HomeHeadlinePrabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Dengan Perang Dagang yang terus memanas antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping, mungkinkah Presiden RI Prabowo Subianto bidani kelahiran Gerakan Non-Blok 2.0?


PinterPolitik.com

“States engage in balancing to ensure that no single power dominates the system.” – John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (2001)

Kenny menatap layar televisi yang menampilkan berita tentang meningkatnya ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Presiden Donald Trump kembali menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal Tiongkok, dan Presiden Xi Jinping membalas dengan kebijakan serupa terhadap barang-barang dari AS.

Perang tarif ini sudah berlangsung kala Trump menjabat masa jabatan pertamanya tetapi kini situasinya makin intens dan dampaknya mulai terasa ke berbagai penjuru dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mulai menyesuaikan rantai pasok mereka, sementara pasar finansial menunjukkan gejolak yang mengkhawatirkan.

AS menuduh Tiongkok melakukan praktik perdagangan tidak adil, termasuk subsidi terhadap perusahaan milik negara dan pencurian kekayaan intelektual. Sementara, Tiongkok menilai tindakan Trump sebagai bentuk proteksionisme yang merugikan stabilitas ekonomi global.

Di balik saling serang ini, dunia berada dalam posisi sulit—terutama negara-negara berkembang yang ekonominya sangat bergantung pada kestabilan dua kekuatan besar tersebut. Banyak negara mulai mencari jalan untuk menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak tanpa terjebak dalam tekanan geopolitik.

Kenny, yang mengikuti perkembangan ini dari kejauhan, mulai merasakan bahwa perang dagang ini bukan sekadar urusan dua negara. Ini adalah perebutan pengaruh global yang bisa memengaruhi masa depan ekonomi dan politik di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Ia pun mulai bertanya-tanya, di tengah konflik antara dua raksasa dunia ini, apa yang akan dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto? Mengapa ia bisa memiliki peran strategis dalam situasi global seperti ini?

Belajar dari Soekarno?

Kenny masih duduk di kafe yang sama, tapi kini di hadapannya terbuka sebuah buku sejarah Perang Dingin yang ia ambil dari rak pinjam baca di pojok ruangan. Di tengah hiruk-pikuk pengunjung yang sibuk dengan kopi dan percakapan ringan, pikirannya justru melayang ke masa lalu yang penuh ketegangan global.

Baca juga :  The Tale of Two Presidents’ Sons

Ia membaca tentang bagaimana dunia pernah terbagi dalam dua kutub besar—AS dan Uni Soviet—yang tak pernah benar-benar berperang secara langsung, tapi terus berkompetisi dalam pengaruh, senjata, dan ideologi. Perang Dingin, begitu sebutannya, adalah perang diam yang meresap ke segala sendi hubungan internasional.

Dalam salah satu halaman yang ia tandai, Kenny menemukan kutipan dari John J. Mearsheimer yang membuatnya tertegun: “States engage in balancing to ensure that no single power dominates the system.” Bagi Kenny, kutipan itu terasa sangat relevan dengan situasi hari ini—di mana Tiongkok dan AS kembali saling dorong berebut posisi dominan.

Ia pun mulai mengingat bagaimana Indonesia pernah menghadapi dunia yang juga terbagi dua kutub itu, dan di tengahnya, Soekarno berdiri dengan keberanian dan kecerdikan diplomasi. Soekarno memilih jalan bebas aktif, menolak tunduk pada satu kekuatan besar, dan justru membentuk poros baru melalui Gerakan Non-Blok bersama negara-negara yang juga ingin menjaga kemerdekaan arah politiknya.

Kenny merasa bahwa apa yang dilakukan Soekarno bukan hanya keberanian, tapi juga strategi yang tajam—mengerti betul bahwa kekuatan kecil bisa tetap punya suara jika tahu bagaimana memainkan peta besar. Soekarno tidak hanya menyeimbangkan kekuatan, tapi juga menciptakan ruang dialog alternatif yang memberi makna bagi negara-negara yang kerap dianggap pinggiran. Kini, dengan dunia kembali tegang oleh persaingan dua kekuatan raksasa, Kenny merasa Indonesia sekali lagi berada di persimpangan penting sejarah.

