Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?
Mungkin bukan lagi profesi idaman mertua, kabar mengejutkan datang dari lingkup rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun 2024. Sebanyak 1.967 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilaporkan mengundurkan diri pasca pengumuman kelulusan.
Fenomena ini mencuatkan kegelisahan publik sekaligus membuka ruang refleksi besar terhadap proses rekrutmen CPNS yang selama ini dianggap sebagai jalan emas menuju stabilitas pekerjaan dan status sosial.
Alasan mundurnya para CPNS tersebut ternyata sangat beragam. Mayoritas, 1.285 orang, memilih mengundurkan diri karena penempatan yang terlalu jauh dari domisili.
Faktor lainnya seperti kendala izin keluarga (320 orang), kesehatan orang tua (156), hingga melanjutkan pendidikan (44 orang), turut memperlihatkan sisi humanis dari para pelamar yang selama ini hanya dinilai dari sisi administratif. Kendati, semua probabilitas eksis, termasuk hanya “alasan” belaka.
Namun di balik angka dan alasan ini, ironi besar kiranya eksis, yakni ketika negara membutuhkan birokrasi yang merata dan kuat hingga ke pelosok, justru para pelamarnya menolak ditempatkan di luar zona kenyamanan mereka.
Apakah ini sepenuhnya salah mereka? Atau justru sistem rekrutmen dan manajemen ASN yang perlu direformasi?
Fenomena ini bukan hanya soal personalia. Setidaknya, isu tersebut menyentuh lapisan-lapisan struktural yang lebih dalam. Mulai dari ketimpangan pembangunan, konektivitas sosial dan ekonomi antarwilayah, hingga orientasi nilai dari generasi baru calon ASN.
Untuk itu, dua lapisan analisis berikut mencoba menyibak kompleksitas ini dengan pendekatan yang lebih konseptual dan teoritis.
Gambaran “Bencana” Struktural?
Fenomena pengunduran diri CPNS dalam jumlah besar bukanlah sekadar soal “enggan ditempatkan jauh”. Kemungkinan hal ini terkait manifestasi dari kegagalan negara dalam membangun infrastruktur pemerataan, baik dalam hal pembangunan fisik maupun sosial.
Dalam kerangka struktural fungsionalisme, setiap elemen dalam sistem sosial memiliki fungsi masing-masing demi stabilitas sosial. Rekrutmen CPNS, idealnya, berfungsi memenuhi kebutuhan negara akan birokrat di seluruh pelosok negeri.
Namun, ketika penempatan dilakukan tanpa mempertimbangkan realitas sosial-kultural individu yang direkrut, maka fungsi tersebut justru menjadi disfungsi.
Sebagai contoh, sistem rekrutmen nasional bersifat terpusat dan berbasis pada pemilihan formasi melalui online platform. Namun, tidak semua pelamar memiliki pengetahuan detail mengenai lokasi, kondisi, dan tantangan unit penempatan yang mereka pilih.
Banyak kasus “salah pilih formasi”, atau pemilihan “asal-asalan” karena melihat formasi yang kosong. Ini menunjukkan defisit informasi dan interaksi antara pusat dan pinggiran, antara negara dan warga.
Dalam konteks ini, ketimpangan antara “ruang tempat tinggal” dan “ruang aliran informasi” adalah sumber krisis sosial modern. Pelamar CPNS berada dalam ruang hidup yang lokal, sementara negara memaksakan logika distribusi ASN secara makro tanpa menjembatani realitas mereka.
Ketika pemetaan penempatan tidak memperhitungkan mobilitas sosial, biaya relokasi, dan kondisi keluarga, maka terjadi “ketegangan” antara fungsi sistem dan pengalaman personal.
Kebijakan optimalisasi dengan menempatkan peserta yang lulus tetapi formasinya sudah penuh ke formasi lain yang kosong, secara administratif mungkin efisien. Namun secara sosiologis, kebijakan ini sangat problematis karena menempatkan pelamar sebagai resources, bukan human beings dengan konteks dan realitas.
Sistem ini seolah gagal menangkap dinamika afeksi, relasi keluarga, serta tanggung jawab domestik yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keputusan kerja seseorang.
