Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan Jepang yang paling dulu merasakan guncangannya. Di dunia yang saling terhubung, kadang mereka yang tak menyalakan api justru paling dulu terbakar.
Parlemen Iran pada 22 Juni 2025 resmi menyatakan dukungan terhadap opsi pemblokiran Selat Hormuz – meskipun keputusan akhirnya berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran. Langkah ini dipandang luas sebagai salah satu kartu truf Iran dengan Israel, setelah serangkaian serangan udara dan rudal oleh dua pihak terus meningkat.
Selat Hormuz, jalur sempit sepanjang 33 km dan jalur transit utama antara Teluk Persia dan Samudera Hindia, menampung sekitar 18–20 juta barel minyak per hari—setara 20% konsumsi global, bersama seperlima perdagangan LNG dunia . Publik dan media menyebut ini sebagai langkah drastis Iran. Namun, ancaman blokade bukan hanya soal geopolitik—ia juga memicu ketegangan ekonomi global yang segera terbukti saat harga Brent melonjak mendekati $74 per barel (23/6/2025).
Lantas, Siapa yang sebenarnya yang paling dirugikan jika blokade ini segera dilakukan?

Siapa yang “Rungkad”?
Jika dilihat dari jalur pasokan energi global, ada tiga negara besar di Asia yang diasumsikan akan sangat terdampak bila Hormuz diblokir, yakni Tiongkok, India, dan Jepang, yang berisiko paling besar menanggung kerugian ekonomi, bahkan sosial-politik, jika jalur ini benar-benar diblokir.
Ambil contoh Tiongkok, yang saat ini merupakan pengimpor minyak terbesar di dunia. Sekitar 45% dari total impor minyak mentahnya, atau sekitar 5,5 juta barel per hari, melewati Selat Hormuz. Ketergantungan sebesar ini menjadikan posisi Beijing sangat rentan terhadap setiap ketegangan di kawasan. Gangguan sekecil apapun bisa menyebabkan lonjakan harga minyak global, yang langsung menekan biaya produksi dalam negeri dan memperlemah daya saing ekspor. Dengan ekonomi yang sedang bergulat menghadapi perlambatan, ini bukan skenario yang bisa dianggap enteng oleh pemerintah Tiongkok.
Sementara itu, India berada dalam posisi yang diasumsikan bahkan lebih sulit. Sekitar 80% dari kebutuhan minyaknya bergantung pada impor, dan sekitar 60% dari total impor itu berasal dari Teluk—semuanya melewati Hormuz. India memang telah mengembangkan cadangan strategis, tapi kapasitasnya hanya cukup untuk sekitar 9–10 hari konsumsi. Dalam konteks ekonomi domestik yang tengah berakselerasi, lonjakan harga minyak bisa dengan cepat memicu inflasi, memperlebar defisit perdagangan, dan memperburuk tekanan fiskal. Bagi India, ini bukan sekadar urusan energi—tapi bisa jadi krisis nasional.
Kemudian ada Jepang, yang juga sangat tergantung pada impor energi. Sekitar 80% impor minyak mentah Jepang berasal dari Timur Tengah, hampir seluruhnya melalui Selat Hormuz. Jepang memang telah berupaya diversifikasi lewat LNG dan energi terbarukan, namun ketergantungan historis mereka pada Saudi Arabia, UAE, dan Kuwait masih tinggi. Penutupan Hormuz akan memicu krisis pasokan dan membuat Jepang menghadapi lonjakan harga energi di tengah pemulihan ekonomi yang rapuh.
Namun bukan berarti kawasan lain aman. Eropa, misalnya, meski sudah mulai mengurangi ketergantungan terhadap energi dari Teluk—terutama setelah krisis Rusia-Ukraina—masih tetap mengimpor sekitar 10–15% kebutuhan minyak dan gasnya dari kawasan Teluk. Negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan Prancis masih sangat tergantung pada pasokan LNG dari Qatar yang melintasi Hormuz. Bagi mereka, dampak penutupan Hormuz bukan hanya pada harga energi, tapi juga pada stabilitas sosial dan politik domestik, terutama menjelang musim dingin.
Singkatnya, penutupan Selat Hormuz bukan hanya soal ancaman regional. Ini adalah manuver yang bisa memukul perekonomian Asia secara langsung dan cepat, serta menyeret Eropa ke dalam krisis energi lanjutan. Ketika rantai pasokan global terjalin begitu erat, kadang yang paling dirugikan justru mereka yang tak ada di medan konflik—tapi yang menggantungkan kesehariannya pada laut sempit di perbatasan Iran dan Oman.
Lantas, akan seperti apa dinamika geopolitik ke depannya? Akankah Hormuz benar-benar ditutup oleh Iran?

Akankah Hormuz Justru Jadi Pemicu Damai?
Ironisnya, krisis selalu punya dua wajah: kehancuran dan kemungkinan. Dan dalam kasus Selat Hormuz, kemungkinan itu adalah harapan baru bagi kesadaran bersama—bahwa dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, stabilitas satu kawasan bisa jadi penentu kelangsungan hidup kawasan lain.
Dunia kini tidak lagi hidup dalam tatanan geopolitik yang kaku seperti era Perang Dingin. Di masa lalu, blok-blok besar bisa memilih untuk saling memboikot dan memisahkan diri. Namun kini, sebagaimana ditulis oleh ahli geopolitik asal Prancis, Yves Lacoste, bahwa “la géographie, ça sert, d’abord, à faire la guerre”—geografi pada awalnya memang digunakan untuk perang, tapi di era modern, justru geografi dan konektivitas global yang bisa menjadi penghalang perang. Dunia telah menjadi ruang yang terlalu padat dan terlalu terhubung untuk bisa dikuasai sepihak tanpa konsekuensi luas.
Kita sudah melihat dampak konflik Rusia–Ukraina yang mengguncang pasokan gandum hingga ke Afrika dan Asia. Kini, bayangan serupa muncul di Selat Hormuz, tetapi dengan skala yang lebih besar dan cakupan yang lebih sensitif: energi. Negara-negara yang tidak ikut memprovokasi atau membalas, justru berisiko menjadi korban paling awal dan paling serius.
Menariknya, mungkin justru ancaman atas Selat Hormuz ini akan mendorong diplomasi lintas blok, memaksa rival-rival global untuk berbicara satu meja. Karena jika tidak, konsekuensinya bukan hanya hilangnya akses energi—melainkan rusaknya fondasi ekonomi global yang bahkan negara paling netral pun takkan mampu hindari.
Tentu, semua ini masih asumsi. Bisa saja situasi meruncing dan dunia kembali pada politik blok yang penuh ketegangan. Tapi dalam dunia di mana satu selat sempit bisa mengguncang benua, opsi terbaik mungkin bukan lagi siapa yang menang, melainkan siapa yang mampu menahan diri dan membuka diri untuk satu sama lain. (D74)