HomeNalar PolitikMeretas Batas Indonesia-Australia

Meretas Batas Indonesia-Australia

Perjanjian perbatasan antara Australia dan Timor Leste bisa jadi celah bagi Indonesia untuk meminta hal serupa pada Negeri Kanguru.


PinterPolitik.com

Hubungan antara Australia dan Timor Leste akan memasuki babak baru. Hal ini terjadi setelah kedua negara bertetangga tersebut menandantangani perjanjian bersejarah soal perbatasan laut di antara mereka. Perjanjian ini akan ditandatangani di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.

Timor Leste menyambut baik perjanjian batas maritim tersebut dan menganggapnya sebagai hari yang bersejarah. Negara yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut, diperkirakan akan mendapat untung dari perjanjian batas maritim tersebut.

Beberapa pengamat internasional menduga, perjanjian ini akan berpengaruh pada Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengikuti langkah Timor Leste untuk melakukan negosiasi batas wilayah dengan Australia. Indonesia akan mencari untung serupa dengan bekas wilayahnya tersebut.

Jika Indonesia mengambil langkah serupa Timor Leste, keuntungan apa yang bisa diambil oleh Indonesia? Hubungan Indonesia dan Negeri Kanguru sejauh ini kerap mengalami naik-turun. Apakah negosiasi soal perbatasan bisa menambah rusak hubungan antara kedua negara?

Mengikuti Langkah Timor Leste

Perbatasan antara Australia dan Timor Leste memang menimbulkan masalah sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak Timor Leste lepas dari Indonesia pada tahun 1997, tidak ada batas yang jelas di antara kedua negara yang berjarak amat dekat tersebut.

Di area tersebut terdapat wilayah yang amat menggiurkan untuk pemasukan masing-masing negara. Ada sebuah sumber Migas di wilayah yang dikenal sebagai Celah Timor, yaitu sumber Migas Greater Sunrise. Keberadaan sumber Migas ini kerap menjadi sumber ribut antara Australia, Timor Leste, dan terkadang Indonesia. Beberapa pengamat menduga sumber Migas tersebut akan menjadi motivasi Indonesia memperbaiki batas wilayah dengan Australia.

Indonesia memang memiliki masalah perbatasan dengan negeri asal bumerang tersebut. Sebenarnya telah ada Perjanjian Perth 1997 yang membahas perbatasan antara kedua negara. Akan tetapi, hingga saat ini, Indonesia masih belum meratifikasi perjanjian tersebut.

Meretas Batas Indonesia-Australia

Kedua negara memang telah menyetujui batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Akan tetapi, belum ada konsekuensi atas pelanggaran batas tersebut. Hal ini membuat Indonesia enggan untuk meratifikasi perjanjian tahun 1997 tersebut.

Perjanjian antara Timor Leste dan Australia dapat dijadikan peluang bagi Indonesia untuk juga menegosiasikan batas wilayah laut dengan Australia. Belum diratifikasinya perjanjian tahun 1997, dapat menjadi alasan bagi Indonesia dalam memiliki peluang untuk menegosiasikan kembali batas wilayahnya dengan Australia.

Sejauh ini, beberapa pihak menyebut perjanjian tersebut akan merugikan Indonesia. Meski belum diratifikasi, Perjanjian Perth disebut-sebut telah dimanfaatkan oleh Australia. Beberapa pihak misalnya, menuding kalau perjanjian itu dimanfaatkan untuk menindas nelayan tradisional Indonesia.

Banyak nelayan asal Indonesia yang terpaksa harus berurusan hukum dengan negeri asal hewan Koala tersebut. Nelayan yang berasal dari NTT, konon banyak  ditangkap dan ditahan karena dianggap melanggar batas wilayah antara kedua negara.

Baca juga :  Dunia: Let's Work Together, Prabowo!

Australia bertindak seakan-akan telah memiliki tata batas laut yang jelas di wilayah tersebut. Tindakan ini dibuktikan dengan penahanan terhadap nelayan-nelayan Indonesia dengan menggunakan hukum yang berlaku di negara terbesar di Oseania tersebut.

Hal inilah yang membuat beberapa pihak menilai Indonesia harus menegosiasikan kembali secara jelas, batas wilayah dengan negara tersebut. Sudah terlalu lama nelayan Indonesia harus menderita karena tindakan sewenang-wenang dari negara tetangga yang masuk dalam persemakmuran Inggris itu.

Indonesia Ingin Terciprat Minyak?

Jika memilih menegosiasikan kembali batas wilayah tersebut, Indonesia bisa saja memperoleh akses pada sumber Migas yang ada di Celah Timor. Negeri ini bisa saja kelimpahan rezeki berupa sumber Migas baru dengan keuntungan miliaran dollar.

Meski begitu, sebagian kalangan melihat kalau perolehan Migas dari area tersebut tidak benar-benar menguntungkan. Biaya produksi untuk mengelola Migas di wilayah tersebut disebut-sebut lebih besar ketimbang potensi keuntungan yang diberikan.

Tengok saja perhitungan yang berlaku bagi perolehan keuntungan Timor Leste. Di atas kertas, keuntungan yang dapat diperoleh negara yang beribukota di Dili tersebut mencapai 40 miliar dollar AS. Akan tetapi, beberapa pengamat menyebut bahwa keuntungannya kemungkinan hanya mencapai 8,16 miliar dollar AS.

