HomeHeadlineNadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Nadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Kondisi sektor pariwisata Indonesia kini berada di titik nadir. Di balik layar kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, para pelaku industri perhotelan sedang berjuang bertahan dari badai krisis. Laporan dari Kompas Bisnis beberapa hari lalu menyebutkan bahwa berdasarkan survei Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), 88 persen hotel di Indonesia mempertimbangkan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pegawai mereka. Wih!


PinterPolitik.com

Angka 88 persen ini bukan sekadar statistik; ia adalah alarm keras tentang ancaman kolapsnya industri yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah dan penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Survei tersebut menyebutkan beberapa alasan utama dari kemungkinan PHK massal ini, dengan yang paling dominan adalah lesunya permintaan akibat penurunan drastis kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, serta penurunan drastis kegiatan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) yang biasanya sangat bergantung pada anggaran pemerintah maupun BUMN.

Dalam konteks ini, muncul satu benang merah yang menjadi sumber utama tekanan: efisiensi anggaran pemerintah. Sejak awal tahun 2024, berbagai kementerian dan lembaga termasuk pemerintah daerah memangkas belanja perjalanan dinas, kegiatan rapat di luar kantor, hingga insentif pariwisata.

Langkah ini dianggap sebagai bagian dari “pengetatan fiskal” untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Namun, keputusan ini memunculkan efek domino yang menghantam industri pariwisata, terutama hotel dan restoran yang selama ini menjadi penyedia utama jasa akomodasi bagi agenda-agenda pemerintah.

Celakanya, efisiensi itu tidak diimbangi oleh inovasi atau inisiatif baru dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk mengisi kekosongan pasar. Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, tampak lebih banyak terlibat dalam polemiknya sendiri dan pemberitaan mengenai kekayaannya yang fantastis—Rp 5,4 triliun menurut laporan LHKPN—daripada menghadirkan narasi atau strategi baru yang segar dan relevan.

Sosok Widiyanti yang berlatar belakang pengusaha properti dan konglomerasi memang sempat digadang-gadang sebagai representasi “kinerja dan efisiensi”. Namun, justru saat efisiensi menghantam keras dunia perhotelan, sang menteri terlihat gagap. Tidak ada kampanye promosi wisata yang menonjol, tidak ada kerja sama digital dengan kreator global, tidak ada terobosan digital tourism yang menjawab kebutuhan zaman.

Padahal di era media sosial dan konten digital, promosi pariwisata tidak lagi hanya mengandalkan brosur atau pameran konvensional. Nama seperti IShowSpeed—streamer dan kreator konten asal Amerika Serikat yang dikenal dengan jutaan pengikutnya di Twitch dan YouTube—secara tidak langsung telah mempromosikan berbagai negara lewat kunjungannya.

Baca juga :  Hey, Hasto! Will be Free?

Ia bisa viral hanya dengan mencoba makanan lokal, melihat budaya unik, atau sekadar bertemu warga lokal dengan aksen khasnya. Di sinilah Indonesia ketinggalan jauh—tidak ada upaya strategis dari pemerintah untuk menggandeng tokoh-tokoh global seperti ini demi memperkenalkan keindahan dan kekayaan budaya Nusantara.

Dalam hal ini, kita tidak sedang berbicara soal selebritas murahan. Kita bicara tentang branding pariwisata era baru, tentang ekonomi perhatian, di mana satu video TikTok viral bisa punya nilai promosi lebih besar daripada satu konferensi internasional. Maka wajar jika muncul wacana bahwa saat ini kita justru lebih butuh “IShowSpeed” daripada “show off” para menteri. Benarkah demikian?

Pariwisata dalam Pusaran Kekuasaan

Industri pariwisata bukan hanya soal destinasi dan pemandu wisata. Ia adalah instrumen penting dalam relasi ekonomi-politik sebuah negara. Ketika sektor ini tumbuh, ia menciptakan lapangan kerja, mendorong investasi, bahkan memperkuat identitas nasional. Ketika ia runtuh, yang terdampak bukan hanya pemilik hotel, tetapi juga tukang ojek bandara, pedagang kaki lima, hingga para pemuda desa yang menggantungkan hidupnya dari turis musiman.

Data dari Kemenpar mencatat bahwa pada 2024, sektor pariwisata menyumbang sekitar 4,01–4,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dengan devisa mencapai USD 16,7 miliar, meningkat 19,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut cukup signifikan, namun tetap jauh dari capaian negara-negara tetangga seperti Thailand yang kontribusinya terhadap PDB dari sektor pariwisata bisa mencapai 10–12 persen.

