Dengarkan artikel ini:
Akhirnya meluncur sebuah think tank yang disebut akan menjadi pengawal dan pendukung berbagai program pemerintahan Prabowo-Gibran. Dinamai Prasasti Center for Policy Studies, think tank ini diprakarsai oleh Hashim Djojohadikusumo yang adalah adik dari Presiden Prabowo. Akankah lembaga ini bisa sukses memberikan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan roda kemudi di hari-hari mendatang?
Satu bangunan intelektual dalam senyap diluncurkan: Prasasti Center for Policy Studies. Disebut dalam senyap karena roman-romannya tak pernah terbaca, tau-tau sudah ada dan langsung dideklarasikan.
Think-tank ini langsung menyedot perhatian karena diisi oleh sejumlah tokoh elite yang punya koneksi langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Tak tanggung-tanggung, adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, menjadi salah satu penasehat utama. Kakak iparnya, Soedrajad Djiwandono, ikut duduk sebagai anggota dewan pengawas.
Jika selama ini pusat-pusat studi kebijakan di Indonesia sering terkesan akademik atau simbolik belaka, Prasasti justru tampil penuh ambisi. Ia ingin menjadi kekuatan riil dalam desain kebijakan publik di era Prabowo. Ini seolah mengingatkan publik pada sebuah bangunan think tank yang pernah berjaya di era pemerintahan Soeharto: CSIS alias Centre for Strategic and International Studies.
CSIS di era Orde Baru bukan sekadar pusat kajian. Ia adalah dapur utama dari banyak kebijakan pembangunan Soeharto. Dari stabilitas politik, strategi industrialisasi, hingga relasi luar negeri, CSIS berperan sebagai intellectual hub yang menyatu dengan jantung kekuasaan. Diisi oleh para teknokrat seperti Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi, think-tank itu menjadi penjaga arah pembangunan nasional—dan juga perisai politik Soeharto dari serangan ideologis.
Namun, Prasasti tampaknya tidak ingin jadi bayangan CSIS. Jika CSIS dipenuhi ekonom dan ilmuwan, maka Prasasti cenderung terisi oleh para praktisi, birokrat, dan pebisnis senior. Nama-nama seperti Burhanuddin Abdullah (eks Gubernur BI), Arcandra Tahar, Fuad Bawazier, hingga Chatib Basri mencerminkan orientasi pragmatis: think-tank yang dekat dengan eksekusi, bukan sekadar teori.
Lebih menarik lagi, Prasasti tidak malu-malu menunjukkan kedekatannya dengan lingkaran Prabowo. Di satu sisi, ini membuat akses terhadap kekuasaan bisa lebih cepat dan efektif. Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran: apakah lembaga ini benar-benar independen, atau hanya organ canggih dari kekuasaan?
Hashim sendiri bahkan mengingatkan agar Prasasti tidak berubah menjadi alat propaganda. Ia menyarankan agar anggota Prasasti datang dari lintas spektrum ideologis dan politik, bukan sekadar loyalis Gerindra.
Meski demikian, jejak ideologis sulit dihindari. Banyak wajah di Prasasti adalah mereka yang ikut menyusun program ekonomi dan sosial Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Maka, tak heran jika muncul anggapan bahwa Prasasti akan menjadi pabrik legitimasi kebijakan Prabowo.
Pertanyaannya: apakah ini buruk? Tidak selalu. Dalam politik, semua kekuasaan butuh instrumen pemikiran. Yang berbahaya adalah ketika gagasan digantikan oleh kepentingan. Benarkah demikian?
Politik Pengetahuan
Untuk memahami posisi Prasasti dalam kekuasaan Prabowo, kita bisa meminjam tiga teori penting yang menjelaskan bagaimana think-tank berperan dalam politik negara.
Pertama, Antonio Gramsci dengan konsepnya tentang hegemoni budaya memberi petunjuk bahwa kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memegang senjata atau kursi, tapi juga oleh siapa yang mengontrol narasi. Dalam konteks ini, Prasasti adalah upaya menciptakan intellectual legitimacy bagi kekuasaan Prabowo. Dengan kata lain, Prabowo tidak hanya ingin memerintah, tapi juga ingin meyakinkan bahwa kekuasaannya masuk akal, rasional, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Di sini posisi Prasasti menjadi penting.
