HomeHeadlineJenderal Dudung Terpaksa "Pensiun Dini"?

Jenderal Dudung Terpaksa “Pensiun Dini”?

Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto menyebut idealnya Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) berganti sebelum kampanye Pemilu 2024. Itu berarti, Laksamana Yudo Margono dan Jenderal Dudung Abdurachman harus “menepi” lebih awal karena baru akan pensiun pada November 2023. Lantas, mengapa Andi menyampaikan hal itu? 


PinterPolitik.com 

Pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto mungkin akan membuat Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menjadi bintang empat nonjob

Dalam sebuah acara forum komunikasi di Kantor Lemhannas hari Rabu, 22 Februari lalu, Andi mengatakan pergantian Panglima TNI dan KSAD sebaiknya dipercepat sebelum masa kampanye Pemilu 2024. 

Secara teknis, masa kampanye pesta demokrasi mendatang akan berlangsung pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Sementara itu, baik Laksamana Yudo dan Jenderal Dudung baru akan purna tugas pada November 2023. 

Andi menyebut, idealnya, kepemimpinan di pucuk angkatan bersenjata dan matra darat harus bersiap sejak tiga bulan sebelum kampanye dimulai. Itu berkaitan dengan operasi pengamanan tahapan tersebut yang cukup krusial bagi stabilitas negara. 

Dengan kata lain, Andi menyiratkan Laksamana Yudo dan Jenderal Dudung mesti menyerahkan jabatannya pada Agustus 2023 nanti dalam keadaan masih aktif sebagai perwira tinggi TNI. 

Jika itu benar-benar terjadi, sejarah mungkin akan tercipta saat terdapat dua jenderal aktif tanpa posisi di Cilangkap. 

infografis panglima harus tni ad lagi

Pernyataan Andi sendiri bukan nihil kritik sama sekali. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Soleman Ponto bahkan menyebutnya melampaui kewenangan dan bernuansa politis. 

Selain itu, Soleman menyebut Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sudah sangat jelas mengatur batas usia pensiun dan mekanisme pergantian panglima. 

Lalu, mengapa Andi mengeluarkan pernyataan itu? Serta ke arah mana tendensi politis yang dimaksud Soleman bermuara? 

Preseden “Jenderal Pengangguran” Jokowi? 

Jika diperhatikan, pernyataan Andi dalam tupoksinya sebagai Gubernur Lemhanas agaknya cukup berani. Selain tampak melampaui kewenangan seperti yang disebutkan Soleman, “memaksa” dua jenderal bintang empat untuk meninggalkan jabatan strategis lebih awal kiranya memang akan menimbulkan impresi politis. 

Akan tetapi, keberanian Andi tampaknya tak berangkat dari ruang kosong. Terutama jika mengacu pada apa yang dianalisis Jason A. Scorza yang berjudul The Ambivalence of Political Courage. 

Di dalam publikasi tersebut, Scorza menyebutkan aspek keberanian dengan kecenderungan politis dapat merepresentasikan dua hal, yakni keberanian idealis dan pragmatis. 

Ketika merefleksikannya pada keberanian Andi, aspek pragmatis kiranya memiliki relevansi tersendiri. 

Scorza menyiratkan keberanian pragmatis oleh seorang aktor dalam politik dan pemerintahan bukan ditopang oleh nilai ideal, melainkan oleh komitmen dengan tendensi tertentu terhadap tugas resmi yang diemban. 

rk dudung kompak dicianjur ed.

Namun demikian, baik yang idealis maupun pragmatis dapat sama-sama berpijak pada responsibility atau tanggung jawab aktor tersebut sebagai justifikasi atas keberanian yang ditampilkannya. 

Baca juga :  Strategi Jokowi Tetap Berpengaruh?

Dalam konteks Andi, keberanian “politik” secara pragmatis kiranya juga melandasi pernyataannya mengenai percepatan pergantian Panglima TNI dan KSAD. 

Itu dikarenakan, dirinya tak memiliki semacam beban moral mengingat preseden sejumlah jenderal yang pernah diberhentikan lebih awal di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo menjadi salah satu sampel terakhir saat harus diberhentikan sebagai Panglima TNI pada akhir 2017 lalu. Padahal, Gatot seharusnya baru pensiun pada Maret 2018. 

Saat itu, sebagaimana dikatakan John McBeth dalam Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics, Gatot merupakan satu-satunya Panglima TNI yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politik saat masih menjabat. 

Ihwal yang disebut-sebut menjadi salah satu landasan Presiden Jokowi menggantikannya dengan Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto. 

Tak hanya Gatot, mantan Kapolri Jenderal Pol. (Purn.) Sutarman pun demikian. Bahkan, dirinya diberhentikan Presiden Jokowi di awal tahun 2015 silam, atau 10 bulan sebelum masa pensiunnya. 

Kala itu, rencana yang kemungkinan bertendensi “politis” untuk mengganti Sutarman dengan Budi Gunawan (BG) pada akhirnya harus kandas karena isu rasuah yang membayangi. 

Atas intrik itu, beberapa media sempat memberikan tajuk eksistensi Jenderal “pengangguran” atas diberhentikannya Sutarman. 

Selain keberanian pragmatis atas preseden tersebut, pernyataan Andi kiranya juga berangkat dari predikatnya yang notabene merupakan pengamat militer dan pertahanan Lab 45 sebelum menjabat Gubernur Lemhanas. 

Di titik ini, predikat dan riwayat profesional, plus politik, Andi agaknya dapat menjadi rujukan untuk menjawab latar belakang pernyataan mengenai pergantian Panglima TNI dan KSAD lebih awal. 

