Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kementerian Pertanian menjadi sorotan dalam artian positif setelah pencapaian stok beras yang melampaui rekor. Selain ditopang oleh sosok berpengalaman seperti Amran Sulaiman di pos menteri beserta Sudaryono yang menjadi wakilnya, Presiden Prabowo Subianto agaknya telah mencermati bahwa pangan adalah salah satu aspek kunci multidimensi pemerintahannya.
Di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, isu ketahanan pangan langsung menempati posisi vital dalam agenda kebijakan nasional.
Laporan resmi yang menyebut stok beras nasional di gudang Bulog mencapai 3,7 juta ton menjadi headline yang bukan hanya menggembirakan, tetapi juga sarat pesan politik.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang kembali menjabat setelah sebelumnya menjadi arsitek kebijakan pertanian di era Joko Widodo, mengklaim bahwa capaian ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah Indonesia merdeka. Klaim ini sendiri disertai data konkret per 27 April 2025, di mana stok harian mencapai 3.180.000 ton.
Di balik angka tersebut, muncul dua figur yang menjadi ikon baru dalam narasi kedaulatan pangan Indonesia, Amran Sulaiman dan Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian yang juga kader muda prominen Partai Gerindra.
Kedekatan Sudaryono dengan akar pertanian dari keluarganya, serta pengalamannya dalam birokrasi dan partai, seolah memperkuat posisi Kementerian Pertanian sebagai institusi strategis yang sedang dikonsolidasikan untuk menjadi “jantung” pembangunan nasional di era Presiden Prabowo.
Namun angka dan simbol hanya menjadi kuat ketika ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni mengapa ketahanan pangan begitu penting bagi stabilitas politik, dan bagaimana strategi ini bisa bertahan dalam jangka panjang?
Alkisah, Pangan dan Kekuasaan
Dalam ekonomi politik, ketahanan pangan adalah bentuk policy instrument yang menggabungkan aspek kesejahteraan rakyat dan legitimasi politik. Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay menyebut bahwa negara yang mampu menyatukan state capacity, rule of law, dan accountability akan menciptakan stabilitas jangka panjang.
Walau di permukaan terlihat kurang relate dengan apa yang dikemukakan Fukuyama, ketersediaan pangan nyatanya adalah salah satu indikator utama dari state capacity itu sendiri. Terlebih, makanan pokok, beras.
Konteks Indonesia menguatkan argumentasi ini. Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto memandang ketahanan pangan sebagai fondasi utama pembangunan. Program Bimas (Bimbingan Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), dan akhirnya swasembada beras pada 1984 yang diakui FAO menjadi salah satu puncak legitimasi kekuasaannya.
The Smiling General agaknya memahami bahwa pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah kunci kekuasaan yang panjang dan kuat. Soeharto bahkan membungkus keberhasilan tersebut sebagai warisan developmentalisme dan nasionalisme.
Dalam konteks Presiden Prabowo yang merupakan menantunya, langkah mengangkat kembali Amran dan menempatkan Sudaryono sebagai tandem adalah bagian dari konstruksi dream team di bidang pertanian.
Amran dinilai membawa pengalaman dan technocratic legacy dari masa pemerintahan Jokowi, sementara Sudaryono menjadi simbol grassroot embeddedness sekaligus kader partai penguasa.
Kombinasi ini agaknya menciptakan spektrum yang luas, dari teknokratis ke populis, yang menjadi penting untuk menjawab kebutuhan kebijakan multidimensi.
Ihwal yang juga menarik adalah perubahan orientasi yang ditekankan oleh Sudaryono bahwa Bulog tak lagi hanya berfokus pada pembelian beras, melainkan gabah.
Secara teknis, ini merupakan pergeseran paradigma dari end-product stabilization menuju production chain protection. Dengan membeli gabah, pemerintah bukan hanya menjamin ketersediaan, tapi juga menjaga harga di tingkat petani, serta memperbaiki distribusi nilai dalam rantai pasok.
Dengan demikian, sektor pangan menjadi political arena di mana Presiden Prabowo tampak membangun performative legitimacy, bukan sekadar berdasarkan simbol, tetapi juga performa kebijakan. Jika dikelola konsisten, ini bisa menjadi new deal antara negara dan rakyat, mirip seperti yang dilakukan Soeharto di masa lalu.

