HomeNalar PolitikJokowi Riding The Dragon Tiongkok

Jokowi Riding The Dragon Tiongkok

[Seri pemikiran Kishore Mahbubani]

Hubungan antara Tiongkok dan Amerika Serikat memang menjadi konsen analisis para pengamat dan scholar di dunia, utamanya terkait spekulasi akan seperti apa hubungan ini mempengaruhi peta relasi internasional setelah Joe Biden mengambil alih kekuasaan dari Donald Trump. Diprediksi akan mengambil pendekatan yang cenderung soft, Biden justru bersikap keras dan mengumbar permusuhan. Namun, beberapa scholar menilai pendekatan politik ini justru berbahaya untuk AS. benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“When I was growing up, my parents told me: ‘Finish your dinner. People in China and India are starving.’ I tell my daughters: ‘Finish your homework. People in India and China are starving for your job.’”

::Thomas Friedman, penulis dan pemenang 3 kali Pulitzer Price::

Beberapa hari lalu ada sebuah ulasan menarik di Bangkok Post yang mengupas polemik perbaikan hubungan antara AS dan Tiongkok. Setelah cenderung keras di bawah Donald Trump yang getol dengan kebijakan perang dagang yang dibawanya, para pengamat memang berharap Biden akan cenderung bersikap lebih lunak dan memperbaiki hubungan dengan Tiongkok yang telah larut dalam persinggungan politik serta perang dagang.

Apalagi, Biden telah menunjuk Kurt Campbell, seorang arsitek “pivot” di Asia dari era Barack Obama untuk kembali ke posisi National Security Council Coordinator for the Indo-Pacific. Dengan pendekatan era Obama yang cenderung soft, harapannya Biden bisa mengulang kebijakan-kebijakan di era itu.

Namun, sikap politik Biden terhadap Tiongkok nyatanya satu kutub, bahkan tak kalah dari Trump. Dalam salah satu kesempatan berbicara di hadapan senat pasca telepon-teleponan dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, ia menyebutkan bahwa jika AS tak memperbaiki diri dalam bidang ekonomi dan infrastruktur, perlahan tapi pasti, negara tersebut akan menjadi inferior di bawah Tiongkok.

Baca Juga: Siasat Prabowo, Australia dan Israel

“If we don’t get moving, they are going to eat our lunch”, demikian kata Biden. Jika tidak bergerak maju, mereka (Tiongkok) akan mengambil keuntungan dari kita (AS).

Ini mirip-mirip dengan pernyataan kolumnis New York Times, Thomas Friedman, seperti dikutip di awal tulisan ini, bahwa Tiongkok yang dulu masyarakatnya kekurangan makanan, kini sedang bergerak dan bahkan mengancam ketersedian lapangan pekerjaan bagi masyarakat di AS dan dunia barat. Artinya, Tiongkok sudah ada di level mengancam eksistensi AS sebagai pemain utama dalam politik dan ekonomi internasional.

Bahasa politik Biden ini jelas tidak menunjukkan garis politik yang soft. Bahkan, jika berkaca ke belakang, Biden telah mulai mendorong kembali negara-negara barat untuk memusuhi Tiongkok dan Rusia.

Tentu pertanyaannya adalah apakah ini sikap politik yang tepat bagi AS dalam segala upaya negara tersebut memenuhi kepentingan nasionalnya? Apa dampaknya terhadap dunia internasional dan bagaimana masalah ini dilihat dari sudut pandang akademisi dan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?

Baca juga :  Poster Titip Kaesang Untuk Jateng

Riding the Dragon

Sikap politik yang cenderung keras ini memang bukan hal yang baru muncul dalam beberapa minggu terakhir. Pada Februari 2021 lalu, publik mungkin ingat bagaimana pidato Biden dalam pertemuan dengan negara-negara Eropa menampilkan wajah yang mirip-mirip dengan garis politik Donald Trump.

Kala itu, Biden melakukan pembelahan ideologis untuk menciptakan status konsen yang lebih tinggi terhadap Tiongkok dan juga Rusia. AS dan negara-negara Eropa disebutnya sebagai wakil dari nilai demokrasi. Sementara, Tiongkok dan Rusia dicapnya sebagai wakil dari kekuatan otoritarianisme. Konteks sikap politik ini menjadi lebih kelihatan ketika diplomat dari kedua negara bertemu di Alaska beberapa waktu kemudian dan menampilkan tensi pertemuan yang merepresntasikan sikap dua negara.

Kalau dirasionalkan dari posisi AS, sebetulnya persoalan ini memang sesuai dengan psikologi marketing yang umumnya diadopsi oleh negara juga dalam konteks “menciptakan musuh” atau creating the enemy. Tujuannya adalah untuk menciptakan perasaan “genting” atau was-was yang bisa mendorong negara sampai pada titik menemukan kebijakan terbaiknya.

Baca Juga: Retno, Sengkarut Normalisasi Indonesia-Israel

Ini sepertinya yang tengah diupayakan oleh Biden. Harapanya, dengan menganggap Tiongkok sebagai ancaman, AS akan menemukan kebijakan tepat yang benar-benar berfokus pada kepentingan nasionalnya.