Menurut Richard Sharpley dalam Tourism and Development in the Developing World, industri pariwisata dalam konteks negara berkembang selalu berkaitan erat dengan peran negara dan elite ekonomi-politik. Pemerintah memiliki andil besar dalam menciptakan iklim investasi, promosi destinasi, hingga membentuk narasi budaya yang bisa dijual ke dunia. Ketika negara gagal menciptakan kerangka kebijakan yang inklusif dan responsif, maka sektor ini akan stagnan, atau malah runtuh seperti yang kita saksikan hari ini.

Selain itu, pariwisata juga memiliki fungsi sebagai alat diplomasi budaya. Menurut Joseph Nye, kekuatan lunak atau soft power sebuah negara bisa tumbuh dari sektor-sektor budaya seperti film, musik, hingga pariwisata. Negara yang mampu menarik wisatawan bukan hanya menciptakan nilai ekonomi, tapi juga membangun citra dan pengaruh global.

Kembali ke konteks Menteri Widiyanti, peran strategis ini nyaris tak terlihat. Sebagai menteri dengan latar belakang pengusaha, ia justru terkesan pragmatis dalam melihat masalah. Tak ada dorongan untuk melibatkan komunitas lokal, tak ada dialog terbuka dengan pelaku UMKM wisata, bahkan tak ada komunikasi kreatif dengan diaspora Indonesia di luar negeri. Wajar jika kemudian muncul desakan dari berbagai kalangan—termasuk asosiasi pelaku pariwisata—untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja kementerian.

Baca juga :  The Dark Future of PDIP?

Beberapa pengamat bahkan menyebut bahwa krisis ini bisa menjadi “jendela politik” (political opportunity structure) untuk mengganti Widiyanti, terutama jika Prabowo ingin melakukan penyegaran kabinet di tengah situasi ekonomi yang tidak pasti. Ketika seorang menteri tak mampu menjawab tantangan zaman, tak lagi relevan, maka waktu akan menilainya sendiri.

Misi Prabowo dan Renaisans Pariwisata Indonesia

Kini bola panas berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Di awal masa kepemimpinannya, ia berhadapan dengan banyak PR besar: menjaga stabilitas ekonomi, merespons perubahan geopolitik, hingga menyusun ulang prioritas anggaran. Namun satu hal yang tak boleh diabaikan adalah potensi strategis pariwisata sebagai instrumen pemulihan ekonomi dan penguatan soft power bangsa.

Sebagai seorang pemimpin yang dikenal karismatik dan populis, Prabowo punya modal sosial untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sektor ini. Namun caranya tidak bisa lagi seperti masa lalu. Kita butuh lompatan imajinasi dan kreativitas.

Bayangkan jika Indonesia menggandeng 5-10 kreator konten internasional dengan jutaan pengikut, dari berbagai negara, untuk melakukan “Indonesian Journey”. Mereka tinggal di desa adat, mencoba makanan tradisional, ikut upacara lokal, menyelam di Raja Ampat, hingga menyaksikan tarian di Nusa Tenggara. Semua ditayangkan secara real-time ke ratusan juta penonton global.

Bayangkan jika Indonesia menyusun kembali narasi pariwisata berbasis komunitas, bukan hanya pembangunan hotel bintang lima. Desa-desa adat jadi ruang hidup, bukan sekadar dekorasi budaya. Generasi muda digital diikutsertakan dalam pengelolaan konten, dalam membangun platform pariwisata berbasis web3, atau menggunakan AI untuk menerjemahkan budaya lokal ke dalam bahasa wisatawan global.

Dan yang paling penting, bayangkan jika Prabowo mengembalikan kepercayaan pelaku usaha pariwisata dengan menambah insentif, mempercepat pemulihan fiskal, dan mencopot menteri-menteri yang tidak bekerja dengan visi masa depan.

Kita tidak hanya butuh promosi; kita butuh gerakan. Kita butuh inspirasi. Dan ya, mungkin kita memang butuh “IShowSpeed”, atau siapa pun yang bisa memicu perhatian dunia bahwa Indonesia punya keindahan tak terkira—asal ada yang bersedia menunjukkannya.

Prabowo harus sadar: di era di mana atensi adalah mata uang baru, pariwisata bukan hanya soal tempat, tapi juga soal siapa yang bercerita. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

More Stories

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

AHY Indonesia’s Next Chapter?

Nama AHY kini jadi salah satu komoditas politik yang diperhitungkan serius. Bukan tanpa alasan, dengan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan serta sebagai Ketua Partai Demokrat, posisi AHY jadi salah satu kandidat kuat untuk jadi cawapres Prabowo di Pilpres 2029.