Dengarkan artikel ini:
Nama AHY kini jadi salah satu komoditas politik yang diperhitungkan serius. Bukan tanpa alasan, dengan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan serta sebagai Ketua Partai Demokrat, posisi AHY jadi salah satu kandidat kuat untuk jadi cawapres Prabowo di Pilpres 2029.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pernah dipandang sebelah mata. Di awal karier politiknya, ia dinilai hanya menumpang nama besar sang ayah, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Banyak yang menyebutnya “anak bawang politik” atau sekadar penerus dinasti yang terlalu dini dilempar ke panggung besar. Kegagalannya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dianggap sebagai bukti bahwa elektabilitas dan kapasitas AHY belum siap diuji dalam gelanggang politik keras.
Namun waktu berjalan. AHY tetap bertahan. Ia bahkan kini telah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat—partai papan tengah yang kembali menemukan napas politiknya. Tidak hanya itu, dalam pemerintahan Prabowo Subianto, AHY menduduki posisi strategis sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. Sebuah lompatan besar bagi figur yang sebelumnya lebih banyak berada di pinggiran kekuasaan.
Kini, wacana pencawapresan AHY pada Pilpres 2029 mulai mencuat. Ia digadang-gadang akan jadi salah satu kandidat terkuat untuk mendampingi Prabowo Subianto yang maju lagi sebagai capres.
Di tengah stagnasi figur-figur lama dan dominasi dinasti politik yang membuat publik jenuh, AHY muncul sebagai wajah yang relatif segar, namun tetap berpengalaman. Modal elektoralnya pun tak bisa dipandang enteng. Dengan basis partai, pengalaman birokrasi, dan jejak politik yang terus terasah, AHY semakin siap menjadi bagian dari babak baru Indonesia.
Pertanyaannya adalah seberapa besar modal AHY?
Menghitung AHY
Fenomena menguatnya nama AHY dalam konstelasi politik Indonesia akhir-akhir ini dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan teoretis.
Pertama adalah teori political capital seperti yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Dalam kerangka ini, AHY tengah mengakumulasi “modal politik” melalui berbagai bentuk—modal simbolik sebagai anak mantan presiden, modal organisasi sebagai Ketua Umum partai, dan kini, modal institusional sebagai Menko di kabinet. Modal ini tidak bekerja secara statis, melainkan dinamis, saling menguatkan dan dibarterkan dalam relasi kekuasaan yang lebih luas.
Bourdieu menyebut bahwa arena politik adalah ajang perebutan dominasi antara aktor-aktor yang memiliki modal berbeda. Dalam hal ini, AHY berkompetisi dengan figur-figur seperti Gibran Rakabuming Raka yang membawa modal Jokowi, atau Puan Maharani yang mengusung modal Megawati dan PDIP. Bedanya, AHY tidak hanya menjadi pewaris modal, tetapi juga sedang aktif membangunnya lewat rekam jejak politik.
Teori kedua yang relevan adalah path dependency atau ketergantungan jalur. Dikenalkan oleh Paul Pierson, teori ini menjelaskan bagaimana keputusan-keputusan di masa lalu akan membentuk jalan sempit bagi pilihan-pilihan di masa depan. Dalam konteks ini, keberadaan AHY sebagai figur elite dari partai besar, yang telah menempuh jalan konsolidasi internal selama bertahun-tahun, menjadikannya kandidat yang lebih stabil dibanding figur lain yang bergantung pada kekuasaan personal atau dinasti.
Teori ketiga berasal dari Chantal Mouffe tentang agonistic pluralism. Dalam demokrasi, kata Mouffe, konflik tidak harus dihindari tetapi perlu disalurkan secara produktif. Kehadiran AHY sebagai alternatif di tengah pertarungan dua kekuatan besar—Jokowi dan Megawati—memberi warna agonistik yang sehat bagi demokrasi Indonesia.
Ia tidak muncul sebagai perpanjangan tangan oligarki tertentu, tetapi menawarkan ruang kompromi di tengah polarisasi politik yang kian melebar.
Dengan kombinasi modal politik, struktur jalur sejarah yang mendukung, dan posisi sebagai “aktor tengah” dalam lanskap kekuasaan, AHY bisa menjadi tokoh yang menarik untuk memecah kebuntuan politik nasional.
AHY: Antara Harapan dan Realitas Kekuasaan
Meski secara teori AHY memiliki bekal yang menjanjikan, realitas politik Indonesia bukan arena yang netral. Nama besar dan modal politik bukan jaminan kemenangan di tengah kompetisi yang seringkali ditentukan oleh oligarki, narasi populis, dan sentimen primordial.
Tantangan terbesar AHY adalah membebaskan dirinya dari bayang-bayang politik lama sekaligus meyakinkan publik bahwa ia bukan sekadar simbol masa lalu yang dibungkus kemasan baru.
Di sisi lain, pengaruh elite seperti Jokowi dan Megawati masih sangat kuat. Jokowi punya jaringan birokrasi dan infrastruktur politik yang luas, terutama setelah keberhasilannya mendorong Gibran menjadi Wapres bersama Prabowo di Pilpres 2024.
Megawati, meski mulai meredup, tetap menjadi penjaga gerbang PDIP dan pusat kekuatan ideologis di kubu nasionalis. Dalam lanskap ini, AHY harus mampu merebut ruang, bukan hanya dari luar tetapi juga dari dalam.
Sebagai Menko, AHY punya peluang besar untuk menunjukkan kapasitasnya. Tapi jabatan ini juga membawa risiko tinggi: jika ia gagal dalam tugasnya atau terseret isu-isu hukum dan politik, maka peluangnya untuk 2029 bisa runtuh lebih cepat dari yang dibayangkan. Di sinilah pentingnya bagi AHY untuk membangun narasi kuat, tidak hanya berbasis retorika, tetapi juga bukti kerja nyata yang dapat dikapitalisasi secara elektoral.
Momen-momen seperti ini sering kali menjadi batu ujian: apakah ia hanya akan menjadi nama yang sering disebut dalam survei, atau benar-benar menjadi figur yang disiapkan oleh sejarah untuk mengisi kekosongan kepemimpinan.
Next Chapter atau Bab Sampingan?
Pertanyaannya kini: apakah AHY akan benar-benar menjadi “Next Chapter” Indonesia? Atau ia hanya akan menjadi catatan pinggir dari drama politik yang terus digerakkan oleh dinasti dan oligarki yang sama?
Jawaban atas pertanyaan ini bukan hanya soal AHY sendiri, tetapi juga tentang arah demokrasi Indonesia. Jika publik dan elite politik mulai lelah dengan model-model kepemimpinan yang berputar pada nama-nama itu saja, maka AHY bisa menjadi simbol perubahan yang diharapkan.
Namun jika logika politik tetap dikuasai oleh mekanisme transaksional dan pengaruh-pengaruh lama, maka AHY akan sulit menembus barikade kekuasaan yang sudah lama mapan.
Pada akhirnya, AHY adalah cerminan dari dinamika politik Indonesia yang sedang mencari bentuk baru. Ia bukan sosok radikal yang menawarkan perubahan ekstrem, tapi juga bukan boneka kekuasaan. Di tengah stagnasi kepemimpinan, kadang figur seperti inilah yang justru punya peluang untuk menyatukan kembali fragmen-fragmen politik yang terpecah.
Namun seperti halnya setiap babak baru dalam sejarah, semuanya tergantung pada momentum. Dan pertanyaan besarnya: apakah 2029 akan menjadi milik AHY, atau justru milik mereka yang lebih lihai menari dalam gelapnya panggung kekuasaan Indonesia? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)