Ia menyesap kopi terakhirnya yang sudah dingin dan menatap ke luar jendela yang memantulkan langit mendung. Ia bertanya dalam benaknya, “Mungkinkah Prabowo perlu meniru strategi Soekarno? Peran strategis apa yang bisa diambil Prabowo?”

Mungkinkah Prabowo dan Potensi Gerakan Non-Blok 2.0

Kenny sudah duduk lebih dari dua jam di kafe itu, dan karena terlalu asyik membaca, ia sampai memesan secangkir kopi kedua. Di hadapannya, layar tablet menampilkan sebuah jurnal hubungan internasional yang membuatnya terpaku sejak tadi.

Baca juga :  Kontemporisme: The Genius of Harmoko

Ia tengah membaca tulisan Andrew F. Cooper dalam Niche Diplomacy: Middle Powers after the Cold War yang menyebut bahwa negara seperti Indonesia memiliki kapasitas unik untuk memediasi dan memengaruhi isu global tertentu tanpa menjadi kekuatan dominan. Bagi Kenny, konsep middle power ini menarik karena memberi harapan bahwa negara seperti Indonesia tetap bisa punya suara dalam pusaran geopolitik besar.

Cooper menyebut middle powers sebagai negara yang punya kekuatan bukan dari superioritas militer atau ekonomi, melainkan dari kecakapan membangun koalisi dan memainkan peran dalam diplomasi multilateral. Kenny merasa Indonesia punya semua prasyarat itu—baik secara geografis, historis, maupun kultural.

Posisi Indonesia yang berada di jalur utama perdagangan global, serta keanggotaannya dalam G20, ASEAN, dan APEC menjadikan negeri ini sebagai pemain penting dalam arsitektur kawasan. Belum lagi pengalaman historisnya sebagai pendiri Gerakan Non-Blok dan peran aktif dalam berbagai misi internasional.

Namun, Kenny menyadari bahwa status middle power bukan otomatis berlaku. Seperti yang ditulis Cooper, kekuatan itu harus dijalankan secara sadar dan aktif melalui strategi luar negeri yang tajam dan penuh perhitungan.

Di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok, ia semakin yakin bahwa posisi Indonesia sangat rentan jika tak memainkan peran cerdas. Dalam dunia yang kian terhubung melalui perdagangan dan teknologi, efek dari satu kebijakan tarif saja bisa merembet panjang ke seluruh lapisan ekonomi global.

Berbeda dengan Perang Dingin yang lebih bersifat ideologis, perang dagang hari ini terjadi dalam sistem dunia yang sudah didominasi AS sejak akhir abad ke-20. Kenny menatap cangkir kopinya yang kini tinggal setengah dan bergumam dalam hati.

Semua ini, pikirnya, pada akhirnya bergantung pada bagaimana Prabowo menjalankan diplomasi—mampukah ia menjadikan Indonesia benar-benar memainkan peran sebagai middle power strategis? Hanya waktu yang bisa menjawab. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

Rahasia Banyaknya Anak Pemimpin dalam Sejarah Timur

Di dalam sejarah, banyak pemimpin bangsa dari kultur Timur menjadi pemimpin dengan jumlah anak terbanyak. Kira-kira apa alasannya? 

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?

Prananda The Unwanted Crown Prince

Seiring makin senjanya usia Megawati, nama Prananda Prabowo kerap dibahas dalam konteks kandidat yang dinilai cocok untuk meneruskan tampuk kepemimpinan di partai.

Menkes Budi dan Ironi Tarung Elite Kesehatan

Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan aspek kesehatan masyarakat Indonesia secara konstruktif, elite pembuat keputusan serta para elite dokter dan tenaga kesehatan justru saling sindir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seolah masih belum menemukan ritme selaras, utamanya dengan asosiasi profesi kesehatan Indonesia yang bisa saja berbahaya bagi kepentingan kesehatan rakyat. Lalu, ada apa sebenarnya di balik intrik tersebut?

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

More Stories

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

no na dan Mimpi Besar Indonesian Pop

Debut girl group Indonesia, no na, menandai babak baru dalam perkembangan I-pop. Mungkinkah soft power dan diplomasi budaya Indonesia siap?