HomeNalar PolitikPengemudi Online, Kekuatan Baru?

Pengemudi Online, Kekuatan Baru?

Menteri hingga Presiden dibuat repot oleh aksi yang digelar pengemudi online.


PinterPolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]mpian Jakarta yang hijau terwujud di kawasan Istana pada 27 Maret lalu. Sayang, bukan rindangnya pepohonan yang membuat Jakarta menghijau, namun lautan massa pengemudi online-lah yang membuat kawasan Istana menjadi terlihat begitu hijau.

Kala itu, ribuan pengemudi online tumpah ruah di tempat administrasi dan kediaman Presiden tersebut. Unjuk rasa ini akhirnya berhasil mengirimkan perwakilan mereka bertemu dengan Presiden Jokowi. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuatan massa pengemudi online mulai memiliki pengaruh secara politik.

Pengemudi online sebagai kekuatan massa, terus menunjukkan taringnya melalui beragam aksi. Bukan tidak mungkin, kelompok ini memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Menteri dan Presiden sudah pernah harus berurusan dengan besarnya kekuatan massa ini.

Sejauh ini, kekuatan massa para pengemudi ini memang baru sebatas solidaritas di antara mereka saja. Akan tetapi, bukan tidak mungkin kekuatan ini menjadi kekuatan yang lebih kuat secara politik. Sejauh mana mereka dapat tumbuh?

Jumlah Massa yang Signifikan

Bukan satu kali saja himpunan pengemudi berbasis aplikasi ini membuat panas kuping penguasa. Sudah beberapa kali mereka mengepung tempat orang-orang penting di pemerintahan tersebut. Mereka bahkan berhasil memaksa pejabat sekelas menteri dan presiden meluangkan waktu untuk mereka.

Dari segi jumlah, pertumbuhan pengemudi baik untuk roda dua atau roda empat memang terus mengalami peningkatan. Dua perusahaan yang utama yaitu Go-Jek dan Grab, disinyalir masing-masing memiliki hampir satu juta mitra pengemudi.

Dalam catatan Go-Jek misalnya, mereka menyebut bahwa jumlah pengemudi yang terdaftar sebagai mitra mereka mencapai sekitar 900 orang. Angka ini diprediksi terus tumbuh seiring dengan ekspansi yang mereka lakukan di berbagai daerah.

Kondisi serupa berlaku pada perusahaan multinasional Grab. Menurut pengakuan mereka, sejak tahun 2014, pertumbuhan jumlah pengemudinya mencapai 574 persen. Kini, mereka disebut-sebut memiliki mitra sekitar 930 orang.

Angka-angka tersebut jelas jumlah yang cukup tinggi. Jika digerakkan bersamaan, maka ada hampir dua juta orang massa yang terhimpun dalam satu gerakan. Angka yang cukup tinggi dan menggiurkan bagi orang-orang yang memiliki kepentingan.

Kekuatan Politik Baru

Himpunan pengemudi ini seperti muncul sebagai kekuatan kelompok penekan yang baru. Massa yang mereka miliki begitu besar, sehingga siapapun yang harus menghadapinya pasti akan dibuat takut. Fakta ini membuat mereka dapat menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Asosiasi kelompok pengemudi itu kini muncul bak serikat buruh yang kerap membuat panas telinga pengusaha dan penguasa.

Secara ekonomi, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pengemudi ini bisa membuat para pejabat ketar-ketir. Ada banyak orang di negeri ini yang kini mengandalkan transportasi berbasis aplikasi untuk mendukung mobilitas mereka. Setiap minggunya, ada sekitar 15 juta orang yang melakukan transaksi dengan aplikasi ini.

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Pengemudi Online , Kekuatan Politik Baru?

Jika para pengemudi terus-menerus melakukan demonstrasi, bukan tidak mungkin 15 juta orang tersebut akan mengalami gangguan dalam aktivitas mereka. Mogoknya para pengemudi dapat menyebabkan terhambatnya aktivitas ekonomi masyarakat yang bergantung pada jasa mereka. Unjuk rasa yang mereka lakukan juga sempat menciptakan gangguan di jalan-jalan protokol Ibukota. Aksi mereka memang tidak membuat kelumpuhan total, akan tetapi tetap bisa memberikan dampak yang signifikan.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sendiri mengkhawatirkan kekuatan massa para pengemudi tersebut. Menurut Apindo, aksi para pengemudi online yang terjadi terus-menerus dapat merugikan bagi iklim investasi. Perusahaan transportasi multinasional seperti Grab atau Uber bisa saja berpikir ulang akan investasi mereka jika dihantam aksi beruntun.

Ancaman ekonomi ini tentu berbahaya bagi pemerintah. Di tengah upaya pemerintah menggenjot iklim usaha dan investasi, mereka harus berhadapan dengan aksi yang terjadi terus-menerus. Hal ini dapat membuat pemerintah harus menganggap serius aksi yang mereka lakukan.

