HomeNalar PolitikKongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.

Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi politik “menunggu” di baliknya?

PinterPolitik.com


Kabar terbaru dari PDI Perjuangan kembali menggiring perhatian publik ke satu pertanyaan: mengapa Kongres ke-6 partai ini tak kunjung digelar? Setelah sempat dijadwalkan berlangsung pada 2024, lalu diundur ke April 2025, kini sinyal kuat dari Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, menunjukkan bahwa gelaran itu kemungkinan besar akan kembali tertunda.

Penundaan demi penundaan ini tentu mengundang banyak tafsir, terlebih kongres merupakan momentum penting dalam menentukan arah partai, termasuk kemungkinan regenerasi kepemimpinan dari Megawati Soekarnoputri.

Yang menarik, Megawati sendiri, sebagai Ketua Umum, belum secara langsung memberikan pernyataan tegas tentang waktu kongres. Ia seperti memilih diam, membiarkan publik dan kader bertanya-tanya.

Lantas, apakah ini semata soal teknis atau justru bagian dari skenario politik yang sedang ia mainkan? Dalam dunia politik yang penuh dengan simbol dan kode, diam bisa jadi sebuah strategi, bukan sekadar kebetulan. Lantas, apa yang sebenarnya sedang terjadi di tubuh PDIP?

17448157580283492530145911443191

The Waiting Game Megawati?

Penundaan kongres untuk kedua kalinya membuka ruang asumsi: bisa jadi PDIP tengah dilanda tarik-ulur internal soal masa depan kepemimpinan partai.

Tak dapat dimungkiri, sejak kekalahan di Pilpres 2024 dan munculnya wacana reshuffle kepemimpinan, PDIP mengalami turbulensi. Penangkapan Sekjen Hasto Kristiyanto oleh KPK hanya memperkeruh situasi, memperlihatkan bahwa mesin partai tak sedang dalam kondisi stabil. Dalam situasi seperti itu, menggelar kongres bisa jadi malah menimbulkan friksi baru jika elite-elite belum satu suara.

Di titik inilah, sosok Megawati menjadi kunci. Sebagai pemegang otoritas tertinggi partai, sebenarnya Megawati bisa kapan saja mengakhiri ketidakpastian ini. Namun, nyatanya ia belum mengambil langkah itu. Hal ini membuka ruang interpretasi: mungkinkah Megawati memang sedang memainkan strategi catur politiknya?

Baca juga :  Prabowo's Revolusi Hijau 2.0?

Sebagai tokoh yang kenyang pengalaman, Megawati barangkali tengah mempertimbangkan dengan cermat: apakah PDIP akan mengambil sikap keras sebagai oposisi terhadap pemerintahan Prabowo, atau melembut dan mulai membuka komunikasi politik untuk tetap relevan dalam pemerintahan?

Penentuan sikap ini sangat menentukan arah kongres, terutama siapa yang layak memimpin partai ke depan—apakah regenerasi ke Puan Maharani akan terjadi mulus, atau muncul nama lain yang lebih pragmatis dan dapat menjembatani PDIP dengan pemerintah?

Diamnya Megawati bisa juga dibaca sebagai upaya menjaga keseimbangan kekuatan internal. Terlalu cepat menyuarakan arah kongres bisa memicu perpecahan antar faksi. Terlebih, dengan belum adanya konsolidasi kuat pasca kekalahan elektoral, membuka ruang kompetisi di kongres tanpa kejelasan arah bisa berujung pada instabilitas yang tak diinginkan.

Selain itu, waktu bisa menjadi sekutu dalam politik. Dengan menunda kongres, Megawati memberi ruang bagi suhu politik nasional mendingin dan situasi internal PDIP membaik.

Bisa jadi pula, ia tengah menunggu sinyal politik konkrit dari pemerintahan Prabowo—apakah PDIP akan diberi ruang dalam kabinet tambahan, atau dibiarkan menjadi oposisi penuh? Semua pertimbangan ini membuat langkah Megawati bukan hanya soal organisasi, tapi juga perhitungan besar menyangkut masa depan partai dalam lanskap politik nasional.

17448157700522316477469247209426

Masih Menunggu Momentum?

Penundaan kongres PDIP, jika dilihat dari lensa teori politik dan psikologi elite, bisa jadi merupakan bentuk kalkulasi rasional dari Megawati. Dalam teori strategic delay, seorang aktor politik kadang justru memilih untuk menahan diri bergerak agar dapat mengambil keputusan pada momen paling tepat. Dengan membiarkan waktu berjalan, Megawati bisa memetakan ulang peta kekuatan, mengamati manuver lawan maupun kawan, serta menentukan langkah dengan presisi lebih tinggi.

Baca juga :  Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Secara psikologis, ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kontrol. Dalam organisasi besar seperti PDIP, keputusan tergesa bisa menimbulkan efek domino. Maka, menunda kongres bisa menjadi cara Megawati menjaga legitimasi dan stabilitas partai.

Namun tentu saja, ini semua hanya asumsi. Penundaan bisa saja semata karena hal-hal teknis: persiapan lokasi, logistik, atau jadwal para tokoh kunci partai. Dalam dunia politik, yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.

Yang pasti, publik dan kader kini dibuat menanti. Bukan hanya menanti tanggal kongres, tapi juga menanti ke mana arah bidak politik Megawati akan digerakkan. Dan seperti permainan catur yang penuh kejutan, langkah berikutnya bisa jadi sangat menentukan masa depan PDIP. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies and The Democracy’s “Devil’s Advocate”

Anies Baswedan belakangan ini melempar argumen tandingan soal bonus demografi Indonesia, topik yang baru-baru ini dibahas oleh Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia. Mungkinkah Anies berusaha mengambil peran sebagai “pemantik” diskursus dalam demokrasi Indonesia, persis seperti Rocky Gerung di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu?

Never Downplay Prabowo’s Tactics?

Gerakan masif dan terstruktur pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di bidang pembangunan dan pangan mulai terlihat. Menariknya, TNI seolah menjadi pivot penggerak dalam gagasan terkait hal itu. Lalu, mengapa hal ini dilakukan Presiden Prabowo?

Prabowo-Jokowi: Too Close Too Much Trouble

Kedekatan Prabowo dan Jokowi rupa-rupanya tak disukai banyak pihak, terutama oleh faksi-faksi politik di lingkaran politik koalisi Prabowo sendiri.

Prabowo’s Men: Penyambung Lidah Presiden

Presiden Prabowo menunjuk Mensesneg Prasetyo Hadi sebagai juru bicara (jubir). Mengapa penyambung lidah presiden ini punya peran penting?

Berebut Kursi Gibran: Menuju 2029?

Perebutan kursi cawapres 2029 semakin panas dengan manuver politik. Mampukah Gibran mempertahankan posisinya di tengah permainan ini?

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

More Stories

Anies and The Democracy’s “Devil’s Advocate”

Anies Baswedan belakangan ini melempar argumen tandingan soal bonus demografi Indonesia, topik yang baru-baru ini dibahas oleh Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia. Mungkinkah Anies berusaha mengambil peran sebagai “pemantik” diskursus dalam demokrasi Indonesia, persis seperti Rocky Gerung di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu?

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?