Pengamat perminyakan AS, Jeffrey Feynman menyebut bahwa diperlukan biaya hingga 24 miliar dollar AS untuk mengembangkan proyek Migas di area Greater Sunrise. Ia juga menduga bahwa proyek tersebut akan memberikan kerugian sebesar 28 miliar dollar AS selama 30 tahun produksi.

Infrastruktur perminyakan di area tersebut juga dianggap sudah usang dan tidak cukup memadai. Disebutkan bahwa jika tidak ada investor gila yang menanam dananya, maka kemungkinan adanya infrastruktur baru untuk mengeksporasi minyak hampir mendekati nol.

Jika energi yang menjadi sumber keinginan Indonesia memperjelas batas wilayah dengan negara yang dipimpin Malcolm Turnbull tersebut, maka kondisi di atas penting untuk diperhatikan.  Jangan sampai mengambil risiko memburuknya hubungan demi keuntungan Migas yang masih belum jelas.

Menambah Beban Hubungan?

Indonesia memang idealnya menegosiasikan ulang batas wilayah dengan negara persemakmuran Inggris tersebut. Ada kedaulatan negara yang harus dijunjung tinggi melalui perjanjian perbatasan yang jelas. Akan tetapi, langkah ini diprediksi tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.

Tensi hubungan antara Indonesia dengan Australia kerap meninggi dalam beberapa kesempatan. Kedua negara ini memang memiliki ketergantungan satu sama lain, akan tetapi ada saja masalah yang menyebabkan hubungan keduanya memanas.

Menurut Tim Lindsey dan Dave McRae, Indonesia dan Australia memang tergolong pasangan internasional yang aneh. Menurut mereka, terlalu banyak perbedaan di antara keduanya sehingga hubungan kerapkali bergolak dan tidak mudah diprediksi.

Baca juga :  Zaken Kabinet atau Titan Kabinet?
Meretas Batas Indonesia-Australia
Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malcolm Turnbull (Foto: The Jakarta Post)

Mengikuti langkah Timor Leste dengan menegosiasikan ulang batas wilayah, memang bisa memberikan manfaat tersendiri bagi Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada masalah yang bisa timbul akibat langkah tersebut. Menegosiasi ulang  batas wilayah antara negeri ini dengan Negeri Kanguru dapat membuka luka lama hubungan antara keduanya. Tensi hubungan yang tinggi bisa jadi tambah menanjak akibat langkah tersebut.

Hubungan kedua negara pernah memanas, misalnya pada saat eksekusi mati terpidana Narkoba Andrew Chan and Myuran Sukumaran. Ketika itu, Perdana Menteri Tony Abbott sempat menarik pulang duta besarnya di Jakarta sebagai bentuk protes.

Tensi juga sempat kembali meninggi manakala Panglima TNI Gatot Nurmantyo menghentikan sementara perjanjian kerjasama militer dengan Australia. Hal ini dilakukan setelah terjadi penghinaan terhadap Pancasila dalam kurikulum pelatihan pangkalan militer di Perth. Tidak hanya itu, ditemukan juga materi tentang Papua harus merdeka dari Indonesia.

Meski kerap bersitegang, keduanya tergolong saling membutuhkan. Deperteman Perdagangan Australia misalnya, menyebut hubungan dengan Indonesia adalah salah satu yang paling penting. Indonesia saat ini menjadi mitra dagang nomor 12 bagi Negeri Kanguru tersebut.

Indonesia juga membutuhkan hubungan baik dengan negara tersebut. Dari segi pariwisata misalnya, sekitar satu juta wisatawan mengunjungi Pulau Dewata setiap tahunnya. Kedua negara juga disebut-sebut memiliki salah satu perjanjian kerjasama pendanaan intelejen terbaik di dunia.

Meminta negara bekas jajahan Inggris itu untuk mengatur ulang batas wilayah, bisa saja mengganggu kerjasama yang telah terjalin cukup lama. Riwayat hubungan yang kerap panas bisa saja semakin panas akibat langkah tersebut.

Sejauh ini, Indonesia tampak menyambut baik ditandatanganinya perjanjian antara Australia dan Timor Leste. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memberikan pernyataan, meski Indonesia tidak menjadi pihak yang terlibat dalam rekonsiliasi, Indonesia mengamati secara saksama pada proses perjanjian tersebut.

Kemenlu menambahkan bahwa Perjanjian Perth 1997 tidak bisa dibiarkan seperti saat ini. Perjanjian antara Australia dan Timor Leste berkonsekuensi terjadi perubahan pula pada wilayah  antara Indonesia dengan negara yang beribukota di Canberra tersebut. Oleh karenanya, batas wilayah antara Indonesia dan Australia seharusnya bisa dinegosiasikan ulang.

Di lain pihak, Australia menyatakan tidak perlu melakukan negosiasi batas wilayah dengan Indonesia. Bagi pemerintahan di Canberra, kedua negara memiliki pemahaman batas-batas negara yang melayani kedua negara dengan baik selama beberapa dekade.

Mengatur ulang batas dengan negara pengimpor daging tersebut memang dapat memberi manfaat. Akan tetapi, hal ini perlu dilakukan secara hati-hati, jangan sampai hubungan yang kerap naik-turun harus memburuk karena hal tersebut. Jadi, apakah perlu Indonesia menegosiasi batas dengan Australia? (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...