Kedua, Peter Haas mengembangkan istilah epistemic communities, yaitu jaringan ahli dan teknokrat yang mempengaruhi kebijakan publik melalui pengetahuan yang mereka miliki. Dalam kerangka ini, Prasasti dapat dilihat sebagai embrio dari komunitas epistemik baru—yang akan menggantikan dominasi para teknokrat warisan era Jokowi. Jika selama ini kebijakan didominasi oleh policy entrepreneur dari istana dan Bappenas, kini Prabowo bisa membentuk poros pikirannya sendiri.
Ketiga, James G. March dan Johan P. Olsen dalam konsep logic of appropriateness menjelaskan bagaimana kebijakan publik tidak hanya dibentuk oleh kepentingan politik, tapi juga oleh logika kelembagaan dan norma-norma profesional. Maka, keberadaan think-tank seperti Prasasti berfungsi ganda: memberi pembenaran normatif terhadap kebijakan (agar terlihat pantas), sekaligus memberi “nalar” teknokratis terhadap agenda politik (agar terdengar masuk akal).
Ketiga teori ini menyiratkan bahwa Prasasti bukan sekadar pusat kajian. Ia adalah alat kekuasaan yang membungkus kekuatan dengan pengetahuan. Dengan begitu, narasi Prabowo tidak akan hanya datang dari podium pidato, tapi juga dari jurnal kebijakan, seminar publik, dan tentu saja riset.
Efek Prasasti dan Masa Depan Kekuasaan
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari kehadiran Prasasti dalam lima tahun ke depan?
Pertama-tama, Prasasti bisa menjadi stabilizer intelektual di tengah potensi kegaduhan politik. Jika kabinet Prabowo dipenuhi oleh berbagai kepentingan koalisi besar, maka Prasasti dapat memainkan peran sebagai pemikir netral yang menjaga arah kebijakan. Ia bisa menjadi tempat penyulingan ide sebelum dilepas ke publik.
Namun ini hanya mungkin jika independensinya dijaga. Jika Prasasti hanya menjadi kantor pembenar kebijakan tanpa kritik, maka ia akan cepat kehilangan kredibilitas. Keunggulan think-tank bukan pada siapa yang ada di dalamnya, tapi pada keberaniannya untuk berbeda dan kritis.
Kedua, Prasasti punya potensi mengisi kekosongan wacana pembangunan pasca-Jokowi. Selama dua periode, pembangunan infrastruktur dan narasi digitalisasi menjadi wajah utama kebijakan negara. Tapi arah baru di bawah Prabowo masih samar. Prasasti bisa menjadi arsitek dari narasi ekonomi baru: apakah kita akan menuju welfare state, neo-industrialization, atau opsi yang lain? Semua masih terbuka.
Ketiga, Prasasti akan sangat menentukan arah relasi kekuasaan dan masyarakat sipil. Jika ia terbuka terhadap masukan LSM, akademisi, dan kelompok akar rumput, maka lembaga ini bisa menjembatani kebijakan elite dan kebutuhan publik. Tapi jika ia hanya jadi klub elite yang bicara dalam bahasa teknokrat tanpa keberpihakan sosial, maka eksistensinya hanya akan menambah daftar panjang lembaga yang tidak relevan.
Sebagai lembaga yang baru berdiri, Prasasti memang belum teruji. Tapi struktur, koneksi, dan ambisinya menunjukkan bahwa ini bukan proyek temporer. Ini adalah bagian dari infrastruktur kekuasaan Prabowo—yang ingin membangun bukan hanya pemerintahan, tapi juga ekosistem berpikir.
Akhirnya, apakah Prasasti akan menjadi CSIS-nya Prabowo? Waktulah yang akan menjawab. Namun jika menilik komposisi tokohnya, pendekatannya yang pragmatis, dan kedekatannya dengan lingkaran dalam kekuasaan, maka satu hal sudah pasti: Prabowo sedang menyusun prasasti kekuasaannya, dengan batu-batu berpikir yang keras dan terstruktur. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)