HomeNalar PolitikPrabowo Kritik Oligarki Media?

Prabowo Kritik Oligarki Media?

Prabowo Subianto menyebut wartawan berpotensi merusak demokrasi pada acara peringatan May Day bersama KSPI. Pernyataan tersebut mendapat kritik dari berbagai pihak, khususnya AJI. Akan tetapi, orasi tersebut ternyata dapat dikaitkan dengan kritik atas oligarki media yang terjadi di Tanah Air.


Pinterpolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]rabowo Subianto menyindir media yang hadir pada acara peringatan hari buruh internasional atau May Day 2019. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tersebut, Prabowo mengatakan bahwa media sebagai perusak demokrasi.

Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Gerindra tersebut menjelaskan tuduhannya karena media kerap memutarbalikkan fakta. Dengan demikian, dia meminta agar media tidak memotong-motong informasi agar berita dapat disajikan lebih lengkap dan berimbang.

Mantan perwira tinggi militer tersebut mengingatkan agar media berhati-hati dalam melakukan pekerjaaannya. Hal ini karena setiap tulisan dari media akan terus diawasi oleh masyarakat. Dia menilai jika rakyat Indonesia tidak akan bisa menerima lagi kebohongan yang terjadi.

Prabowo tidak hanya sekali menyindir profesi wartawan. Pada Februari 2019 lalu, dia pernah menyindir wartawan karena gajinya dianggap rendah, sedangkan pada tahun lalu dia mengungkapkan hal yang hampir sama, yaitu wartawan tidak bisa belanja di pusat perbelanjaan.

Dilansir dari Tirto, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan menanggapi pernyataan Prabowo itu sebagai sikap emosional karena tidak memiliki argumentasi yang jelas. Manan menilai Prabowo tidak bisa mengatakan hal tersebut kepada media hanya karena pemberitaan tidak sesuai dengan seleranya.

Dia mencontohkan pemberitaan terkait jumlah massa 212 pada Februari 2019 memancing kemarahan Prabowo karena media meragukan klaimnya yang dihadiri sebanyak 7 juta orang. Padahal, sebagian media hanya berupaya untuk membuktikan klaim tersebut dengan berbagai verifikasi dan perhitungan matematis.

Manan menyarankan kepada Prabowo bila ingin mengoreksi media sebaiknya menggunakan ukuran yang lebih profesional. Ukuran ini seperti kode etik pers, kualitas konten, hingga keberimbangan porsi pemberitaan.

Oligarki Media

Terlepas dari tudingan kepada Prabowo yang dianggap melontarkan pernyataan berbahya, Prabowo mungkin memiliki maksud lain dalam melontarkan pernyataan kontroversial itu kepada media. Dia tidak hanya mengkritik profesi wartawan. Lebih jauh, Prabowo mengkritik oligarki partai politik di balik media.

Seperti diketahui, banyak perusahaan media yang berafiliasi dengan partai politik. Media yang dekat dengan pemimpin partai itu seperti Media Group (Surya Paloh), MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), dan TV One (Aburizal Bakrie/ARB). Selain itu, ada pula Mahaka Group (Erick Thohir), yang meski pemiliknya tak berpartai, belakangan ini terlibat sangat aktif dalam politik elektoral.

Baca juga :  Mengapa Trah Jokowi Sukses dalam Politik?

Secara spesifik, sebagian besar media tersebut merupakan koalisi dari kubu 01. Para pemilik media tersebut memberikan dukungannya baik melalui partai maupun pribadi kepada pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin.

Adapun yang menarik adalah posisi TV One. Seperti diketahui, ARB merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar yang saat ini partainya mendukung kubu petahana. Akan tetapi, pemberitaan TV One dianggap lebih condong ke pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

Sikap TV One tersebut karena keberadaan oligarki media di sekitar Jokowi berjumlah tidak sedikit. Hal ini membuat panggung pemberitaan Prabowo menjadi kurang. Peluang ini boleh jadi yang ditangkap oleh TV One, mereka tidak mau kehilangan rating yang dapat disumbangkan oleh simpatisan Prabowo meski pemiliknya bagian dari Golkar. Pemberitaan TV One terhadap Prabowo juga dipengaruhi oleh hubungan baik ARB dengan Prabowo pada Pemilu 2014 lalu.

Prabowo Subianto sebenarnya mengkritik oligarki media, bukan wartawan. Click To Tweet

Dengan demikian, Prabowo di satu sisi geram terhadap oligarki media yang menjadi lawan politiknya. Tapi, di sisi lain, Prabowo sebenarnya cukup diuntungkan karena TV One yang dianggap mengakomodasi pemberitaan terkait kubunya.

