Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Gaduh ijazah UGM Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang selalu timbul-tenggelam membuka interpretasi bahwa isu tersebut adalah “kuncian” tertentu dalam sebuah setting manajemen isu. Akan tetapi, variabel UGM sendiri juga sangat menarik, mengingat sebuah kampus nyatanya dapat menjadi inkubator bagi aktor politik di masa depan mengaktualisasikan idenya mengenai negara.
Polemik seputar keabsahan ijazah sarjana Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tampaknya menjadi fenomena sosial-politik yang menarik untuk ditelaah.
Meskipun UGM secara resmi telah mengonfirmasi keabsahan ijazah tersebut, narasi minor yang mempertanyakan keotentikan dokumen akademik itu terus bermunculan.
Rekan-rekan semasa kuliah Jokowi, baik dosen maupun teman seangkatan, telah memberikan kesaksian yang menegaskan keberadaannya sebagai mahasiswa UGM. Namun demikian, gelombang keraguan tak kunjung surut—didukung oleh investigasi mandiri netizen yang sering kali lemah secara metodologis namun kuat dalam efek viral.
Fenomena ini memperlihatkan kompleksitas ruang publik Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh budaya digital dan dinamika politik elektoral.
Tuduhan-tuduhan tersebut, meskipun seringkali tidak berdasar, tetap memiliki efek disrupsi terhadap opini publik. Dalam wacana komunikasi politik, ini dapat dilihat sebagai strategi agenda setting atau issue management.
Di sini, isu akademik menjadi kendaraan untuk menggiring perhatian publik pada narasi yang lebih besar: kredibilitas dan integritas seorang tokoh politik.
Sedikit berbeda konteks, di balik narasi ini, muncul pertanyaan yang lebih tak kalah menarik dan mendalam, yakni mengapa UGM, sebagai sebuah institusi pendidikan, mampu menghasilkan tokoh-tokoh penting dalam lanskap politik nasional?
Inkubator “Angles” and “Demons“?
Tak hanya Jokowi, UGM juga merupakan almamater dari beberapa kandidat presiden dan pejabat tinggi lain seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Pratikno, Mahfud MD, dan lain-lain.
Apakah ini semata kebetulan? Ataukah UGM memiliki struktur, budaya, atau ekosistem tertentu yang melahirkan pemimpin nasional? Bagaimana dengan komparasinya di negara lain?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pendekatan Institutional Reproduction Theory dari Pierre Bourdieu, khususnya konsep habitus, field, dan capital agaknya tepat untuk digunakan.
Bourdieu melihat institusi pendidikan tinggi sebagai arena (field) di mana nilai-nilai, pengetahuan, dan jejaring sosial terbentuk dan direproduksi.
Mahasiswa tidak hanya menerima pengetahuan akademik, tetapi juga menginternalisasi norma, nilai, dan logika kekuasaan yang beroperasi di dalam institusi tersebut.
UGM, sebagai salah satu universitas tertua dan paling prestisius di Indonesia, memainkan peran penting dalam membentuk habitus politik para mahasiswa.
Sebagai universitas negeri yang kuat dalam bidang sosial-politik dan hukum, UGM menyediakan ruang diskursus politik yang dinamis, baik secara formal melalui perkuliahan dan organisasi mahasiswa, maupun secara informal melalui dinamika sosial antarindividu dan kelompok.
Secara konseptual, pendekatan Political Socialization juga relevan. Proses sosialisasi politik di kalangan mahasiswa menjadi titik krusial dalam pembentukan orientasi politik yang kelak akan dibawa ke dalam kehidupan profesional.
Lingkungan kampus yang plural, wacana politik yang terbuka, serta kultur intelektual yang kritis memberikan landasan kuat bagi tumbuhnya kader-kader pemimpin bangsa.
UGM juga dikenal memiliki tradisi kuat dalam aktivisme mahasiswa, baik melalui gerakan ekstra kampus seperti HMI, GMNI, dan PMII, maupun lewat forum-forum diskusi internal kampus.