Di sinilah paradoks Weberian muncul. Max Weber menyebut birokrasi sebagai bentuk organisasi rasional, namun ketika rasionalitas formal tidak disertai rasionalitas substantif.

Jangan Jadi “Pecundang”?
Jika di bagian sebelumnya mengupas sistem dan struktur, maka bagian ini akan membahas subjektivitas para CPNS itu sendiri. Mengapa banyak dari mereka yang justru menarik diri setelah dinyatakan lulus?
Apakah ini cerminan kemerosotan dedikasi generasi muda terhadap negara? Atau justru ini adalah bentuk rasionalitas baru dalam menimbang masa depan?
Studi dari Ronald Inglehart tentang Post-Materialist Values menunjukkan bahwa generasi muda kini cenderung lebih mempertimbangkan quality of life daripada sekadar kestabilan finansial.
Dalam konteks ini, menjadi PNS yang ditempatkan di wilayah terpencil mungkin dianggap tidak sebanding dengan pengorbanan kualitas hidup yang harus dibayar—jauh dari keluarga, akses terbatas, tekanan sosial baru.
Konsep precariat ala Guy Standing pun kiranya bisa menjadi rujukan interpretasi. Meskipun ASN adalah simbol kestabilan, proses seleksi dan penempatan yang tidak bisa diprediksi atau dinegosiasikan bisa membuat banyak pelamar merasa tidak punya kontrol atas masa depan mereka.
Ketika mereka merasa tidak menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan, maka wajar jika mereka memilih keluar dan mencari jalur kerja yang memberi mereka lebih banyak otonomi.
Selama ini, narasi bekerja sebagai PNS selalu dibungkus dengan janji kemapanan, status sosial, dan pengabdian.
Namun bagi generasi yang lebih melek informasi dan terbiasa berpikir strategis soal karier, narasi tersebut tidak lagi cukup. Mereka menginginkan pengakuan bukan karena seragam, melainkan karena nilai dan impact pekerjaan mereka. Tentu, hal ini di luar konteks dan diskursus yang menjadi rahasia umum seperti “kementerian sultan” atau “tempat basah”.
Lebih jauh lagi, mundurnya CPNS juga bisa dibaca sebagai ketidakcakapan negara dalam membangun narasi baru tentang ASN.
Di tengah disrupsi teknologi, birokrasi digital, dan kebutuhan akan pelayanan publik yang humanis, posisi ASN seharusnya dibingkai sebagai agen perubahan.
Namun jika proses rekrutmen dan penempatan masih berlogika administratif semata, maka ASN akan terus dilihat sebagai simbol kekakuan, bukan inovasi.
Negara perlu mengadopsi pendekatan human capital theory yang tidak hanya melihat pelamar sebagai angka statistik, tetapi sebagai sumber daya manusia dengan latar belakang psikososial yang kompleks.
Proses seleksi harus mulai melibatkan asesmen yang lebih holistik, termasuk nilai, harapan hidup, dan kesiapan mental untuk menjadi abdi negara di medan yang menantang.
Dari segi para pelamar, sikap nasionalisme serta komitmen atas dedikasi diri kepada negara kiranya juga wajib ditanamkan sejak memutuskan mendaftar sebagai PNS.
Sebuah hal yang dari sisi skeptis bisa saja bermuara pada eksploitasi negara dengan pembiaran ketimpangan. Tetapi di sisi positif, integritas tentu akan menjadi nilai lebih tersendiri bagi mereka untuk bahu-membahu membenahi birokrasi hingga ke pelosok.
Pemerataan ASN kiranya tidak akan tercapai hanya dengan optimalisasi teknokratis. Ia memerlukan rekayasa imajinasi publik, perbaikan sistem mobilitas antarwilayah, dan pembentukan kultur kerja baru yang mampu menjawab tantangan zaman.
Bila tidak, maka setiap periode regenerasi aparatur negara, bukan tidak mungkin Indonesia akan menyaksikan ironi yang sama saat ribuan anak muda yang lulus seleksi, namun menolak menjadi bagian dari sistem yang tak memahami mereka. (J61)