Sejauh ini, aktivitas politik kelompok ini lebih banyak seputar kebijakan yang mempengaruhi mereka secara langsung. Dalam berbagai aksi yang mereka lakukan, kebanyakan lebih banyak memprotes soal regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada aktivitas mereka untuk mencari sesuap nasi.

Dalam aksi pengemudi taksi online pada 28 Januari lalu misalnya, para pengemudi ini melakukan protes terhadap Permenhub 108. Mereka menganggap peraturan seperti pemasangan stiker taksi online, pembatasan wilayah, dan harus tergabung ke dalam badan hukum atau koperasi, sebagai hal yang merugikan.

Hal serupa berlaku pada aksi pengemudi ojek online pada 27 Maret lalu. Para pengemudi ini meminta pemerintah membuat regulasi agar batas tarif tidak terlampau murah dan juga meminta pengakuan secara formal.

Kondisi tersebut sejalan dengan pemikiran Robert F. Hoxie tentang unionisme atau serikat. Menurutnya, pembentukan perserikatan umumnya terjadi karena kesamaan kebutuhan, tujuan, pandangan, dan perbaikan yang diinginkan. Oleh karena itu, kelompok asosiasi pengemudi online ini memang lebih banyak meminta perbaikan untuk kebutuhan mereka, ketimbang kepentingan yang lebih besar.

Meski tuntutan masih sangat spesifik untuk kepentingan mereka, para pemimpin negara ini menyadari signifikansi kekuatan mereka. Menhub Budi Karya Sumadi misalnya, sempat menolak bertemu dengan perwakilan taksi online. Akan tetapi, massa yang begitu banyak dan enggan pergi membuatnya “terpaksa” menemui 15 perwakilan mereka.

Tidak hanya menteri, Presiden Jokowi pun seperti menangkap sinyal kuatnya pengemudi online sebagai massa. Orang nomor satu tersebut bersedia duduk satu meja dengan perwakilan pengemudi ojek online. Padahal, Jokowi beberapa kali tidak menemui massa yang berdemo di Istana seperti pada aksi 212 atau aksi para petani Kendeng.

Baca juga :  Pemilu 2024: Kala Demokrasi 'Eksploitasi' Rakyat

Sejauh ini, memang belum ada perubahan spesifik yang terjadi akibat pertemuan-pertemuan tersebut. Akan tetapi, kemauan para pejabat tinggi bertemu para pengemudi dapat menjadi gambaran bahwa mereka cukup diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan.

Sampai saat ini, memang belum ada yang memanfaatkan kekuatan para pengemudi tersebut untuk kepentingan politik elektoral. Akan tetapi, kekuatan yang begitu menjanjikan membuat kemungkinan seperti itu tetap terbuka.

Sebagaimana serikat buruh, serikat pengemudi online dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan politik. Bukan tidak mungkin, nanti ada kandidat yang menggaet asosiasi ini untuk mendulang suara dalam suatu pemilihan. Bukan tidak mungkin pula, ada kandidat dari asosiasi pengemudi online yang maju dalam Pemilu atau Pilkada.

Magnet Para Aplikator

Selain pengemudi, kekuatan aplikator juga tidak bisa dipandang remeh. Perusahaan pemberi layanan ini memegang data jutaan pelanggan dari berbagai kalangan. Di era big data di mana data hampir disetarakan dengan emas, mereka jelas memiliki kekuatan tersendiri.

Go-Jek misalnya, memiliki total sekitar 15 juta pengguna aktif setiap minggunya. Di era big data seperti sekarang, angka 15 juta pengguna aktif tentu adalah hal yang sangat menarik. Data ini bisa digunakan untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Kasus Facebook dan Cambridge Analytica menjadi contohnya. Seperti Facebook, bukan tidak mungkin data yang dimiliki Go-Jek ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik kelompok tertentu.

Tidak hanya kuat dari segi data, sebagai kekuatan bisnis yang baru, pemilik perusahaan aplikasi ini juga dapat memiliki kekuatan dari segi koneksi. Bos-bos perusahaan ini jelas harus memiliki jejaring yang baik dengan penguasa dan politisi, agar bisnis mereka tetap lancar. Di lain pihak, para politisi juga harus menjalin hubungan dengan mereka untuk mendapatkan dukungan baik dari pengaruh ataupun finansial.

CEO Go-Jek Nadiem Makarim misalnya, pernah beberapa kali kedapatan menemui Jokowi di Istana. Tidak hanya itu, Nadiem dan Jokowi juga pernah saling melontarkan pujian. Hal ini menjadi tanda bahwa sebagai pemilik perusahaan startup, Nadiem mulai diperhitungkan oleh orang nomor satu di negeri ini.

Majunya perkembangan zaman telah memunculkan kekuatan politik baru. Baik pengemudi atau aplikator transportasi online, muncul menjadi kekuatan baru. Bukan tidak mungkin, mereka bisa menimbulkan perubahan tertentu di negeri ini. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu.

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya beri selamat kepada Prabowo Subianto. Namun, mungkinkah hanya 'setengah hati' selamati Prabowo?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Anomali Jokowi

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...