Tokoh-tokoh seperti Jokowi, Anies, maupun Ganjar menempuh masa kuliah dalam atmosfer yang sarat dengan pergolakan politik dan dinamika sosial. Inilah yang menjadikan UGM bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga laboratorium politik.
Selain itu, konsep political opportunity structure yang dalam kajian gerakan sosial juga bisa digunakan sebagai basis perspektif.
UGM sebagai institusi memiliki posisi strategis dalam lanskap politik nasional, yakni dekat dengan pusat kekuasaan “tradisional” Yogyakarta, memiliki akses ke elite pemerintahan, serta berada dalam ekosistem jaringan akademik yang kuat.
Keseluruhan kondisi ini menciptakan peluang politik bagi para mahasiswa dan alumninya untuk menapaki tangga kekuasaan.

Alumni Matters?
Dalam konteks global, UGM dapat dibandingkan dengan universitas-universitas elite di negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di AS, Harvard University, Yale, Princeton, dan Stanford merupakan contoh utama dari universitas yang berperan sebagai produsen elite politik.
Barack Obama (Harvard Law School), George W. Bush (Yale), Bill Clinton (Georgetown dan Oxford), serta John F. Kennedy (Harvard) adalah contoh bagaimana universitas tersebut menjadi semacam “jalur cepat” menuju posisi puncak dalam pemerintahan. Tentu, ditopang dengan variabel lain yang lebih kompleks.
Dalam studi berjudul Pedigree: How Elite Students Get Elite Jobs, menunjukkan bahwa institusi pendidikan tinggi elite di Amerika tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menawarkan jejaring sosial (social capital) dan kredensial (symbolic capital) yang sangat dihargai dalam politik dan bisnis.
Hal ini menunjukkan paralel yang jelas dengan peran UGM di Indonesia, yaitu sebagai institusi yang tidak hanya membentuk kompetensi teknis, tetapi juga menyediakan “platform reputasi” dan jejaring strategis bagi alumni untuk masuk ke dunia politik.
Di Inggris, Oxford dan Cambridge (Oxbridge) dikenal sebagai nursery of prime ministers. Tokoh seperti Tony Blair, David Cameron, Theresa May, dan Boris Johnson adalah alumni dari universitas tersebut.
Budaya debat, eksistensi klub-klub diskusi seperti Oxford Union, dan tradisi panjang keterlibatan mahasiswa dalam urusan kenegaraan menjadikan universitas sebagai wahana politisasi yang efektif.
Kembali ke konteks Indonesia, pola seperti itu juga tampak. Tokoh-tokoh dari UGM tidak hanya memiliki latar akademik yang kuat, tetapi juga keterlibatan aktif dalam organisasi kemahasiswaan, kegiatan sosial, serta diskusi-diskusi yang kritis.
Bahkan, banyak dari mereka memiliki koneksi personal dengan dosen atau sesama mahasiswa yang kelak menduduki posisi penting.
Ini menguatkan argumen bahwa kampus bukan hanya “sekolah akademik”, tetapi juga school of power.
Namun, yang membedakan konteks Indonesia dengan negara-negara maju adalah tingginya tingkat politisasi pendidikan tinggi.
Di AS dan Inggris, meskipun ada elitisme institusional, proses rekrutmen politik cenderung lebih meritokratis dan transparan.
Sementara di Indonesia, proses tersebut sering kali dibungkus dengan dinamika pragmatisme, oligarki, dan kooptasi institusi.
Oleh karena itu, UGM sebagai “political lab” Indonesia masih berhadapan dengan tantangan struktural. Terutama, seputar bagaimana menjaga integritas akademik sembari tetap relevan dalam dinamika kekuasaan.
Jika tidak hati-hati, reputasi sebagai penghasil elite politik justru bisa menjadi beban moral dan reputasional, terutama bila alumni yang naik ke puncak kekuasaan justru mengabaikan nilai-nilai luhur yang ditanamkan UGM, seperti kerakyatan, integritas, dan nalar kritis. (J61)