Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Diskursus pemakzulan Gibran Rakabuming Raka agaknya diwarnai oleh interpretasi tajam dari seorang “hakim konstitusi bayangan” setelah Mahfud MD turun gunung dan bisa saja memiliki signifikansi dan pengaruh tersendiri. Mengapa demikian?
Aspirasi sejumlah purnawirawan TNI ke DPR mengenai pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai RI-2 timbul tenggelam. Namun, Mahfud MD eksis menghangatkan diskursus dengan identitasnya yang begitu unik sebagai eks pejabat publik tier-1 negeri ini.
“Klasik”, naiknya Gibran ke tampuk kekuasaan memang sah secara administratif. Namun, banyak kalangan menilai proses menuju pencalonannya sarat dengan intervensi kekuasaan, terutama karena perubahan batas usia capres-cawapres oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang diwarnai konflik kepentingan.
Ketika Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan sekaligus akademisi hukum tata negara, memberikan analisis terbuka tentang kemungkinan pemakzulan Gibran, polemik yang semula hanya bergema di ruang akademik kiranya mulai memasuki wacana publik.
Menariknya, Mahfud tampak tidak memiliki intensi untuk memobilisasi massa, tidak memimpin petisi, tidak menggertak DPR, tapi terus mengulang dalam forum ilmiah dan publik, termasuk interpretasi adanya pelanggaran konstitusional serius dalam proses pencalonan Gibran.
Di tengah atmosfer politik yang lebih sibuk memburu kompromi, Mahfud pun tampaknya menempatkan diri menjadi semacam dissent yang senyap tapi menyengat.
Lantas pertanyaannya, mengapa telaah Mahfud bisa saja menjadi krusial?
“Hakim Konstitusi Bayangan”?
Berbeda dari para purnawirawan yang masuk ke dalam diskursus pemakzulan dari posisi outsider atau moral elders, Mahfud MD kiranya berada dalam posisi unik sebagai sosok yang pernah berada di jantung kekuasaan.
Pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), mantan Menko Polhukam, mantan legislator, dan yang paling penting seorang living legend akademisi hukum tata negara yang telah lama dikenal sebagai penjaga norma konstitusi.
Figur Mahfud kiranya perwujudan dari hybrid constitutional intellectual, di mana ia bukan aktivis, bukan partai, bukan juga pengamat biasa. Ia tahu isi dapur negara, tahu titik lemah lembaga, tahu logika kekuasaan.
Tapi alih-alih menggunakan pengetahuan itu untuk menjadi makelar politik pasca-kekuasaan, Mahfud agaknya justru memposisikan diri sebagai memori hidup konstitusi yang mengingatkan, memberi isyarat, dan mengajukan tafsir yang tidak populer namun relevan.
Dalam teorisasi politik konstitusional, peran seperti Mahfud dapat dibaca lewat kacamata Antonio Gramsci sebagai “intelektual organik” dari ranah negara yang “membelot” dalam terminologi konstruktif kepada publik.
Bukan hanya memberi penilaian, tapi menantang hegemonik narasi bahwa pemilu sudah selesai dan semuanya sah. Bagi Mahfud, suara pemilih mungkin tidak bisa menjadi jubah legitimasi untuk keputusan yang secara institusional dipenuhi konflik kepentingan dan korupsi etika.
Dengan tidak ikut barisan oposisi keras atau politisasi massa, Mahfud justru mengambil posisi yang lebih sulit, yakni dissent tanpa oposisi. Ia tidak berseberangan dengan negara, tapi juga tidak berdamai dengan deformasi institusi. Di titik inilah Mahfud menjadi figur yang mungkin sedikit mengganggu kekuasaan, bukan karena ancamannya, tetapi karena akal sehatnya.
Lalu, apakah signifikansi yang dikemukakan Mahfud dalam konteks konkret dinamika politik-pemerintahan ke depan, termasuk pemakzulan Gibran?
Sayangnya, “Hanya” Rekonstruksi Moral?
Wacana pemakzulan Gibran, jika diukur dari kemungkinan realisasi politik, nyaris nol. DPR dikuasai koalisi besar yang loyal kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Maka bagi Mahfud, diskurusus pemakzulan dan probabilitasnya boleh jadi bukanlah tujuan utama, tetapi sebagai bahasa simbolik untuk menagih akuntabilitas politik atas pelanggaran etik yang diformalisasi.
Dalam hal ini, Mahfud memainkan peran yang mirip dengan yang dijelaskan oleh Pierre Rosanvallon dalam konsep counter-democracy, yakni sistem demokrasi modern tidak hanya bekerja melalui pemilu, tetapi juga melalui “pembalasan etis” (ethical retribution) yang diartikulasikan oleh opini publik, intelektual publik, dan pengawas moral.
Mahfud tampak menjadi simbol counter-democracy itu sebagai koreksi moral muncul dari dissent senyap seperti dirinya yang memiliki rekam jejak trengginas sebagai Ketua MK.
Posisinya pun kiranya bukan sebagai eksekutor, tetapi penjaga ingatan yang menyuarakan bahwa “ini salah” bukan untuk membatalkan hasil, tetapi agar publik tidak terjebak dalam amnesia kolektif.
Dalam politik Indonesia yang sering kali mengubur noda demokrasi-konstitusi dalam “rekonsiliasi kekuasaan”, Mahfud sekilas memilih menjadi pengarsip kesalahan yang tak sempat disidang.
Mungkin karena itu suaranya tidak sekeras purnawirawan, tidak segemuruh massa, tidak setrending aktivis digital. Tapi seperti suara peluit wasit yang hanya berbunyi sekali untuk menandai pelanggaran besar, suara Mahfud kiranya cukup “satu” untuk menandai bahwa demokrasi Indonesia sempat atau telah melewati batas.
Namun, untuk motif dan intensi sesungguhnya di balik telaah kritis Mahfud serta implikasinya, hanya waktu yang pasti akan menjawabnya. (J61)