Sikap geram ini beberapa kali pernah diperlihatkan Prabowo kepada media yang dianggap kurang berimbang. Bahkan, kasus dia tidak mau berkomentar terhadap pertanyaan wartawan media yang dianggapnya perpanjangan tangan oligarki ini pernah viral di media sosial.

Selain kuantitas dan durasi berita terkait kubu 02 dinilai kurang karena oligarki ini, Prabowo juga seperti mengkritik kualitas pemberitaan media. Prabowo merasa beberapa media menulis hal yang lebih menguntungkan kepada pihak Joko Widodo.

Contoh tulisan yang dimaksud seperti media lebih banyak memberitakan hal-hal baik terkait Jokowi tanpa kritik yang berarti. Sedangkan, pemberitaan seputar Prabowo-Sandi sebagian besar bernada negatif.

Bahaya Oligarki Media

Akademisi dari Australian National University (ANU) Ross Tapsell dalam bukunya berjudul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital mengingatkan bahaya oligarki media terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Dia menulis pemilik media di Indonesia secara terbuka mengakui keberpihakannya. Hal ini justru berdampak buruk terhadap independensi media terkait.

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Dalam buku tersebut juga menyebutkan bahwa pemimpin partai seperti Surya Paloh dan ARB menggunakan media sebagai kendaraan politiknya. Ross Tapsell menambahkan bahwa oligarki media ini memunculkan tren seperti pemilik media jadi lebih kuat secara politik, pemilik media semakin kaya, dan perusahaan ini terus berkembang pesat dengan membuat anak perusahaan di bidang media. Tren itu yang pada akhirnya membuat oligarki media berpengaruh besar terhadap iklim politik di Indonesia.

Ross Tapsell menjelaskan hasil terburuk dari oligarki ini berdampak pada kebebasan pers. Wartawan menjadi terdidik untuk menulis berita sesuai dengan pesanan perusahaan media dibandingkan dengan kebenaran yang terjadi di lapangan. Hal ini dapat berakibat fatal karena bakal berdampak kepada masyarakat yang tidak akan percaya kembali terhadap media mainstream.

Masyarakat yang jenuh dengan media arus utama dapat saja beralih mempercayai media alternatif seperti media sosial. Padahal media sosial tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bila sudah terjadi hal seperti itu, masyarakat akan lebih gampang menerima berita hoax.

Pada titik ini, boleh jadi inilah yang jadi alasan mengapa Prabowo melintarkan kritik tajam kepada media. Meski pers kerap dianggap sebagai salah satu pilar terpenting dalam demokrasi, kepemilikan media justru membuat media cenderung berbau oligarkis yang cukup bertentangan dengan demokrasi.

Secara formal, jika Prabowo ingin mempermasalahkan pemberitaan terkait dirinya yang dianggap tidak berimbang atau mencederai demokrasi, dia bisa melaporkan kasus tersebut ke Dewan Pers. Lembaga pers ini yang akan mempertimbangkan berita terkait Prabowo itu menyimpang dari kaidah jurnalistik atau justru menguatkan pemberitaan itu. Dewan Pers tidak hanya mempertimbangkan masalah independensi pemberitaan, tapi lembaga ini tetap berupaya agar media tetap sejalur dengan kode etik jurnalistik.

Saat ini, harapan berita yang netral mungkin menjadi utopia. Akan tetapi, tidak semua media menjadi kaki-tangan oligarki partai politik. Tentu sebenarnya masih ada media yang dapat digolongkan bersifat netral.

Namun, ada istilah di kalangan praktisi media, jika media tidak netral makal seharusnya dia independen. Jika media itu tidak independen seharusnya media memihak, tapi memihak hanya kepada kebenaran. (R47)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Menggugat Anies Soal Udara Jakarta

“Aku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan.” - Efek Rumah Kaca, Di Udara PinterPolitik.com Kata Sokrates "ilmu...

Misteri Jokowi dan Maskapai Asing

"Ketika semua terlihat berlawanan denganmu, ingatlah bahwa pesawat terbang selalu terbang melawan angin, bukan mengikuti arus angin." - Henry Ford Pinterpolitik.com Wacana Presiden Joko Widodo mengundang...

Berani Cabut Kewarganegaraan Habib Rizieq?

"Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." Abdurrahman Wahid (Gus Dur) PinterPolitik.com Baru-baru ini warganet dihebohkan oleh petisi online...