Dengarkan artikel ini:
Presiden Prabowo “mencari” Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dalam forum ICI ketika berbicara tentang proyek Giant Sea Wall di perairan Jakarta – proyek yang akan jadi bagian dari kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah DKI Jakarta. Momen “mencari” ini seolah ingatkan publik pada dinamika yang kerap terjadi antara Presiden RI dengan Gubernur DKI Jakarta di masa lalu. Menilik latar belakang Pramono yang berasal dari PDIP yang nota bene adalah partai di luar pemerintahan Prabowo-Gibran, akankah ketegangan-ketegangan serupa terjadi lagi?
Jakarta, seperti panggung besar dengan lampu yang tak pernah padam, selalu menyimpan drama politik antara Gubernur dan Presiden Republik Indonesia. Kota ini bukan sekadar ibu kota administratif, tetapi juga simbol kekuasaan negara. Dan karena simbolisme itu pula, setiap gesekan antara pemimpin nasional dan pemimpin lokal bisa membuncahkan efek politis yang lebih luas. Terbaru, relasi antara Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Jakarta Pramono Anung kembali menjadi sorotan.
Dalam acara penutupan International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di JCC Senayan, Jakarta, 12 Juni lalu, Prabowo tiba-tiba mencari-cari Gubernur Jakarta Pramono Anung yang ternyata tidak hadir. Di momen itulah, Presiden Prabowo melontarkan pertanyaan retoris yang menjadi headline: “Di sini ada hadir Gubernur DKI? Tidak? Enggak hadir? Waduh. Coba diselidiki kenapa tidak hadir.”
Pernyataan yang seolah santai itu sebenarnya menyiratkan dinamika mendalam: ketidakhadiran Gubernur Pramono dalam forum sebesar itu bisa dibaca sebagai sinyal relasi yang bisa saja dibaca publik sebagai kondisi tidak harmonis antara dua poros kekuasaan: nasional dan lokal.
Apalagi, Prabowo sedang berbicara tentang proyek besar bernama Giant Sea Wall, proyek tanggul laut raksasa yang menelan biaya 8 sampai 10 miliar dolar AS hanya untuk wilayah Jakarta. Prabowo bahkan menyebut bahwa DKI Jakarta seharusnya ikut “urunan” atau patungan biaya melalui APBD.
Giant Sea Wall adalah proyek infrastruktur berskala kolosal yang menyatukan dimensi pembangunan, geopolitik, dan iklim. Prabowo bahkan menyebut akan membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa, dan sudah memerintahkan tim untuk roadshow ke berbagai negara demi menjaring investasi. Gubernur Jakarta absen di forum pembuka inisiatif tersebut jelas menjadi isu politis tersendiri.
Namun, menariknya, Prabowo juga menyebut sudah bertemu Pramono sebelumnya dan sudah mengutus orang untuk memastikan dukungan Pemprov Jakarta terhadap proyek ini. Di titik ini, publik kembali dibuat bertanya-tanya: apakah yang terjadi ini murni soal komunikasi teknis, atau ada ketegangan diam-diam antara dua tokoh yang berlatar belakang politik berbeda? Apalagi Pramono berasal dari PDIP yang notabene adalah partai yang kini ada di luar pemerintahannya.
Sejarah mencatat bahwa relasi Presiden dan Gubernur Jakarta memang kerap penuh gesekan. Soekarno dan Soemarno Sostroatmodjo pernah menunjukkan perbedaan gaya: Bung Karno dengan proyek-proyek mercusuar seperti Monas dan GBK, sementara Soemarno fokus pada perumahan dan kebersihan kota. Meski tak ada konflik terbuka, perbedaan cara pandang itu menyiratkan dinamika dalam diam.
Era Soeharto menunjukkan polarisasi yang lebih kentara. Ali Sadikin, sang Gubernur legendaris, yang awalnya didukung Soeharto, kemudian justru dianggap ancaman karena kedekatannya dengan massa dan spekulasi pencapresan. Gaya Bang Ali yang blak-blakan membuatnya tak cocok dengan gaya kekuasaan sentralistik Orde Baru.
Setelah Reformasi, kita mengenal Sutiyoso, Gubernur militer yang sempat diminta turun oleh massa pendukung reformasi ketika Habibie naik. Era Jokowi pun penuh tensi ketika ia harus berbagi panggung politik dengan Anies Baswedan, yang dikenal punya latar belakang dan orientasi politik berseberangan.
Kini, Prabowo dan Pramono kembali memperlihatkan pola lama: politik dua kepala di Jakarta.
Kepemimpinan dan Ketegangan Simbolik
Fenomena ketegangan antara Presiden dan Gubernur Jakarta dapat dianalisis dari berbagai pendekatan teori kepemimpinan dan politik urban. Yang pertama adalah konsep dual sovereignty dalam kota-kota besar, yang dijelaskan oleh akademisi seperti Benjamin Barber dalam bukunya “If Mayors Ruled the World”.