Biar Lanjut Terus Gimana?
Namun, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab dari interpretasi positif di atas. Apakah capaian ini dapat sustainable? Apakah rahasia “digdaya pangan” ini sekadar teknikal dan data statistik komprehensif serta multi komoditas atau benar-benar ditopang oleh fondasi sistemik yang kuat?
Tantangan pangan di masa kini jauh berbeda dibanding masa Orde Baru. Pertama, ada krisis iklim global yang mengubah pola tanam dan menurunkan produktivitas. Kedua, ada alih fungsi lahan pertanian secara masif di wilayah-wilayah strategis.
Ketiga, ada disrupsi teknologi dan perubahan demografis yang mengurangi jumlah petani muda. Terakhir, dinamika global detik ini sangat memengaruhi sebab akibat ketersediaan dan harga.
Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan agroekologis dan food sovereignty kiranya menjadi relevan. Dalam pendekatan ini, negara tidak hanya menjadi fasilitator logistik, tetapi juga aktor utama dalam menciptakan ekosistem pertanian yang tahan terhadap krisis ekologis dan sosial.
Amran dan Sudaryono tentu harus mampu menjawab tiga isu utama. Pertama, regenerasi petani, karena tanpa petani muda, kedaulatan pangan akan stagnan.
Dibutuhkan kebijakan petani milenial, gen-z dan seterusnya yang bukan hanya memberi pelatihan, tapi juga insentif ekonomi, kemudahan akses tanah, dan adopsi teknologi digital.
Kedua, climate-smart agriculture. Capaian 3,7 juta ton tentu hanya data sementara yang sangat dinamis di periode-periode mendatang dan bisa lenyap jika pola cuaca ekstrem menghantam. Diversifikasi varietas, pemanfaatan AI dalam prakiraan cuaca dan irigasi, serta infrastruktur penyimpanan menjadi mutlak.
Ketiga, keadilan agraria. Ketahanan pangan tidak akan adil jika tidak diiringi keadilan akses. Reforma agraria substantif harus tetap menjadi komponen utama, bukan hanya “pembagian sertifikat”, tapi penataan ulang sistem tata kelola tanah.
Pelajaran dari era Soeharto adalah pentingnya grand design yang terpusat dan konsisten. Namun pekerjaan dari era pasca-Soeharto adalah pentingnya partisipasi publik dan distribusi manfaat secara adil.
Oleh karena itu, keberhasilan tim Amran-Sudaryono akan ditentukan bukan hanya oleh angka-angka produksi, tapi juga bagaimana kebijakan ini menyentuh lived experiences petani kecil dan memperbaiki struktur ekonomi pedesaan.
Kembali, ketahanan pangan bukan hanya soal mencukupi perut rakyat atau memenuhi stok gudang Bulog. Ia adalah simbol tertinggi dari kapasitas negara, keberpihakan pada rakyat, dan legitimasi kekuasaan yang autentik.
Presiden Prabowo, yang pernah memimpin Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), tampaknya memahami betul hal ini, dan menjadikan sektor pertanian sebagai panggung utama untuk membuktikan bahwa pemerintahannya hadir bukan sekadar dalam simbol, tapi dalam tindakan nyata.
Amran Sulaiman dan Sudaryono bukan hanya administrator, mereka kini menjadi ikon dari proyek besar tersebut. Namun sejarah juga memberi peringatan, yaitu prestasi pangan bisa sekejap sirna jika tak dibarengi sistem yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam konteks kekuasaan, pangan adalah simfoni, harus ditata dengan harmoni antara teknologi, petani, alam, dan kebijakan. Jika berhasil, inilah yang akan menjadi rahasia digdaya Presiden Prabowo di tengah lanskap sosial-politik Indonesia yang terus bergolak.
Maka, sebagaimana dikatakan oleh pemikir Romawi kuno Cato the Elder, “if you want peace, prepare for agriculture.” Dalam bahasa hari ini, jika ingin stabilitas dan kejayaan politik, maka siapkan ketahanan pangan secara serius, sistemik, dan adil. (J61)