HomeNalar PolitikMasyumi Reborn, Kebangkitan Partai Islam?

Masyumi Reborn, Kebangkitan Partai Islam?

Sejumlah tokoh dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendeklarasikan kembali Partai Masjelis Syuro Muslimin Indonesia sebagai Masyumi Reborn. Akankah deklarasi ini menjadi momentum kebangkitan partai politik Islam?


PinterPolitik.com

Keputusan Presiden Nomor 200/1960 yang diterbitkan Soekarno tepat di hari peringatan Kemerdekaan ke-15 RI bisa dibilang menjadi akhir dari riwayat perjalanan Partai Masjelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Ya, Melalui Kepres tersebut, Bung Karno memerintahkan pembubaran partai tersebut termasuk bagian-bagian, cabang-cabang, dan ranting-rantingnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Keterlibatan sejumlah petinggi, seperti Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan Sjafruddin Prawiranegara dalam gerakan separatis Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menjadi alasan bagi Soekarno untuk membubarkan Masyumi. Bersamaan dengan Kepres tersebut, sejumlah organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) juga memutuskan mengikuti jejak Nahdlatul Ulama (NU) yang sudah lebih dulu hengkang dari Masyumi.

Pasca kejatuhan Rezim Soekarno, sikap pemerintahan Orde Baru terhadap Masyumi pun ternyata tak berubah, kendati saat itu para petingginya yang sempat dipenjarakan Soekarno telah menghirup udara bebas. Sebaliknya, The Smiling General menolak membangkitkan lagi Masyumi dan lebih memilih untuk membentuk wadah baru bagi golongan-golongan Islam.

Kendati begitu, tak dapat dipungkiri, kejayaan masa lalu Masyumi yang dianggap pernah menyatukan golongan-golongan Islam dalam satu entitas politik dan bahkan berhasil meraup suara terbanyak kedua dalam Pemilu 1955 memang membuat wacana untuk membangkitkan partai tersebut terus hidup di masyarakat.

Akhir pekan lalu, bertepatan dengan momen 75 tahun peringatan resminya Masyumi bertransformasi menjadi partai politik (parpol), sejumlah aktivis dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mencoba membangkitkan kembali partai tersebut. Mereka menyebutnya sebagai Partai Masyumi Reborn.

Meski bukan yang pertama, namun wacana kebangkitan Partai Masyumi yang digawangi oleh aktivis dan golongan Islam fundamental penantang pemerintah agaknya menarik untuk didalami. Apalagi, tak bisa disangkal bahwa kekuatan parpol Islam dalam dinamika politik nasional saat ini tengah mengalami stagnansi bahkan cenderung meredup dalam beberapa pemilu terakhir.

Lantas pertanyaannya, akankah kemunculan Masyumi Reborn kali ini mampu mengulangi kejayaan masa lalu Partai Masyumi?

Megapa Masyumi?

Dalam konteks sejarah, nama Masyumi beserta tokoh-tokohnya berada dalam pusat perdebatan mengenai perumusan dasar negara terutama terkait Piagam Jakarta. Selama masa sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Masyumi memang sangat kritis mempertanyakan sikap Soekarno yang terkesan abai terhadap penghilangan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila.

Meski akhirnya melunak, namun kritisnya sikap Masyumi terhadap polemik Piagam Jakarta memang dapat dimaklumi. Sebab, Jarudin dalam bukunya yang berjudul Meninjau Sejarah Kisah Hidup Muhammad Natsir mengatakan bahwa tujuan partai tersebut adalah memang untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan perseorangan, masyarakat, dan negara republik Indonesia.

Kendati demikian, salah seorang tokoh Masyumi, Isa Anshary sebagaimana ditulis oleh Herry Muhammad dalam bukunya Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 mengatakan bahwa ada dua cara untuk mewujudkan negara Islam. Pertama, melalui angkat senjata dengan mendirikan negara dalam negara, seperti Darul Islam ala Kartosoewirjo. Kedua, melalui jalur hukum yang legal dan melalui parlemen, yakni Masyumi.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Pemahaman konteks sejarah dan tujuan partai tersebut kiranya akan memudahkan kita untuk memahami mengapa wacana menghidupkan kembali Masyumi seakan tak pernah berhenti disuarakan, termasuk yang terjadi baru-baru ini.  

Alexander R. Arifianto dari Rajaratnam School of International Studies dalam tulisannya yang berjudul Quo Vadis Civil Islam? Explaining Rising Islamism in Post-Reformasi Indonesia mengatakan bahwa dua dekade setelah era reformasi, terjadi pergeseran nilai-nilai islamisme di Indonesia, dari yang awalnya dinilai moderat dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi liberal, menjadi lebih konservatif dan semakin tidak toleran terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan dengan kepercayaan Islam arus utama.

Ia memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai tersebut. Salah satunya adalah kemunculan otoritas Islam baru yang ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh Islam alternatif seperti televangelist, ustadz populer, dan da’i online. Para pengkhotbah ini menurut Alexander, cenderung menganut interpretasi ideologis Islam yang lebih konservatif, dan mengembangkan hubungan dekat dengan kelompok Islamis garis keras.

Kemudian berkembangnya kekuatan dan pengaruh kelompok-kelompok Islam garis keras ini mendorong para elite untuk membentuk aliansi oportunistik dengan mereka demi mendapatkan dukungan. Hal inilah yang menyeret golongan Islamis konservatif ke dalam panggung politik.