Barber menyoroti bahwa kota-kota global seperti New York, London, hingga Jakarta sering menjadi arena benturan antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal yang memiliki legitimasi sendiri. Dalam hal ini, Gubernur Jakarta tidak hanya bertanggung jawab atas pengelolaan kota, tetapi juga menjadi representasi identitas dan resistensi politis di tengah dinamika nasional.
Yang kedua adalah teori territorial governance seperti dijelaskan oleh Andy Pike dan John Tomaney, yang menyebutkan bahwa konflik antara pusat dan daerah sering terjadi karena tumpang tindih peran, kompetensi, dan sumber daya. Dalam konteks proyek Giant Sea Wall, persoalan pembiayaan menjadi pemicu gesekan. Ketika Presiden meminta Pemprov DKI ikut membayar, itu bukan hanya urusan teknis, tapi soal siapa yang memegang kendali narasi dan kebijakan pembangunan.
Teori ketiga datang dari Benedict Anderson soal imagined communities. Anderson mengajukan bahwa identitas politik dibentuk oleh narasi kolektif yang dikonstruksi. Dalam hal ini, Jakarta sebagai ibu kota negara kerap menjadi panggung simbolik tempat negara menunjukkan eksistensinya. Maka tak mengherankan jika setiap perbedaan atau ketidakhadiran pejabat di acara kenegaraan, seperti kasus Pramono yang tidak hadir di forum infrastruktur, langsung ditafsirkan sebagai bentuk “pembangkangan simbolik”.
Di tengah narasi ini, latar belakang Pramono sebagai kader PDIP menambah lapisan konflik. Partai yang kini tidak berada di dalam koalisi pemerintahan Prabowo tentu memunculkan tafsir politik baru: apakah ketidakhadiran Pramono merupakan bentuk sikap politik yang disengaja? Ataukah sekadar kebetulan administratif? Tak ada yang tahu pasti. Namun dalam politik, simbol dan gestur kadang lebih penting dari isi pidato.
Pramono, PDIP, dan Tantangan Prabowo
Pertanyaan mendasarnya kini adalah: apakah Prabowo dan Pramono bisa menjalin relasi harmonis demi pembangunan Jakarta, atau akan terus terjebak dalam polarisasi politik dua kepala?
Pramono bukan Gubernur Jakarta yang datang dari jalur biasa. Ia adalah mantan Sekretaris Kabinet di era Jokowi yang sangat paham dinamika pemerintahan pusat. Ia tahu persis bagaimana proyek nasional dikemas, dikendalikan, dan dinegosiasikan. Namun ia juga seorang loyalis Megawati Soekarnoputri, dan hingga hari ini, PDIP belum secara resmi bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dalam posisi ini, Pramono punya dua pilihan: menjadi mitra pembangunan yang aktif dan proaktif, atau menjadi simbol oposisi senyap di tengah proyek-proyek raksasa seperti Giant Sea Wall. Prabowo pun punya tantangan besar untuk tidak membiarkan Jakarta menjadi titik api politik baru. Ia harus bisa menjalin komunikasi politik yang tidak hanya bersifat formal, tetapi juga mengandung trust dan empati lintas partai.
Jika Prabowo gagal menjembatani dinamika ini, maka skenario politik dua kepala seperti era Anies-Jokowi akan terulang. Bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga memperbesar gap politik antara pusat dan daerah.
Sebaliknya, jika Prabowo mampu menggandeng Pramono dan menjadikan Jakarta sebagai contoh kolaborasi lintas ideologi, maka ia akan mencetak sejarah baru. Jakarta bisa menjadi laboratorium sinergi politik nasional dan lokal yang efektif.
Kita tak bisa menutup mata bahwa politik Jakarta adalah politik simbol. Segala tindakan, bahkan ketidakhadiran di sebuah forum, bisa memicu spekulasi besar. Dan dalam dunia politik, spekulasi bisa membentuk realitas baru. Maka dari itu, penting bagi Presiden Prabowo untuk tidak menjadikan isu seperti Giant Sea Wall sebagai ujian loyalitas politik, melainkan sebagai ladang kolaborasi yang inklusif.
Pada akhirnya relasi antara Presiden dan Gubernur Jakarta memang selalu kompleks. Pramono dan Prabowo sedang menulis bab baru dari relasi klasik ini. Pertanyaannya, apakah mereka akan menjadi duet yang harmonis seperti Soekarno-Soemarno, atau justru mengulangi ketegangan seperti era Ali Sadikin dan Soeharto? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: politik dua kepala di Jakarta bukan hanya soal ego, tapi soal arah masa depan ibu kota negara. (S13)