HomeNalar PolitikRusia dan Bayang-Bayang “Rumah Bersama Eropa”

Rusia dan Bayang-Bayang “Rumah Bersama Eropa”

Kecil Besar

Di masa lampau, Rusia pernah hampir jadi pemimpin “de facto” Eropa. Masih mungkinkah hal ini terjadi?


PinterPolitik.com

Beberapa tahun terakhir, terutama sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina pada 2022, ketegangan geopolitik di Eropa mengalami lonjakan drastis.

Uni Eropa yang sebelumnya cenderung stabil, kini berada dalam kondisi siaga terus-menerus—baik dalam hal pertahanan militer, ketahanan energi, hingga kebijakan luar negeri. Rusia, sekali lagi, muncul sebagai bayang-bayang besar yang membentuk ulang lanskap strategis Eropa.

Menariknya, kondisi ini seakan membangkitkan kembali memori lama tentang gagasan “European Common Home” yang dilontarkan oleh Mikhail Gorbachev pada akhir era Soviet. Gagasan tersebut menawarkan cita-cita besar: bahwa Eropa, dari Lisbon hingga Vladivostok, sejatinya adalah satu entitas yang bisa hidup damai dan berdampingan.

Jika ditilik secara historis dan filosofis, konsep ini bukan sekadar propaganda damai, tetapi cerminan dari aspirasi geopolitik Rusia yang lebih dalam. Bahkan, pada satu titik sejarah, Rusia pernah berada di ambang menjadi “pemimpin sah” Eropa.

Lalu, apakah “rumah bersama Eropa” hanyalah mimpi usang yang dikubur bersama Uni Soviet? Ataukah ini justru sebuah janji geopolitik yang menunggu momentum baru untuk diwujudkan kembali—di tengah keretakan yang kini mulai terlihat dalam poros Euro-Atlantik?

Pertanyaan ini menjadi penting, sebab ia menyentuh denyut nadi hubungan antara Rusia dan Eropa dari masa lalu, masa kini, dan mungkin juga masa depan.

17451536762661045489070943335379

Kremlin, Roma Baru, dan Janji yang Belum Tuntas

Konsep European Common Home yang digagas Gorbachev bukanlah narasi romantik belaka, melainkan manifestasi dari visi historis Rusia sebagai pusat kekuatan benua. Sejak abad ke-18, Rusia telah beberapa kali menjadi kekuatan penentu arah Eropa, mulai dari kemenangan atas Napoleon, perannya dalam mengalahkan Jerman, hingga kepemimpinan Blok Timur selama Perang Dingin.

Baca juga :  Logam Tanah Jarang, "Adamantium"-nya AS-Tiongkok?

Dalam berbagai literatur sejarah dan geopolitik, Rusia kerap disebut sebagai pewaris sah dari dua kekaisaran besar sebelumnya: Bizantium dan Kekaisaran Romawi. Bahkan, terdapat doktrin lama di kalangan gereja Ortodoks dan para pemikir Rusia bahwa “Moscow is the Third Rome”.

Pascaperang Dunia II, Rusia (dalam wujud Uni Soviet) tidak hanya menjadi penguasa militer di Eropa Timur, tetapi juga menawarkan ideologi dan sistem alternatif terhadap kapitalisme Barat. Dalam konteks inilah European Common Home bisa dibaca bukan sekadar sebagai propaganda damai Soviet, tetapi sebagai proyek hegemoni kultural dan politik dalam bentuk lain—lebih halus, lebih diplomatis. Rusia tidak lagi ingin mendominasi lewat tank, tetapi melalui tata ulang geopolitik regional.

Namun, keruntuhan Uni Soviet pada awal 1990-an menghapus peluang besar itu. Barat, dipimpin oleh Amerika Serikat, segera mengambil alih kekosongan yang ditinggalkan Soviet. NATO meluas ke timur, Uni Eropa menggaet bekas republik Soviet, dan Rusia—dalam krisis internalnya—dipaksa mundur dari panggung Eropa. Dalam terminologi geopolitik klasik ala Halford Mackinder, Rusia kehilangan “Heartland” Eropa dan dipaksa bertahan dalam posisi defensif.

Yang ironis, inisiatif European Common Home sebetulnya mencerminkan keinginan Rusia untuk menghapus garis pemisah antara Timur dan Barat. Namun, ketika Eropa lebih memilih berlindung di bawah payung Amerika, konsep rumah bersama berubah menjadi narasi yang terabaikan.

Kini, di tengah dinamika polarisme dunia dan kebangkitan kembali kekuatan Rusia, gagasan tersebut seolah hidup kembali dalam bentuk yang lebih realis—melalui ketergantungan energi, tekanan militer, dan retorika politik pascainvasi Ukraina.

Dalam pemahaman geopolitik klasik seperti yang dikemukakan oleh Zbigniew Brzezinski dalam The Grand Chessboard, Eropa tidak pernah benar-benar otonom dalam menentukan takdirnya. Dan selama itu pula, Rusia akan terus merasa bahwa posisinya sebagai pusat gravitasi Eropa adalah hak historis yang belum dipenuhi.

Baca juga :  Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 
17451538740402926536081465785423

Apakah Rumah Itu Masih Mungkin Dibangun?

Kini, ketika Eropa menghadapi berbagai krisis secara simultan—mulai dari energi, imigrasi, hingga fragmentasi politik dalam negeri—wacana tentang tatanan geopolitik baru di Benua Biru tersebut kembali menggeliat. Ketergantungan energi terhadap Rusia tak sepenuhnya dapat diputuskan, bahkan setelah embargo dan sanksi keras dijatuhkan. Di sisi lain, kelekatan Eropa dengan NATO semakin tergerus, terlebih dengan munculnya ketidakpastian perang di Ukraina.

Jika NATO suatu saat menjadi disfungsional, Eropa akan berada dalam dilema strategis. Membangun otonomi pertahanan memerlukan biaya politik dan ekonomi yang besar, belum lagi soal konsensus internal yang rapuh.

Dalam kondisi seperti itu, wacana European Common Home—meskipun berasal dari Rusia—dapat muncul kembali sebagai alternatif pragmatis. Bukan karena Eropa ingin dipimpin Rusia, tetapi karena Rusia tetaplah kekuatan geografis dan historis yang tidak bisa diabaikan dalam percaturan Eropa.

Peluang ini tentu tidak datang tanpa risiko. Rusia pascaperang Ukraina bukanlah mitra yang bisa dengan mudah dipercaya oleh banyak negara Eropa. Tapi di saat yang sama, pergeseran geopolitik global menuju dunia multipolar bisa memaksa Eropa untuk lebih fleksibel dan membuka ruang kompromi dengan musuh lamanya.

Jadi, pertanyaannya kini: akankah Eropa kembali membuka pintunya untuk Rusia, atau justru memperkuat bentengnya dalam ilusi kemandirian yang tidak pernah benar-benar utuh? Bagaimana masa depan Eropa akan dibentuk—oleh kekuatan sendiri, oleh Amerika, atau justru oleh tetangganya di Timur?

Sebagai pembaca, mari kita renungkan: mungkinkah rumah bersama itu akhirnya dibangun bukan karena cinta, tetapi karena kebutuhan? (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

More Stories

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

Negara Ini Korban Sesungguhnya Konflik India-Pakistan?

Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?