Kendati begitu, meski mulai memiliki pengaruh dalam dinamika politik, nyatanya golongan Islam konservatif  tak memberikan implikasi positif terhadap parpol-parpol agamis yang ada saat ini dikarenakan terjadinya pergeseran nilai-nilai Islam tadi. Inilah yang kiranya juga dapat dijadikan alasan mengapa dalam pemilu-pemilu terakhir, pamor partai berideologi agama hanya mampu bercokol di papan tengah. Bahkan beberapa di antara mereka malah diprediksi akan tenggelam di pemilu berikutnya.

Nithin Coca dalam tulisannya yang berjudul Is Political Islam Rising in Indonesia? mengatakan bahwa salah satu penyebab menurunnya dukungan terhadap parpol-parpol Islam dikarenakan tak ada satupun dari mereka yang membawa narasi ‘negara Islam’ ataupun ‘implementasi hukum syariah’. Sebaliknya, kebanyakan dari mereka justru hanya membawa narasi-narasi yang tak jauh berbeda dengan parpol-parpol nasionalis, seperti pendidikan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.  

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan penggunaan nama Masyumi oleh sejumlah aktivis KAMI dan golongan Islam fundamentalis yang memang selama ini tak sejalan dengan pemerintah disebabkan karena adanya pertalian visi dan pandangan tentang nilai-nilai Islam antara keduanya. Selain itu, langkah ini juga bisa dilihat sebagai konsekuensi tak terakomodirnya aspirasi mereka oleh parpol-parpol Islam yang ada saat ini.

Hal tersebut diakui sendiri oleh salah satu deklarator Masyumi Reborn, Cholil Ridwan yang menyebut bahwa salah satu alasan pendeklarasian Masyumi Reborn dikarenakan tak tertampungnya aspirasi Persaudaraan Alumni (PA) 212 maupun eks aktivis Partai Bulan Bintang (PBB) oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang merupakan satu-satunya parpol yang dianggap paling dekat dengan golongan tersebut.

Baca juga :  Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Sekarang pertanyaan selanjutnya, seberapa besar sebenarnya signifikansi deklarasi Masyumi Reborn ini bagi kebangkitan politik Islam? Akankah ini dapat menjadi momentum bersatunya golongan-golongan Islam dalam satu entitas politik sebagaimana Masyumi di zaman dahulu?

Mampukah Mengulang Kejayaan?

Kendati berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan Islam dari berbagai golongan, nyatanya Partai Masyumi pun tak luput dari konflik internal. Pergumulan internal itu bahkan sampai menyebabkan NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.

Kembali kepada Nithin Coca, Ia mengatakan bahwa nilai-nilai Islam dalam beberapa konteks memang bisa dianggap sebagai pemersatu masyarakat, namun di saat yang sama, nilai-nilai tersebut juga bisa menjadi pemecah belah.

Hal ini disebabkan karena di Indonesia, sebagai negara mulsim terbesar di dunia, kelompok-kelompok tersebut secara historis memang sudah terfragmentasi ke dalam banyak golongan masing-masing. Tak adanya kepemimpinan tunggal, menjadikan pemersatuan kelompok-kelompok Islam menjadi sulit tercapai. 

Dalam konteks Masyumi Reborn pun agaknya akan menghadapi persoalan serupa. Apalagi deklarasi tersebut hanya digawangi oleh segelintir orang dari kelompok Islam fundamentalis yang selama ini dianggap berlawanan dengan kelompok Islam yang lebih moderat.

Selain itu, Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan bahwa Masyumi Reborn harus mulai memikirkan tokoh yang akan menjadi simbol partai. Hal itu, kata dia, perlu dilakukan jika ingin meraih suara masyarakat pada Pemilihan Umum 2024, baik pemilihan legislatif maupun presiden.

Kendati para deklarator Masyumi Reborn sudah mengajak sejumlah tokoh-tokoh besar, seperti Amien Rais hingga Habib Rizieq Shihab, namun tak satupun dari mereka segera mengafirmasi kesediaannya bergabung. Habib Rizieq bahkan disebut-sebut tak akan bersedia bergabung dengan Masyumi Reborn.

Namun sekalipun tokoh-tokoh tersebut bersedia merapat, agaknya hal itu tetaplah tidak cukup untuk memastikan partai tersebut memiliki modal yang cukup untuk sepenuhnya menjadi parpol. Sebab, tak dapat dipungkiri, mendirikan partai politik membutuhkan modal yang tidak sedikit. Absennya golongan pengusaha juga dapat menjadi batu sandungan bagi Masyumi Reborn untuk benar-benar mengukuhkan diri sebagai parpol.

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan bahwa upaya mengulang kembali kejayaan Masyumi melalui Masyumi Reborn akan sulit dilakukan. Fragmentasi golongan Islam, ketiadaan tokoh, dan minimnya modal adalah sejumlah faktor yang bisa menjadi batu sandungan bagi Masyumi Reborn. Faktanya, PBB yang dianggap memiliki garis politik dengan Masyumi sekalipun nyatanya tak mampu mengembalikan kejayaan tersebut.

Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut agaknya peluang Masyumi Reborn untuk menyatukan golongan-golongan Islam dan mengulang kejayaan masa lalu agaknya memang kecil. Kendati begitu, politik adalah sesuatu yang sangat dinamis, oleh karena itu, kelanjutan dari kiprah mereka tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...