Dengarkan artikel ini:
Matcha kini menjadi komoditas yang sangat digemari secara global. Bahkan, Gubernur Jakarta Pramono Anung-pun sempat membuat konten matcha saat kampanye Pilkada Jakarta 2024 kemarin.
“Matcha-ing my mood with a vibrant green delight.”
Kenny, seorang pekerja kreatif yang tinggal di kawasan Blok M, belakangan ini mulai memperhatikan antrean panjang yang muncul di berbagai gerai minuman kekinian. Dari pagi hingga malam, orang-orang rela berdiri di bawah terik matahari demi mendapatkan segelas matcha latte yang lagi viral.
Ia sempat berpikir antrean itu hanya tren sesaat. Namun, dari hari ke hari, makin banyak toko-toko baru yang muncul, semuanya menjual produk dengan satu bahan utama: matcha. Bukan cuma minuman, tapi juga cake, donat, croffle, bahkan ramen dengan kuah matcha yang unik.
Suatu sore, Kenny mampir ke salah satu toko matcha terkenal di Senopati. Di sana, ia mendengar dua mahasiswa berbincang soal betapa “estetik”-nya warna hijau matcha saat difoto, dan betapa “soothing“-nya rasanya saat diminum di tengah stres tugas akhir.
Kenny juga ingat betul saat kampanye Pilkada Jakarta 2024 lalu, Gubernur Pramono Anung membuat konten viral saat mencoba matcha latte sambil ngobrol santai dengan warga. Video itu dibanjiri komentar, mulai dari pujian akan kesederhanaannya hingga debat soal merek matcha yang paling otentik.
Kini hampir setiap kafe di Jaksel punya menu matcha. Mulai dari yang terjangkau sampai yang premium dengan embel-embel “ceremonial grade imported from Uji, Japan”. Kenny semakin penasaran—apa yang membuat semua orang begitu tergila-gila pada bubuk teh hijau ini?
Dalam diam, Kenny bertanya dalam benaknya: Mengapa matcha kini menjadi begitu menarik? Apa yang membuat matcha begitu laku meski ekonomi global sedang melemah?
Bukan Lipstick, Tapi Matcha Effect?
Kenny duduk di pojok kafe langganannya sambil memperhatikan antrean yang tak putus. Setiap orang tampaknya memesan hal yang sama—matcha latte dingin dalam gelas bening dengan label Jepang.
Ia mulai teringat istilah yang pernah ia baca di internet: Lipstick Effect. Katanya, saat ekonomi sedang sulit, orang cenderung tetap membeli hal-hal kecil yang membuat mereka merasa lebih baik—bukan barang mewah, tapi cukup sesuatu yang memberi kesenangan instan.
Fenomena matcha, pikir Kenny, bisa jadi contoh nyata dari itu. Meski harga bahan pokok naik dan laporan PHK makin sering muncul, gerai matcha justru menjamur dan ramai setiap hari.
Matcha memberikan kesan tenang, sehat, dan sedikit eksotis. Membelinya bisa terasa seperti “hadiah kecil” untuk diri sendiri—layaknya membeli lipstik di masa resesi.
Bagi Kenny, ada ironi yang menarik: saat orang-orang mengurangi belanja besar, mereka justru rela mengeluarkan Rp50.000 untuk secangkir teh hijau berbusa. Itu bukan soal rasanya saja, tapi juga estetika, pengalaman, dan semacam identitas sosial yang melekat.
Ia juga mulai menyadari bagaimana tren ini ikut mempengaruhi rantai pasok global. Permintaan matcha dari Jepang dan Korea meningkat tajam, sementara negara-negara lain mulai mencoba menanam dan mengekspor versi mereka sendiri.
Dalam benaknya, Kenny bertanya-tanya: Lantas, konsekuensi lebih jauh apa yang akan terjadi bila popularitas matcha terus meningkat? Mengapa ini bisa saja mempengaruhi geopolitik?
Matcha-isasi Geopolitik?
Kenny baru saja membaca artikel di The Japan Times yang membahas peningkatan ekspor matcha Jepang sejak 2023. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, matcha justru melonjak jadi komoditas bernilai tinggi yang makin dilirik banyak negara sebagai “green gold.”
Ia mulai menyadari bahwa matcha bukan sekadar tren gaya hidup. Dalam artikel Food from Nowhere: Complicating Cultural Food Colonialism to Understand Matcha as Superfood, dijelaskan bahwa matcha telah mengalami proses pemutusan makna dari asal-usul budayanya—diubah menjadi superfood global yang tak lagi terkait dengan konteks sejarah maupun lokalitas Jepang.
Permintaan matcha kini tak hanya didorong oleh selera, tapi juga oleh logika dagang global. Seperti rempah-rempah Nusantara yang dulu membuat bangsa Eropa saling bersaing dan akhirnya memicu kolonialisme, atau jalur sutra yang dibentuk karena teh dan sutra Tiongkok, matcha kini bergerak ke arah komoditas strategis dengan potensi geopolitik.
Kenny membaca laporan dari Bloomberg yang menjelaskan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah melebar, dan kini juga menyentuh Jepang. Tarif tinggi yang dikenakan AS terhadap produk agrikultur dari kawasan Asia Timur—termasuk matcha Jepang—berdampak pada fluktuasi harga, gangguan rantai pasok, dan pergeseran arah perdagangan.
Sementara negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Kolombia mulai mengembangkan produksi matcha mereka sendiri untuk mengisi celah pasar, Jepang tetap bertahan melalui narasi otentisitas dan kualitas tinggi. Namun, tekanan geopolitik membuat posisi dominan itu tidak lagi mutlak.
Menyesap sisa matchanya, Kenny merenung dalam diam. Jika rempah dulu bisa mengubah sejarah dunia, mungkinkah matcha sedang memulai babak serupa? Apa konsekuensi lebih jauhnya jika tren ini terus melaju—dan benarkah secangkir teh hijau bisa menggerakkan ulang peta geopolitik global? (A43)