Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?
Dalam dunia digital, aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, dan Hinge bukan hanya tempat mencari pasangan. Mereka juga telah menjadi arena baru dalam dunia spionase modern.
Laporan dari berbagai lembaga keamanan menunjukkan bahwa banyak akun palsu—terutama yang mengklaim sebagai perempuan muda dan menarik—digunakan untuk menjebak target-target tertentu, terutama dalam konteks konflik militer seperti perang Rusia-Ukraina.
Pada tahun 2022, media Ukraina dan Barat melaporkan meningkatnya aktivitas akun-akun palsu yang beroperasi di sekitar perbatasan dan zona perang. Banyak dari akun ini diduga dikendalikan oleh unit intelijen Rusia yang menargetkan tentara Ukraina, mengajak mereka berkencan virtual sembari mengorek informasi penting, seperti lokasi pasukan atau sistem pertahanan.
Di sisi lain, pihak Ukraina juga mengadopsi taktik serupa untuk melacak gerakan pasukan Rusia. Ini menunjukkan bahwa aplikasi kencan telah berubah fungsi: dari sekadar sarana personal, menjadi alat strategis negara.
Jika ditarik ke belakang, fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak zaman dahulu, hubungan seksual dan daya tarik romantis telah menjadi senjata ampuh dalam strategi kekuasaan. Seorang filsuf mungkin akan bertanya, “Apakah seks itu benar-benar urusan pribadi, ataukah ia selalu memiliki dimensi politik?” Dalam sejarah, seks dan kekuasaan kerap berjalan beriringan—dan di dunia intelijen, keduanya tampak dimanfaatkan sebagai senjata.

Honey Trapping, Dari Cleopatra hingga Perang Dingin
Sejarah mencatat bahwa seks dan politik memiliki sejarah panjang yang saling berkait. Salah satu contoh paling awal dan terkenal adalah Cleopatra, ratu Mesir yang cerdas dan karismatik. Ia tidak hanya menjalin hubungan intim dengan Julius Caesar, tetapi juga dengan Mark Antony.
Aliansi-aliansi ini bukan sekadar urusan pribadi, melainkan strategi diplomasi dan perlindungan terhadap kemerdekaan Mesir di tengah ekspansi Romawi. Cleopatra memahami bahwa daya tariknya dapat menjadi alat politik, dan ia menggunakannya dengan sangat efektif.
Di abad ke-20, praktik semacam ini menjadi lebih sistematis dalam dunia intelijen modern. Dalam konteks Perang Dingin, Uni Soviet dikenal menggunakan agen-agen perempuan, sering dijuluki swallows (walet), untuk merayu pejabat asing, diplomat, atau ilmuwan Barat.
Tujuannya jelas: mendapatkan informasi rahasia melalui kedekatan emosional atau hubungan seksual. Salah satu kasus yang terkenal adalah operasi yang melibatkan agen KGB yang menjalin hubungan dengan diplomat Amerika dan Eropa demi memperoleh akses pada dokumen penting.
Taktik ini tidak berhenti ketika Uni Soviet runtuh. FSB, badan intelijen Rusia modern, juga ditengarai melanjutkan praktik honey trapping. Salah satu contoh mencolok adalah laporan investigasi terhadap Anna Chapman, seorang agen Rusia yang ditangkap di AS pada 2010.
Chapman menggunakan pesona dan kecantikannya untuk mendekati tokoh-tokoh elite Amerika, termasuk pebisnis dan pejabat muda, demi tujuan pengumpulan informasi dan infiltrasi jaringan kekuasaan. Kasus ini memperlihatkan bagaimana tubuh dan daya tarik masih menjadi senjata dalam arena spionase bahkan di abad ke-21.
Iran juga dikenal menggunakan pendekatan serupa. Pada 2020, beberapa laporan dari lembaga intelijen Barat menyebutkan bahwa badan intelijen Iran menggunakan perempuan untuk memanipulasi pejabat atau pembangkang Iran di luar negeri.
Dalam satu kasus yang terungkap di Eropa, seorang aktivis hak asasi manusia Iran dijebak melalui hubungan asmara palsu dengan seorang perempuan yang ternyata adalah agen negara. Ia akhirnya ditangkap setelah dibujuk untuk melakukan perjalanan ke negara ketiga dengan janji bertemu kekasihnya.
Secara teori, honey trapping efektif karena ia bekerja dengan memanfaatkan salah satu kelemahan paling mendasar manusia: kebutuhan akan koneksi emosional dan afeksi. Psikologi sosial menunjukkan bahwa manusia cenderung menurunkan pertahanan kritis ketika merasa dipercaya, dicintai, atau diinginkan.
Dalam konteks hubungan romantis, apalagi yang melibatkan seksualitas, seseorang bisa lebih mudah dimanipulasi, baik secara emosional maupun informasional.
Dalam dunia intelijen, informasi adalah kekuatan. Dan jika seks bisa menjadi jalan tercepat untuk mendapatkan kekuatan itu, maka ia akan digunakan—dengan segala risikonya.

Cinta dalam Era Enkripsi dan Data
Apa yang terlihat sebagai percakapan santai di Bumble atau swipe kanan di Tinder ternyata bisa saja menjadi awal dari operasi intelijen yang rumit. Di balik profil manis dan kata-kata gombal, bisa jadi tersembunyi niat untuk mengeksploitasi, bukan mencintai. Di zaman di mana informasi adalah kekuatan, data pribadi Anda bisa menjadi mata uang yang sangat berharga.
Kita hidup di era di mana data telah menjadi emas baru. Lokasi, foto, pesan pribadi, hingga preferensi politik dapat dikumpulkan, dianalisis, dan digunakan untuk tujuan-tujuan yang tak selalu kita sadari. Bahkan tanpa melibatkan hubungan seksual secara fisik, kedekatan emosional melalui aplikasi digital sudah cukup untuk menjebak seseorang agar membocorkan informasi sensitif.
Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa privasi di era digital bukan sekadar masalah teknis, tapi juga masalah etika dan keamanan. Aplikasi kencan mungkin tampak seperti tempat mencari pasangan, tetapi juga bisa menjadi alat pengumpulan data terselubung. Jika dahulu para agen rahasia harus menyamar dan menyusup secara fisik, kini cukup dengan membuat profil menarik dan mengobrol dari balik layar.
Akhirnya, kita perlu lebih waspada. Mungkin benar, seperti yang dikatakan Foucault, bahwa tubuh dan seksualitas adalah medan kuasa. Maka dalam politik, seks bukan hanya soal kenikmatan pribadi, tapi juga strategi. Dan jika benar bahwa cinta itu buta, maka barangkali yang paling harus kita takuti bukan cinta itu sendiri—melainkan apa (dan siapa) yang ada di baliknya. (D74)