hanya provinsi strategis secara ekonomi dan demografi, tetapi juga medan tempur politik yang kompleks secara kultural dan ideologis. Bahkan, sepeninggal Khofifah Indar Parawansa yang tampak begitu kuat saat ini.
Sebagai wilayah dengan populasi terbesar kedua di Indonesia dan basis massa Nahdlatul Ulama (NU) terbesar, Jawa Timur memainkan peran vital dalam konstelasi kekuasaan nasional.
Namun, dominasi politik di Jawa Timur tidak pernah bersifat tunggal. Provinsi paling timur di Pulau Jawa ini selalu berada dalam ketegangan antara kekuatan struktural-partai (seperti PDIP dan PKB), kekuatan simbolik dan kultural (seperti Gus Durisme yang diwarisi Gus Ipul), dan kekuatan elektoral-pragmatik (seperti yang dikuasai oleh Khofifah Indar Parawansa).
Meminjam kerangka Antonio Gramsci tentang hegemoni kiranya dapat menjadi pijakan interpretasi untuk melihat fenomena ini, yakni bagaimana dominasi bukan hanya dipertahankan melalui “paksaan”, tapi juga konsensus sosial dan kultural.
Dalam konteks Jawa Timur, pertarungan agaknya bukan hanya soal siapa yang menang dalam pemilu, tapi siapa yang berhasil membangun konsensus sosial-kultural dan menjelma menjadi simbol representatif dari semangat rakyat Jatim, yaitu religius, moderat, dan berakar kuat dalam komunitas lokal.
Lalu, bagaimana sesungguhnya peta kekuatan politik Jawa Timur kini dan nanti yang dinilai akan membentuk geliat politik nasional?
Konsensus Elektoral?
Khofifah Indar Parawansa tampil sebagai figur dominan dalam lanskap politik Jawa Timur pasca-2018.
Sebagai tokoh NU perempuan dan Ketua Umum Muslimat NU, ia menjembatani dunia pesantren dan dunia negara, dua domain yang kerap mengalami ketegangan.
Dalam hal ini, Khofifah mempraktikkan apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik, yakni kekuasaan yang berasal dari pengakuan sosial atas otoritas dan moralitasnya di tengah masyarakat.
Kekuatan utama Khofifah bukan berasal dari institusi partai, melainkan dari jaringan sosial-religius yang mengakar, terutama melalui Muslimat NU dan komunitas perempuan PKK. Ceruk inilah yang tampak nyaris mustahil ditantang oleh figur manapun dan Tri Rismaharini telah membuktikannya.
Jejak rekamnya di pemerintahan pusat serta hubungan baik dengan Presiden Jokowi dan Prabowo menjadikannya figur yang diterima di berbagai spektrum kekuasaan nasional.
Dengan demikian, Khofifah telah menjadi aktor yang mampu membangun blok historis, yakni aliansi antara kekuatan sosial, politik, dan negara seperti yang dibayangkan oleh Gramsci.
Namun, keberhasilan ini menyisakan paradoks. Khofifah justru kerap dicurigai sebagai “NU struktural” atau “NU elitis” yang kurang mewakili NU kultural berbasis pesantren.
Hal ini seolah membuatnya rentan terhadap kritik dari kalangan tradisionalis yang menganggapnya terlalu birokratis dan kurang mengakar secara emosional dalam kultur pesantren, berbeda dengan Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, misalnya.
Di sisi lain, posisi Khofifah yang bukan kader partai memperlihatkan keterbatasan dalam hal kendaraan politik struktural.
Ia sangat bergantung pada kompromi antarpartai atau koalisi besar yang kerap bersifat cair dan rentan diganggu oleh dinamika nasional.
Tantangannya periode 2024-2029 agaknya adalah mengulang konsensus elektoral tanpa partai yang kuat di belakangnya. Dalam konteks ini, figur seperti Emil Dardak (Wakil Gubernur saat ini) bisa menjadi tandem elektoral ideal atau bahkan pesaing potensial secara impresi, mengingat sang deputi merupakan kader partai politik.

Hegemoni yang Tak Pernah Final?
Jika Khofifah adalah penguasa hegemonik yang mengandalkan konsensus sosial-religius, maka di sisi berbeda, PDIP adalah kekuatan struktural-politik yang mencoba menguasai Jawa Timur melalui perangkat institusional dan ideologis.