Tercatat, Andi adalah bagian dari tim pemenangan Jokowi pada tahun 2014 silam. Setelahnya, dia dipercaya menjadi deputi tim transisi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). 

Kiprahnya kemudian berlanjut di Istana sebagai Sekretaris Kabinet sejak 3 November 2014 hingga 12 Agustus 2015, sebelum kemudian menjadi Penasihat Senior Kepala Staf Kepresidenan pada 2016. 

Sebagai catatan khusus, Andi juga merupakan putra dari politisi kawakan partai penguasa saat ini, PDIP, yakni mendiang Mayjen TNI (Purn.) Theo Syafei. 

Mendiang Theo sendiri merupakan anggota DPR/MPR RI Fraksi ABRI pada tahun 1995 sampai 1997, yang memilih memperkuat PDIP pasca Reformasi. Dirinya kemudian berhasil menjadi anggota DPR RI masa jabatan 1 Oktober 2004 hingga 1 Oktober 2009. 

Oleh karena itu, selain keberanian, Andi mungkin saja memiliki “keleluasaan” tertentu untuk mengeluarkan statement terkait momen ideal pergantian Panglima TNI dan KSAD menyongsong Pemilu 2024. 

Lantas, jika kembali pada esensi kritik Soleman Ponto, ke arah manakah motif politik yang kemungkinan eksis di balik pernyataan Andi? 

infografis jenderal dudung kejutkan pdip

Cara Redam KSAD? 

Kiranya menarik memang untuk menelisik arah tendensi politis sebagaimana yang dikritik Soleman terhadap pernyataan Andi. 

Mungkinkah untuk “mengamankan” transisi kekuasaan tetap selaras dengan visi kepemimpinan Jokowi dan PDIP? Atau ada maksud lainnya? 

Pertama, kemunculan pernyataan Andi itu tampaknya memang mewarnai variabel pertimbangan dan momentum pergantian Panglima TNI dan KSAD. 

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sejak masih menjadi Analis Utama di Lab 45, Andi menjadi sosok yang begitu vokal menyuarakan kampanye Pemilu 2024 perlu dikawal pimpinan militer dari matra darat.  

Dalam analisisnya, pimpinan dari matra darat dianggap punya kendali teritorial lebih jauh hingga level desa untuk mengamankan pesta demokrasi. 

Ketika berbicara matra darat, sedikit berbeda dengan Andi, menurut pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, posisi KSAD Jenderal Dudung secara matematis memang harus diganti terlebih dahulu. Namun, bukan demi urgensi Pemilu 2024. 

Itu dikarenakan, ketika tiba waktunya pergantian Panglima TNI, akan ada tiga kandidat kepala staf yang layak dipertimbangkan Presiden Jokowi. Ihwal yang berangkat dari realita bahwa Laksamana Yudo dan KSAD Jenderal Dudung yang punya masa purna serupa di November 2023. 

Ditambah, pertimbangan dan relevansi kepemimpinan matra darat terbantahkan saat Marsekal Hadi Tjahjanto sukses memimpin TNI turut andil mengamankan Pemilu 2019. 

Akan tetapi, kembali, saat matra darat menjadi petunjuk analisis motif pernyataan Andi, pergantian lebih awal dan krusial “secara politis” mungkin saja tertuju pada KSAD, mengingat Panglima TNI saat ini dipegang oleh matra laut. 

Menariknya, KSAD Jenderal Dudung sempat memiliki intrik panas dengan salah satu kader PDIP, partai politik (parpol) yang secara tidak langsung memiliki benang merah dengan Andi. 

Sekadar mengingatkan, intrik itu berawal dari sentilan anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Effendi Simbolon yang mempertanyakan hubungan Jenderal Dudung dengan Panglima TNI saat itu, Jenderal Andika Perkasa, pada September 2022 lalu. 

Effendi menggunakan kata “gerombolan” yang kemudian tampak membuat Jenderal Dudung dan jajaran prajurit tersinggung. Puncaknya, dalam sebuah video, Jenderal Dudung tampak memberikan instruksi bagi prajurit untuk tak tinggal diam atas pernyataan Effendi. 

Setelahnya, sejumlah prajurit dari beberapa Kodim bergerak pasca “komando” Jenderal Dudung dengan membuat video kecaman keras kepada Effendi. 

Kendati telah usai dan berujung damai di antara kedua belah pihak, intrik itu tampaknya membuat citra PDIP secara tidak langsung menjadi tercoreng.  

Sebagaimana sejumlah jajak pendapat lembaga survei, TNI adalah institusi yang paling dipercaya oleh rakyat. Satu hal yang berbanding terbalik dengan parpol. 

Akan tetapi, korelasi secara politis itu kiranya masih dalam ruang interpretasi semata. Kembali mengutip Fahmi, tidak ada aturan yang mengatur bahwa masa akhir jabatan Panglima TNI maupun kepala staf harus sama dengan akhir masa dinas keprajuritan. 

Ditambah, pergantian KSAD sebelum masa jabatan berakhir tanpa penafsiran politis pernah terjadi saat Jenderal Budiman digantikan oleh Jenderal Gatot tahun 2014 silam. 

Kini, pertanyaan menarik selanjutnya adalah, siapa pengganti Jenderal Dudung yang kemungkinan akan menjadi Panglima TNI berikutnya? Menarik untuk dinantikan kelanjutannya. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Alasan Sebenarnya Amerika Sulit Ditaklukkan

Sudah hampir seratus tahun Amerika Serikat (AS) menjadi negara terkuat di dunia. Mengapa sangat sulit bagi negara-negara lain untuk saingi AS? 

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

More Stories

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?