Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Tamu istimewa Joko Widodo (Jokowi) itu bernama Rosario de Marshall atau yang biasa dikenal dengan Hercules. Saat menyambangi kediaman Jokowi di Solo, kiranya terdapat beberapa makna yang cukup menarik untuk dikuak dan mungkin saja menjadi variabel dinamika sosial, politik, dan pemerintahan.
Pertemuan antara Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), dan Rosario de Marshall, alias Hercules, agaknya bukanlah sekadar silaturahmi biasa.
Sosok Hercules bukan hanya dikenal sebagai tokoh asal Indonesia timur, tetapi juga figur kuat di dunia organisasi kemasyarakatan (ormas), khususnya di Jakarta.
Belum hilang dalam ingatan, beberapa waktu lalu, Hercules terlihat aktif memimpin Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, sebuah ormas yang kini mulai mencuat ke permukaan.
Menariknya, GRIB Jaya bahkan sempat berseteru dengan ormas besar lain seperti Pemuda Pancasila (PP), meski kini telah berdamai.
Kembali, kunjungan Hercules ke kediaman Jokowi seolah menandai pergeseran penting dalam lanskap kekuasaan non-formal di Indonesia, di mana ormas yang memiliki stereotipe “unik” di Indonesia dapat menjalin komunikasi langsung dengan sosok kepala negara yang dinilai masih memiliki pengaruh.
Lantas, mengapa pertemuan ini bisa dikatakan menjadi simbol penting dalam dinamika politik dan pemerintahan Indonesia ke depan?
Variabel Kekuatan Informal?
Dalam dunia sosial-politik Indonesia, ormas kiranya bukan sekadar lembaga “satelit”, melainkan turut menempatkan diri dalam medan kontestasi kekuasaan yang tidak kalah penting dibanding partai politik (parpol). Meski di dalam beberapa parpol terdapat pula sayap partai serupa tapi tak sama dengan ormas.
Tak bisa dipungkiri, ormas seperti GRIB Jaya, Pemuda Pancasila, atau FBR (Forum Betawi Rempug) adalah representasi dari kekuatan informal, sering kali dipimpin oleh local strongmen yang memiliki pengaruh kultural, historis, dan aspek simbolik maupun aktual di wilayah tertentu.
Sebuah perspektif yang agaknya relevan untuk memahami fenomena ini adalah “State-in-Society” dari Joel Migdal. Dalam teorinya, Migdal menyatakan bahwa negara bukanlah entitas tunggal yang dominan, melainkan salah satu dari banyak aktor yang berkompetisi dalam membentuk aturan sosial.
Dalam konteks ini, ormas dan local strongmen seperti Hercules adalah “strongmen institutions” yang terkadang dapat berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara, tetapi kadang juga sebagai kekuatan tandingan.
Di sisi lain, konsep “neo-patrimonialisme” juga dapat menjadi rujukan, di mana negara modern masih dijalankan dengan praktik-praktik tradisional, seperti patronase, relasi personal, dan pengaruh non-formal.
Dalam konteks Indonesia, ormas seakan menjadi klien-klien dari elite politik yang membutuhkan kontrol sosial di akar rumput.
Kehadiran Hercules dalam perpolitikan Indonesia lewat GRIB Jaya juga mencerminkan bagaimana aktor-aktor non-negara memiliki kapasitas untuk memobilisasi massa, memproduksi atau mereproduksi rasa aman dan menjalin simbiosis mutualisme dengan elite negara.
Dalam diskursus gray zones of governance, area kekuasaan yang tidak sepenuhnya dikuasai negara, tetapi juga tidak sepenuhnya chaotic.
Di titik tersebut, ormas berada dalam zona abu-abu yang legal secara institusi, tetapi sering beroperasi dengan cara-cara informal, bahkan ekstralegal.
Maka dari itu, pengaruh mereka tidak bisa diremehkan, terutama ketika mereka membentuk struktur seperti GRIB Jaya yang memiliki afiliasi politik, sayap militan, dan tokoh sentral seperti Hercules. Terlebih, saat menjalin interaksi dengan aktor politik tier-1 seperti Jokowi.
Lalu, bagaimana proyeksi relasi ormas dan interaksi di antara mereka dengan para aktor politik dalam dinamika sosial, politik, dan pemerintahan Indonesia ke depan?

Jangan “Korbankan” Masyarakat?
Mengacu pada interpretasi di atas, setidaknya terdapat tiga justifikasi yang membuat pertemuan Jokowi dan Hercules memiliki makna tersendiri.
Pertama, Hercules sukar dikatakan bukan simbol dari local strongman—tokoh berpengaruh informal di komunitas akar rumput, terutama melalui pendekatan kekuasaan informal, loyalitas, dan kekuatan.
Ketika tokoh seperti ini berinteraksi secara langsung ke lingkaran elite kekuasaan, itu menunjukkan bahwa negara, dapat dilihat simbiosis kekuatan formal dan informal.
Kedua, pertemuan ini menjadi simbol kesinambungan relasi antara elite dan kekuatan akar rumput menjelang dan pasca transisi kekuasaan.
Jokowi bukan tidak mungkin sedang dan terus membangun “legacy” kekuasaannya, dan memastikan para aktor politik lokal seperti Hercules tetap berada dalam orbit pengaruhnya dapat menjamin stabilitas dukungan di level bawah.
Bagi ormas seperti GRIB Jaya, kedekatan dengan Jokowi juga menjadi legitimasi sosial-politik yang penting untuk bersaing dengan ormas besar lain seperti PP, FKPPI, dan sebagainya.
Ketiga, pertemuan ini turut memperlihatkan bahwa politik Indonesia bukan hanya tentang parpol atau parlemen. Tapi juga tentang bagaimana elite mengelola kekuatan sosial-politik informal agar tetap berada dalam kendali, atau minimal dalam orbit kompromi.
Kendati demikian, penjelasan di atas merupakan interpretasi berdasarkan sejumlah preseden dan variabel lain yang tampak di atas meja analisis. Korelasi yang lebih kompleks dengan aktor lainnya mungkin terjadi dan dapat memengaruhi simbiosis yang eksis dalam diskursus serta realita sosial-politik Indonesia di masa mendatang. (J61)