PDIP memanfaatkan warisan ideologi Sukarnois, kuat di daerah-daerah Mataraman seperti Blitar, Kediri, dan Tulungagung yang cenderung abangan, dan memiliki mesin partai yang disiplin.
Namun, relasi PDIP dengan komunitas NU tradisional agaknya tidak pernah benar-benar harmonis. Ketegangan antara identitas nasionalis sekuler dan Islam kultural selalu menjadi kendala dalam membangun hegemoni penuh di provinsi ini.
Sebagai sampel di masa lalu, kekalahan Gus Ipul, calon yang diusung bersama PDIP pada Pilgub 2018 menunjukkan bahwa aliansi simbolik antara PDIP dan NU kultural belum cukup menjinakkan preferensi elektoral rakyat Jatim yang cenderung pragmatis dan menginginkan figur teknokrat yang “bekerja nyata”, seperti Khofifah.
Di sisi lain, Gus Ipul sendiri, meskipun kuat di kultur NU dan memiliki legitimasi genealogis sebagai keponakan Gus Dur, kurang mampu meraih konsensus di luar komunitas pesantren.
Sosok yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial itu kiranya adalah contoh dari apa yang disebut oleh Max Weber sebagai legitimasi tradisional, namun tidak cukup kuat membangun legitimasi rasional-legal maupun karismatik di mata pemilih yang semakin urban dan rasional.
Selain PDIP dan konteks Gus Ipul, bayang-bayang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat juga tetap relevan.
SBY masih memiliki kapital simbolik di Jawa Timur Selatan, terutama Pacitan, sebagai tokoh “priyayi desa” yang berhasil di panggung nasional.
Namun, keterbatasan Partai Demokrat sebagai entitas tanpa basis massa ideologis maupun religius yang kuat membuat pengaruh SBY lebih banyak bersifat simbolik daripada elektoral.
Upaya anaknya, AHY, untuk mengisi kekosongan ini kiranya belum sepenuhnya berhasil mengingat saat ini lebih cenderung berada di episentrum kekuasaan.
Dalam perspektif teori pewarisan politik, sebagaimana dikemukakan oleh Harold Lasswell, transisi kekuasaan dari tokoh kharismatik ke pewaris sering kali gagal jika tidak diiringi dengan konsolidasi organisasi yang kuat dan regenerasi ideologis yang konsisten.
Sejauh ini, Khofifah masih menjadi figur paling kuat secara elektoral, terutama karena kemampuannya merangkul kelas menengah Muslim moderat, komunitas perempuan NU, dan elite negara. Namun, kekuatannya bersifat cair dan tidak berbasis institusi partai, membuatnya rentan terhadap manuver politik dari kekuatan lain, bahkan di periode kepemimpinannya saat ini.
PDIP pun tetap menjadi kekuatan struktural-politik yang solid, tetapi sulit menembus tembok kultur Islam tradisional. Gus Ipul dan tokoh NU lainnya memiliki keunggulan kultural, tapi terbukti berkali-kali kalah dalam kontestasi terbuka.
Sementara itu, SBY dan Demokrat menjadi kekuatan simbolik yang mengendap – belum memiliki daya pukul langsung dalam elektoral tetapi tetap relevan dalam kalkulasi politik.
Belum termasuk PKB yang kuat di wilayah tapal kuda seperti Probolinggo (Kabupaten dan Kota), Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, hingga Banyuwangi. Termasuk saat Cak Imin dan sang adik, Abdul Halim Iskandar juga memiliki daya tawar cukup mumpuni.
Ke depan, arah politik Jawa Timur kiranya akan sangat ditentukan oleh dua hal. Pertama, apakah Khofifah mampu mempertahankan aliansi pragmatis antarpartai yang membawanya ke puncak pada 2018 dan 2024; dan kedua, apakah lawan-lawannya mampu membangun narasi tandingan yang bukan hanya simbolik atau struktural, tapi juga menjawab kebutuhan sosial-politik masyarakat Jatim yang kini makin plural, rasional, dan dinamis.
Dalam bahasa Gramsci, hegemon yang sejati bukan hanya yang menang dalam pemilu, tapi yang berhasil mengartikulasikan harapan rakyat menjadi proyek politik yang inklusif. Dan di Jawa Timur, pertarungan untuk menjadi hegemon sejati masih terbuka lebar. (J61)