Dengarkan artikel ini:
Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi. Pasalnya, spekulasi yang bermunculan mengaitkan video ini dengan upaya Gibran untuk maju di 2029, yakni kembali mendampingi Presiden Prabowo sebagai cawapres di Pilpres tersebut.
Tak ada hujan tak ada angin, pada 17 April 2025, Gibran Rakabuming Raka—Wakil Presiden Republik Indonesia dan putra sulung Presiden Joko Widodo—tampil dengan cara yang tidak biasa. Sebuah video monolog berdurasi 6 menit 20 detik diunggah di kanal YouTube-nya, membahas isu strategis yang selama ini hanya diperdebatkan oleh para akademisi, ekonom, dan pengamat kebijakan: bonus demografi.
Tampil dengan set yang serius dan pencahayaan minimalis, Gibran berbicara langsung ke kamera, menyampaikan potensi Indonesia sebagai negara dengan kekuatan tenaga kerja muda terbesar di Asia Tenggara. Ia menyampaikan bahwa momen ini hanya datang sekali dalam sejarah bangsa. Jika tidak dimanfaatkan dengan bijak, peluang itu bisa berubah menjadi bencana sosial.
Monolog ini menjadi peristiwa politik. Bukan karena substansi materinya terlalu luar biasa, tapi karena ini adalah kali pertama sejak dilantik sebagai wakil presiden, Gibran tampil dalam narasi kebijakan yang jelas, terstruktur, dan dibingkai dengan strategi komunikasi massa. Tiba-tiba, netizen, pengamat, dan politisi bertanya: Is it Gibran time?
Sejak menjabat sebagai Wapres, Gibran lebih sering berada dalam senyap. Ia tidak banyak bicara, tidak sering tampil dalam forum-forum politik penting, dan jarang terdengar dalam perdebatan kebijakan. Gibran hanya terlihat lewat aksi-aksi blusukannya bagi-bagi susu, atau mengunjungi wilayah yang terkena bencana alam.
Ini berbeda dengan figur seperti Jusuf Kalla atau bahkan Ma’ruf Amin di tahun-tahun awal. Hal ini sebetulnya terbilang dilematis bagi Gibran. Ketika ia berbicara, sering kali ia dipertanyakan: apakah pantas seorang wapres berbicara terlalu vokal ketika presidennya adalah Prabowo Subianto, seorang figur dominan dengan latar militer dan populisme yang kuat?
Namun ketika ia terlalu diam, muncul cibiran dari warganet yang menyebutnya “AFK” alias away from keyboard – istilah milenial dan gen z untuk politisi yang tidak ada kerjaan. Posisi politik Gibran memang berada dalam jebakan struktural: ia tidak punya partai, tidak punya sejarah panjang dalam birokrasi atau legislatif, dan dibayangi oleh nama besar ayahnya yang masih menjadi kekuatan utama politik Indonesia.
Maka, video monolog itu menjadi semacam sinyal. Sinyal bahwa Gibran ingin keluar dari bayang-bayang. Ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa menyampaikan narasi besar. Apalagi, isu bonus demografi adalah salah satu janji kampanye paling sentral dari duet Prabowo-Gibran di Pilpres 2024: menciptakan 19 juta lapangan kerja. Banyak yang menafsirkan video itu sebagai langkah awal menuju 2029. Benarkah demikian?
Bayangan 2029 dan Pengulangan Koalisi
Spekulasi pun bergulir. Apakah ini pertanda bahwa Gibran akan kembali maju di Pilpres 2029, kali ini tetap sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo untuk periode kedua? Atau bahkan, tidak sedikit yang menyebut bahwa Gibran akan naik kelas menjadi capres—melanjutkan apa yang telah dibuka oleh Mahkamah Konstitusi setahun lalu.
Seperti kita tahu, pencalonan Gibran pada Pilpres 2024 bukanlah peristiwa politik biasa. Ia bisa maju karena putusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya sendiri, Anwar Usman. Putusan tersebut merevisi batas usia minimum capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah. Gibran adalah walikota Surakarta saat itu, sehingga memenuhi syarat.
Putusan ini memicu krisis legitimasi dalam ruang publik. Demonstrasi pecah di berbagai kota. Akademisi, mahasiswa, hingga aktivis prodemokrasi menyebut ini sebagai bentuk “nepotisme konstitusional”. Tapi pada akhirnya, Gibran tetap lolos, menang bersama Prabowo, dan kini duduk di kursi wapres.
