HomeNalar PolitikKawasan Ini Akan Jadi Pemicu PD III?

Kawasan Ini Akan Jadi Pemicu PD III?

Kecil Besar

Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.

Saat dunia fokus pada Asia-Pasifik, perebutan besar justru mulai memanas di Kutub Utara. Arktik yang mencair perlahan membuka jalan bagi konflik baru antar negara adidaya.


PinterPolitik.com

Beberapa waktu terakhir, diskusi global tentang potensi meletusnya Perang Dunia Ketiga cenderung berpusat pada kawasan Asia-Pasifik. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS), potensi konflik di Taiwan, hingga dinamika militer di Semenanjung Korea membuat kawasan ini kerap dianggap sebagai “titik nyala” geopolitik dunia yang paling mengkhawatirkan. Asia-Pasifik seolah menjadi panggung utama rivalitas negara-negara besar yang penuh dinamika ekonomi, militer, dan ideologi.

Namun, di luar sorotan utama itu, ada satu kawasan lain di bumi yang mulai menarik perhatian para pemegang kekuasaan global—kawasan yang dulu dianggap tak relevan secara politik karena ekstremnya kondisi lingkungan: Samudera Arktik. Dengan mencairnya lapisan es di kutub utara akibat perubahan iklim, kawasan ini perlahan-lahan berubah dari sekadar wilayah beku menjadi ladang potensi ekonomi dan militer.

Meningkatnya suhu global membuka jalur-jalur pelayaran baru, memperlihatkan potensi kekayaan alam yang sebelumnya tersembunyi, dan memicu persaingan teritorial antara negara-negara besar. Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan negara-negara anggota NATO mulai memperkuat klaim, memperluas kehadiran, dan membentuk strategi jangka panjang di kawasan tersebut.

Lantas, apa yang sebenarnya membuat Arktik kini dianggap sebagai kawasan strategis baru yang berpotensi memicu perseteruan besar antara negara-negara adidaya? Mengapa kawasan yang dulu senyap itu kini menjadi arena kompetisi global yang panas?

17482660621032827835654731152715

Dingin yang Memikat?

Arktik menyimpan dua daya tarik utama yang menjadikannya rebutan negara-negara besar: kekayaan sumber daya alam dan potensi jalur pelayaran baru. Menurut laporan US Geological Survey (USGS), sekitar 13% cadangan minyak dunia yang belum ditemukan dan 30% cadangan gas alam dunia diperkirakan berada di wilayah Arktik. Ini belum termasuk potensi mineral langka seperti nikel, kobalt, dan logam tanah jarang (rare earth elements) yang dibutuhkan untuk teknologi tinggi.

Baca juga :  Cilukba PSI!

Kondisi ini menjadikan Arktik bukan sekadar wilayah geografis, tetapi menjadi semacam “peti harta karun” masa depan. Negara-negara yang mampu mengklaim wilayah tersebut akan mendapat keuntungan besar secara ekonomi, energi, dan posisi tawar dalam geopolitik global.

Lebih dari itu, pencairan es di Kutub Utara membuka jalur perdagangan baru yang bisa memangkas waktu tempuh antara Asia dan Eropa secara signifikan. Jalur ini disebut sebagai Northern Sea Route (NSR) yang bisa memangkas waktu pengiriman dari 40 hari menjadi sekitar 22 hari jika dibandingkan dengan jalur tradisional melalui Terusan Suez. Ini berarti efisiensi biaya, waktu, dan potensi kendali terhadap rute perdagangan global.

Rusia menjadi negara yang paling aktif memanfaatkan momen ini. Presiden Vladimir Putin secara terbuka menyebut Arktik sebagai wilayah prioritas strategis. Rusia membangun pangkalan militer di wilayah utara, memperkuat armada es, dan menerbitkan undang-undang untuk mempercepat eksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.

Sementara itu, Amerika Serikat melalui NATO mulai memperkuat aliansi dan operasi militernya di wilayah utara Norwegia dan Islandia. Mereka melihat upaya Rusia sebagai potensi bentuk ancaman terhadap stabilitas regional. Di sisi lain, Tiongkok menyebut dirinya sebagai “Near-Arctic State” dan menyusun kebijakan Arktik sendiri, bahkan ikut serta dalam proyek infrastruktur di Greenland dan Islandia untuk menancapkan pengaruhnya.

Secara teoretis, dinamika ini dapat dijelaskan melalui kerangka offensive realism dari John Mearsheimer. Menurutnya, negara-negara besar cenderung bersikap agresif untuk mengamankan posisinya di sistem internasional yang anarkis. Ketika sebuah kawasan—seperti Arktik—menyediakan peluang keuntungan besar dan belum ada otoritas yang mengaturnya secara definitif, maka perebutan kekuasaan hampir tak terhindarkan.

Analis geopolitik seperti Michael Byers juga menegaskan bahwa konflik di Arktik bukan sekadar soal batas teritorial, tapi lebih dalam menyangkut siapa yang menguasai sumber energi dan jalur perdagangan strategis di masa depan. Dengan kata lain, Arktik adalah representasi dari geopolitik baru di era perubahan iklim.

Baca juga :  Dosa Nadiem!
17482659656462277354874128144720

Sebuah Sejarah yang Berulang?

Sejarah dunia penuh dengan contoh bagaimana perebutan sumber daya alam menjadi penyulut konflik besar antarnegara. Perang Teluk 1990-an misalnya, berakar dari invasi Irak ke Kuwait yang memiliki cadangan minyak besar. Perang Kongo yang berkepanjangan juga banyak dipengaruhi oleh kontrol atas tambang-tambang kobalt dan coltan yang vital bagi industri teknologi. Bahkan kolonialisme Eropa di abad ke-17 hingga ke-20 sebagian besar didorong oleh hasrat menguasai rempah, emas, dan bahan mentah.

Filsuf Thomas Hobbes pernah menggambarkan kondisi dunia sebagai “perang semua melawan semua” jika tidak ada otoritas tunggal yang bisa mengatur. Dalam konteks global, absennya kekuasaan supranasional yang efektif menjadikan wilayah seperti Arktik sebagai ruang kosong yang menggoda bagi ambisi kekuasaan.

Dengan demikian, Arktik bukan hanya arena kompetisi ekonomi dan teknologi, tapi juga cermin dari struktur kekuasaan global yang masih berpijak pada logika dominasi dan penguasaan sumber daya. Jika tidak dikelola dengan prinsip kerja sama dan tanggung jawab kolektif, potensi konflik terbuka bukanlah sekadar kemungkinan, tapi ancaman nyata.

Kesimpulannya, Arktik adalah medan baru dalam kompetisi global. Sebuah kawasan yang dulu senyap, kini bertransformasi menjadi arena perebutan ekonomi dan geopolitik yang memanas. Dunia harus belajar dari sejarah, bahwa keserakahan atas sumber daya sering kali membawa bencana besar. Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan menang di Arktik, tapi apakah dunia siap menanggung konsekuensinya? (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Beijing, Silicon Valley, dan Paris kini jadi pusat investasi AI terbesar di dunia—mewakili tiga kutub kekuatan baru dari Asia, Amerika, dan Eropa. Apakah ini tanda bahwa kota dengan dominasi AI akan menjadi pusat peradaban masa depan?

More Stories

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Beijing, Silicon Valley, dan Paris kini jadi pusat investasi AI terbesar di dunia—mewakili tiga kutub kekuatan baru dari Asia, Amerika, dan Eropa. Apakah ini tanda bahwa kota dengan dominasi AI akan menjadi pusat peradaban masa depan?