Namun, sikap politik Biden ini mendatangkan kritik dari beberapa pengamat. Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa melanjutkan jalan politik Trump atas Tiongkok akan menjadi bencana bagi AS dan bagi banyak negara.

Bagi AS, Trump telah menghancurkan posisi politik AS di tataran global. Artinya, melanjutkan strategi yang sama akan juga berdampak buruk pada AS. Biden harusnya mengakui bahwa cara politik Trump salah, dan konteks politik di Tiongkok saat ini sedang kuat-kuatnya.

Mengajak negara-negara lain untuk memusuhi Tiongkok juga akan membuat negara-negara tersebut berada dalam posisi yang dilematis, mengingat kerja sama yang dilakukan cenderung menguntungkan negara-negara tersebut. Indonesia misalnya, cenderung mendapatkan keuntungan pembiayaan untuk berbagai proyek yang dikerjasamakan.

Selain itu, mencari celah untuk mempengaruhi politik domestik Tiongkok juga sepertinya akan sangat sulit. Pasalnya, berdasarkan laporan yang dibuat oleh Harvard Kennedy School disebutkan bahwa ada peningkatan dukungan publik Tiongkok terhadap pemerintahnya sendiri, dari 86 persen pada 2003 menjadi 93 persen pada 2016 lalu.

Artinya, sulit mencari celah untuk mencoba melemahkan posisi Tiongkok secara internal, pun demikian secara internasional. Dalam konteks internasional, Tiongkok sudah punya banyak kerja sama dengan dengan negara-negara dari Asia, Afrika hingga Eropa.

Baca juga :  Jokowi-Prabowo Effect Pilkada 2024 [enter, terus tulisan kecil di bawahnya] Edisi "Tanah Jawa"

Kemudian, upaya AS membawa demokrasi dan HAM sebagai pokok utama “permusuhan” terhadap Tiongkok agaknya akan terkendala. Pasalnya, pernyataan dari para pejabat Tiongkok menyebutkan bahwa HAM dan demokrasi tidak dianggap sebagai nilai-nilai yang universal oleh mereka. Dengan demikian, hal ini akan menyulitkan kampanye HAM dan demokrasi digunakan melawan Tiongkok.

Isu komunitas Muslim Uighur misalnya, sampai saat ini tak banyak disorot oleh negara-negara Islam di Asia – termasuk Indonesia – karena kemampuan Tiongkok mengemas isu ini dan mempersepsikannya kepada negara-negara lain tersebut.

Dengan demikian, strategi permusuhan yang dilakukan oleh AS bisa saja akan jadi bumerang. Mabhbubani dan scholar-scholar lain menyarankan bahwa strategi yang seharusnya dilakukan oleh AS adalah not fighting the dragon, tetapi riding the dragon. Tidak melawan “Sang Naga”, tetapi “mengendarainya”.

AS seharusnya melihat peluang untuk mengambil keuntungan dari hubungan dengan Tiongkok, sembari pada saat yang sama memperkuat posisi internalnya sendiri, sehingga bisa kembali mengambil posisi di panggung politik global.

Mengakui Kemajuan

AS harus menerima kenyataan bahwa when a nation is big in everything, it automatically becomes superpower. Politik yang kuat, teknologi yang maju, sumber daya manusia yang kaya, sumber daya alam yang mendukung, dan ekonomi yang tak diragukan kapsitasnya adalah contoh faktor-faktor penentunya. Konsepsi superpower ini sendiri telah digunakan oleh AS dan negara-negara dunia pasca Perang Dunia II. Ini setidaknya disinggung William T. R. Fox dalam beberapa tulisannya terkait konsepsi superpower tersebut.

Apalagi, berkaca dari riset yang dilakukan oleh Lowy Institute, power index Tiongkok sudah sampai level yang sangat kuat. Artinya, mungkin sudah saatnya AS menerima kenyataan tersebut.

Baca Juga: Temui Trump, Luhut Tiru Israel?

Jika demikian, akan di mana Indonesia? Riding the dragon atau memilih untuk looking to the west alias flying with the eagle?

Well, harus diakui dengan kondisi saat ini, Tiongkok bisa dibilang sudah lolos dari pandemi. Tiongkok juga sudah bisa kembali melakukan akselerasi ekonomi. Artinya, dekat dengan Tiongkok atau riding the dragon akan menguntungkan.

Namun, kondisi yang lebih ideal adalah tentu saja mencoba menyeimbangkan hubungan dengan dua negara tersebut. Tujuannya adalah tentu saja agar keuntungan bisa sebesar-besarnya diraih dalam meraih kepentingan nasional kita.

Bagaimanapun juga hubungan yang buruk dengan AS bisa berdampak buruk juga bagi Indonesia – hal yang sudah terefleksi panjang dalam sejarah negara ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Misteri Post Power Jokowi

Setelah dua periode memimpin Indonesia, masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir.

Menkominfo dan Kegagalan Menteri “Giveaway” Jokowi?

Menkominfo Budi Arie tengah mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Ini pasca kasus peretasan yang terjadi pada Pusat Data Nasional oleh peretas Brain Chiper.