Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Saat dunia fokus pada Asia-Pasifik, perebutan besar justru mulai memanas di Kutub Utara. Arktik yang mencair perlahan membuka jalan bagi konflik baru antar negara adidaya.
Beberapa waktu terakhir, diskusi global tentang potensi meletusnya Perang Dunia Ketiga cenderung berpusat pada kawasan Asia-Pasifik. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS), potensi konflik di Taiwan, hingga dinamika militer di Semenanjung Korea membuat kawasan ini kerap dianggap sebagai “titik nyala” geopolitik dunia yang paling mengkhawatirkan. Asia-Pasifik seolah menjadi panggung utama rivalitas negara-negara besar yang penuh dinamika ekonomi, militer, dan ideologi.
Namun, di luar sorotan utama itu, ada satu kawasan lain di bumi yang mulai menarik perhatian para pemegang kekuasaan global—kawasan yang dulu dianggap tak relevan secara politik karena ekstremnya kondisi lingkungan: Samudera Arktik. Dengan mencairnya lapisan es di kutub utara akibat perubahan iklim, kawasan ini perlahan-lahan berubah dari sekadar wilayah beku menjadi ladang potensi ekonomi dan militer.
Meningkatnya suhu global membuka jalur-jalur pelayaran baru, memperlihatkan potensi kekayaan alam yang sebelumnya tersembunyi, dan memicu persaingan teritorial antara negara-negara besar. Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan negara-negara anggota NATO mulai memperkuat klaim, memperluas kehadiran, dan membentuk strategi jangka panjang di kawasan tersebut.
Lantas, apa yang sebenarnya membuat Arktik kini dianggap sebagai kawasan strategis baru yang berpotensi memicu perseteruan besar antara negara-negara adidaya? Mengapa kawasan yang dulu senyap itu kini menjadi arena kompetisi global yang panas?

Dingin yang Memikat?
Arktik menyimpan dua daya tarik utama yang menjadikannya rebutan negara-negara besar: kekayaan sumber daya alam dan potensi jalur pelayaran baru. Menurut laporan US Geological Survey (USGS), sekitar 13% cadangan minyak dunia yang belum ditemukan dan 30% cadangan gas alam dunia diperkirakan berada di wilayah Arktik. Ini belum termasuk potensi mineral langka seperti nikel, kobalt, dan logam tanah jarang (rare earth elements) yang dibutuhkan untuk teknologi tinggi.
Kondisi ini menjadikan Arktik bukan sekadar wilayah geografis, tetapi menjadi semacam “peti harta karun” masa depan. Negara-negara yang mampu mengklaim wilayah tersebut akan mendapat keuntungan besar secara ekonomi, energi, dan posisi tawar dalam geopolitik global.
Lebih dari itu, pencairan es di Kutub Utara membuka jalur perdagangan baru yang bisa memangkas waktu tempuh antara Asia dan Eropa secara signifikan. Jalur ini disebut sebagai Northern Sea Route (NSR) yang bisa memangkas waktu pengiriman dari 40 hari menjadi sekitar 22 hari jika dibandingkan dengan jalur tradisional melalui Terusan Suez. Ini berarti efisiensi biaya, waktu, dan potensi kendali terhadap rute perdagangan global.
Rusia menjadi negara yang paling aktif memanfaatkan momen ini. Presiden Vladimir Putin secara terbuka menyebut Arktik sebagai wilayah prioritas strategis. Rusia membangun pangkalan militer di wilayah utara, memperkuat armada es, dan menerbitkan undang-undang untuk mempercepat eksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.
Sementara itu, Amerika Serikat melalui NATO mulai memperkuat aliansi dan operasi militernya di wilayah utara Norwegia dan Islandia. Mereka melihat upaya Rusia sebagai potensi bentuk ancaman terhadap stabilitas regional. Di sisi lain, Tiongkok menyebut dirinya sebagai “Near-Arctic State” dan menyusun kebijakan Arktik sendiri, bahkan ikut serta dalam proyek infrastruktur di Greenland dan Islandia untuk menancapkan pengaruhnya.
Secara teoretis, dinamika ini dapat dijelaskan melalui kerangka offensive realism dari John Mearsheimer. Menurutnya, negara-negara besar cenderung bersikap agresif untuk mengamankan posisinya di sistem internasional yang anarkis. Ketika sebuah kawasan—seperti Arktik—menyediakan peluang keuntungan besar dan belum ada otoritas yang mengaturnya secara definitif, maka perebutan kekuasaan hampir tak terhindarkan.
Analis geopolitik seperti Michael Byers juga menegaskan bahwa konflik di Arktik bukan sekadar soal batas teritorial, tapi lebih dalam menyangkut siapa yang menguasai sumber energi dan jalur perdagangan strategis di masa depan. Dengan kata lain, Arktik adalah representasi dari geopolitik baru di era perubahan iklim.

Sebuah Sejarah yang Berulang?
Sejarah dunia penuh dengan contoh bagaimana perebutan sumber daya alam menjadi penyulut konflik besar antarnegara. Perang Teluk 1990-an misalnya, berakar dari invasi Irak ke Kuwait yang memiliki cadangan minyak besar. Perang Kongo yang berkepanjangan juga banyak dipengaruhi oleh kontrol atas tambang-tambang kobalt dan coltan yang vital bagi industri teknologi. Bahkan kolonialisme Eropa di abad ke-17 hingga ke-20 sebagian besar didorong oleh hasrat menguasai rempah, emas, dan bahan mentah.
Filsuf Thomas Hobbes pernah menggambarkan kondisi dunia sebagai “perang semua melawan semua” jika tidak ada otoritas tunggal yang bisa mengatur. Dalam konteks global, absennya kekuasaan supranasional yang efektif menjadikan wilayah seperti Arktik sebagai ruang kosong yang menggoda bagi ambisi kekuasaan.
Dengan demikian, Arktik bukan hanya arena kompetisi ekonomi dan teknologi, tapi juga cermin dari struktur kekuasaan global yang masih berpijak pada logika dominasi dan penguasaan sumber daya. Jika tidak dikelola dengan prinsip kerja sama dan tanggung jawab kolektif, potensi konflik terbuka bukanlah sekadar kemungkinan, tapi ancaman nyata.
Kesimpulannya, Arktik adalah medan baru dalam kompetisi global. Sebuah kawasan yang dulu senyap, kini bertransformasi menjadi arena perebutan ekonomi dan geopolitik yang memanas. Dunia harus belajar dari sejarah, bahwa keserakahan atas sumber daya sering kali membawa bencana besar. Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan menang di Arktik, tapi apakah dunia siap menanggung konsekuensinya? (D74)