Ketika kini muncul sinyal bahwa ia mungkin akan maju lagi bersama Prabowo pada 2029, publik tidak bisa tidak mengaitkannya dengan konteks masa lalu. Apalagi dengan asumsi bahwa Jokowi—yang hingga kini masih menjadi figur sentral dalam politik Indonesia—masih memegang kendali dalam banyak hal: partai, kabinet, bahkan opini publik.
Jika kita tarik ke dalam kerangka teori politik, fenomena Gibran bisa dilihat sebagai bagian dari apa yang disebut political dynasty reproduction. Teori ini disampaikan oleh Jeffrey Winters dalam kerangka oligarchic power circulation. Dalam sistem demokrasi elektoral, terutama di negara berkembang, sirkulasi elit sering kali tidak menghasilkan wajah baru, melainkan memperpanjang garis warisan politik keluarga.
Gibran adalah generasi kedua dari politik Jokowi. Generasi pertama: Jokowi sebagai wali kota, lalu gubernur, lalu presiden. Generasi kedua: Gibran sebagai wali kota dan wapres. Inilah yang disebut oleh Hadiz dan Robison (2013) sebagai populist-authoritarian reconfiguration, di mana warisan kekuasaan disimulasikan dalam ruang demokrasi melalui citra kesederhanaan, kerja nyata, dan kedekatan dengan rakyat.
Tetapi kemunculan Gibran bukan hanya soal dinasti. Ini juga soal regenerasi. Banyak yang melihat bahwa Prabowo sebagai presiden kelak membutuhkan “penerus politik” yang bisa menjaga stabilitas politik dan melanjutkan kebijakan. Dalam konteks ini, Gibran adalah simbol kontinuitas, bukan hanya dalam konteks Jokowi, tapi juga dalam konteks Prabowo.
Jika benar Gibran akan kembali mendampingi Prabowo, maka kita melihat apa yang disebut strongman-softman partnership: pasangan antara figur kuat dan dominan (Prabowo) dengan figur muda, adaptif, dan komunikatif (Gibran). Ini adalah strategi pasangan yang lazim dalam politik global, seperti saat Putin-Medvedev bertukar posisi di Rusia.
Dari Bonus Demografi ke Bonus Legitimasi?
Salah satu kekuatan dari video monolog Gibran adalah pemilihan isu: bonus demografi. Isu ini bukan hanya teknokratis, tapi juga sangat politis. Ia menyasar elemen demografi muda, urban, dan produktif. Segmen yang sama yang menjadi swing voters di pemilu lalu.
Pertanyaannya: apakah Gibran benar-benar mengerti kompleksitas isu ini, atau hanya membacakan naskah? Apakah ini murni bentuk komunikasi kebijakan, atau sebuah langkah pencitraan jangka panjang?
Bagi pengamat seperti Burhanuddin Muhtadi, kemunculan Gibran ini “jelas bukan kebetulan”. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Burhan menyebut bahwa video itu merupakan bagian dari strategi membentuk narasi dan positioning Gibran menjelang Pilpres 2029. Narasi besar seperti bonus demografi hanya akan diangkat jika seseorang ingin tampil sebagai figur yang visioner dan layak dipilih.
Namun perlu diingat, Gibran juga memiliki PR besar: janji 19 juta lapangan kerja. Ini adalah janji yang ia sampaikan dalam debat Pilpres di 2024 lalu. Sebuah janji yang sangat ambisius dan hampir mustahil jika tidak ada terobosan struktural. Jika ia gagal mewujudkannya, maka narasi-narasi video seperti itu hanya akan dilihat sebagai hiasan kosmetik belaka.
Pada akhirnya, is it Gibran time? Pertanyaan itu belum bisa dijawab secara definitif, tapi tanda-tandanya mulai muncul. Video monolognya adalah titik awal dari sesuatu yang lebih besar. Apakah ini akan jadi awal pencalonan lagi sebagai wapres? Atau justru ambisi capres? Itu tergantung pada tiga hal: pertama, posisi politik Jokowi yang masih sangat kuat; kedua, konsistensi kinerja Gibran selama menjabat wapres; dan ketiga, bagaimana publik membaca narasi dan tindakannya ke depan.
Untuk saat ini, Gibran masih “anak politik” dalam bayang-bayang dua “bapak besar”: Jokowi dan Prabowo. Tapi dengan strategi komunikasi yang tepat, dukungan infrastruktur politik, serta kejelasan program, bukan tidak mungkin publik akan menjawab: Yes, it is Gibran time.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)