Dengarkan artikel ini:
Dibandingkan Indonesia, musisi tingkat internasional seperti Taylor Swift dan Lady Gaga lebih memilih Singapura sebagai pilihan tempat konser. Mengapa ini menjadi semacam “bad romance” antara Indonesia dan Singapura?
“Oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh, caught in a bad romance” – Lady Gaga, “Bad Romance” (2009)
Kenny telah menjadi penggemar setia Lady Gaga sejak masa “Born This Way”. Saat pengumuman tur “The Mayhem Ball” dirilis, ia langsung antusias—hingga ia sadar bahwa seluruh jadwal konser, pada 18, 19, 21, dan 24 Mei 2025, hanya digelar di Singapura.
Awalnya, Kenny kecewa berat. “Masa konser sebanyak itu cuma di satu negara, dan pilihannya Singapura yang tiketnya selangit?” keluhnya pada teman-teman sesama Little Monsters.
Harga tiket, akomodasi, dan transportasi jelas bukan urusan ringan bagi Kenny yang tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai desainer lepas. Namun, rasa cintanya pada Gaga mengalahkan rasa frustrasi; ia mulai menabung dan bahkan membuka komisi ilustrasi demi mengumpulkan dana.
Setelah gagal dapat tiket di tanggal-tanggal awal, Kenny akhirnya berhasil mengamankan kursi untuk konser tanggal 24 Mei. Malam itu, saat lampu menyala dan Gaga muncul mengenakan kostum futuristik, Kenny merasa perjuangannya terbayar lunas.
Tapi setelah konser usai dan euforia mulai reda, Kenny duduk diam di kursi stadion, memandangi panggung kosong. “Kenapa sih Gaga enggak pernah konser di Indonesia?” pikirnya, merasa getir.
Dengan populasi muda yang besar dan pasar musik yang terus berkembang, Indonesia seharusnya menjadi tujuan ideal bagi tur global sekelas ini. Kenny mulai bertanya-tanya, mungkinkah ada alasan sosial atau politik—seperti tekanan budaya, isu toleransi, atau keraguan soal kebebasan artistik—yang membuat Lady Gaga menjauh dari panggung Indonesia?
Dari Taylor Swift hingga Lady Gaga
Kenny masih ingat betul betapa hebohnya Maret 2024 saat Taylor Swift menggelar enam hari konser berturut-turut di Singapura dalam rangka The Eras Tour. Tiketnya ludes dalam hitungan menit, dan Kenny hanya bisa menyaksikan hiruk-pikuknya lewat media sosial—dengan sedikit getir di hati.
Kala itu, bukan hanya penggemar yang ramai bersuara, tetapi juga politisi seperti Sandiaga Uno yang masih menjabat sebagai Menparekraf. Ia menyayangkan mengapa Indonesia, dengan pasar yang besar, tidak kebagian satu pun tanggal tur, apalagi hingga enam hari penuh.
Kenny mulai menyadari bahwa Singapura memang selalu jadi destinasi utama bagi tur besar dunia. Bukan sekadar karena daya beli warganya tinggi, tapi juga karena infrastruktur konser di sana sangat siap: dari keamanan, logistik, hingga dukungan penuh dari pemerintah.
Negara kecil itu telah lama memposisikan diri sebagai pusat hiburan dan budaya internasional di Asia Tenggara. Promotor global tahu, jika membawa artis seperti Lady Gaga atau Taylor Swift ke Singapura, mereka akan mendapat kepastian teknis dan bisnis yang solid.
Sementara di Indonesia, konser besar masih harus menghadapi berbagai tantangan: mulai dari birokrasi yang rumit, kekhawatiran soal izin keramaian, hingga potensi penolakan dari kelompok-kelompok tertentu. Hal-hal ini membuat promotor ragu, dan bintang kelas dunia memilih jalur yang lebih “aman”.
Setelah menghadiri konser Lady Gaga pada 24 Mei 2025, Kenny duduk di tepi Marina Bay dan kembali merenung. “Mengapa Singapura bisa sebegitu terbuka terhadap konser-konser seperti ini?” pikirnya. Mungkinkah ini bukan cuma soal kebijakan—tapi sudah menjadi bagian dari DNA budaya dan visi negara itu sejak dulu?
Singapore Was Just Born This Way?
Kenny yang baru saja pulang dari konser Lady Gaga di Singapura, tak bisa berhenti berpikir soal perbedaan mencolok antara Indonesia dan negara kecil itu. Ia mulai membaca lebih dalam tentang bagaimana Singapura bisa menjadi pusat konser dunia, padahal luas wilayahnya tak sebesar Jakarta.
Dalam salah satu esai klasik, From Geopolitics to Geo-Economics, Edward N. Luttwak menulis bahwa dunia telah berubah dari logika konflik menjadi tata bahasa perdagangan. Negara-negara kini tak selalu bertarung lewat kekuatan militer, tapi lewat kebijakan ekonomi yang menciptakan pengaruh dan ketergantungan.
Singapura, sejak awal kemerdekaannya, sadar bahwa mereka tak punya sumber daya alam melimpah seperti Indonesia. Maka, strategi mereka adalah menjadikan diri sebagai pusat perdagangan, keuangan, dan logistik yang efisien dan terbuka bagi siapa pun yang membawa uang dan teknologi.
Dengan kebijakan ekonomi terbuka itu, Singapura berhasil menciptakan kondisi yang ramah bagi investasi, termasuk dalam industri hiburan dan pertunjukan. Tak heran jika promotor global memilihnya sebagai tempat konser—dari Coldplay, Taylor Swift, hingga Lady Gaga.
Sebaliknya, Indonesia, meski memiliki pasar besar dan kekayaan alam yang luar biasa, masih kerap tersandera birokrasi rumit dan ketidakpastian kebijakan. Kenny melihat sendiri betapa sulitnya musisi luar masuk tanpa khawatir dibatalkan oleh tekanan sosial atau administratif.
Melalui pendekatan geoekonomi, Singapura membentuk ketergantungan kekuatan besar—baik perusahaan multinasional maupun negara lain—pada stabilitas dan keterbukaan ekonominya. Ini menjadi semacam “perisai tak kasatmata” agar mereka tak mudah disingkirkan atau diabaikan.
Kini Kenny makin paham: sukses Singapura bukan kebetulan, tapi hasil dari strategi yang cermat. Di dunia yang dikuasai oleh “grammar of commerce”, Singapura memilih menjadi panggung utama—dan dunia pun datang menonton. (A43)