Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Salah satu tren unpopular opinion yang menarik di X terkait politik adalah impresi positif terhadap Bahlil Lahadalia yang menjelma menjadi politisi kawakan hingga sukses mengemban tugas sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Bagai jarum di tumpukan jerami kritik, tentu narasi itu tak muncul dari ruang hampa.
Tren unpopular opinion di X memunculkan beberapa narasi menarik. Salah satunya, narasi positif di tengah tumpukan jerami kritisi terhadap sosok Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Terlebih, saat ditelaah dengan pisau bedah sosok “korea”.
Dalam perbincangan politik kontemporer, istilah “korea” yang dipopulerkan oleh politisi senior PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, merujuk pada figur-figur yang merintis karier politik dari bawah, bukan dari elite, bukan dari keturunan politikus, dan bukan pula dari lingkaran kekuasaan lama.
Menariknya, “korea” adalah simbol meritokrasi dalam politik, sesuatu yang langka dalam kultur oligarkis dan patron-klien di banyak partai besar Indonesia.
Terkhusus di Partai Golkar, untuk mencapai posisi sebagai ketum bukanlah prestasi sembarangan. Sebagaimana jamak diketahui, Golkar adalah partai yang dibentuk oleh dan untuk kekuasaan sejak era Orde Baru. Ia hidup dari patronase, budaya partai yang khas, dan loyalitas.
Dengan karakteristik itu, naiknya Bahlil ke tampuk tertinggi kepemimpinan Golkar adalah anomali yang menarik, sekaligus indikator perubahan dalam arsitektur kekuasaan politik Indonesia.
Kisah “Menembus” Hierarki Golkar
Untuk memahami keberhasilan Bahlil, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu kerangka teoretis rekrutmen elite dalam ilmu politik. Dalam perspektif klasik dan mendasar seperti yang dijelaskan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, elite dipilih berdasarkan kemampuan mengakses dan mengelola kekuasaan, dan dalam sistem tertutup seperti partai yang sangat hirarkis, akses ini dibatasi oleh afiliasi sosial dan jaringan kekuasaan lama.
Namun, dalam kasus Bahlil, politik Indonesia menyaksikan bagaimana seorang yang tidak berasal dari keluarga elite atau trah politik dapat melampaui rintangan-rintangan struktural tersebut.
Dalam hal ini, konsep strategic brokerage agaknya bisa menjelaskan peran Bahlil sebagai “jembatan” antara dunia bisnis, birokrasi, dan politik. Selama menjabat sebagai Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Menteri Investasi, Bahlil dikenal sebagai figur yang fleksibel, komunikatif, dan mampu menjembatani kepentingan pengusaha besar, UMKM, hingga elite politik.
Selain itu, karakteristik personal Bahlil yang egaliter dan jenaka membuatnya menonjol dalam lanskap politik yang cenderung kaku dan elitis. Humor dan pendekatan khas yang digunakan Bahlil pun tampak bisa dijelaskan melalui konsep political performativity, bahwa seorang politisi bukan sekadar memainkan peran institusional, tetapi juga memproduksi dan mereproduksi kekuasaan melalui gaya, gestur, dan komunikasi simbolik.
Satu hal yang menjadi catatan paling penting, ia mampu mendapatkan restu dari para senior di Golkar, suatu capaian yang sulit dicapai bahkan oleh tokoh-tokoh dengan sumber daya dan latar belakang elite sekalipun.
Restu ini menandakan bahwa Bahlil tidak hanya dipandang sebagai politisi yang loyal, tetapi juga sebagai figura transaksional dan representasional karena dianggap mampu menjembatani berbagai kepentingan internal partai, serta memproyeksikan wajah Golkar yang lebih inklusif dan nasional.
Partai Golkar yang selama ini didominasi oleh tokoh-tokoh dari Pulau Jawa, kini memiliki ketua umum dari Indonesia Timur, dari latar belakang Islam non-Jawa, dan dengan rekam jejak sebagai pengusaha muda.
Dalam konteks ini, teori representasi deskriptif dan substantif dari Pitkin kiranya dapat menjelaskan lebih spesifik, di mana Bahlil tidak hanya merepresentasikan secara simbolik kelompok-kelompok marjinal (deskriptif), tetapi juga berpotensi memperjuangkan kepentingan mereka secara substantif di dalam lembaga politik.

Bahlil dan Konvergensi Kekuasaan Baru
Naiknya Bahlil ke tampuk Golkar juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional, khususnya menjelang konsolidasi pemerintahan Prabowo Subianto. Dalam bingkai realignment politik, hal ini dapat terjadi saat sistem partai dan distribusi kekuasaan mengalami pergeseran besar pasca pemilu.
Dalam kerangka ini, Partai Golkar memainkan peran sentral sebagai vehicle of power yang lentur, beradaptasi dengan cepat terhadap arus kekuasaan, dari Soeharto ke Habibie, dari SBY ke Joko Widodo, dan kini ke Prabowo.
Di samping faktor eksternal yang jamak dikaitkan dengan Jokowi namun sukar dibuktikan secara konkret, terpilihnya Bahlil agaknya bisa dibaca sebagai upaya Partai Golkar untuk tetap relevan dan terlibat aktif dalam pemerintahan mendatang.
Namun, sebagai sosok yang dianggap loyalis Presiden ke-7 RI yang kini dipercaya Presiden Prabowo sebagai menteri strategis, Bahlil kiranya adalah figur kompromi yang paling tepat.
Lebih dari itu, posisi Bahlil sebagai Menteri ESDM bukan jabatan sembarangan. Ia menguasai sektor vital dengan nilai ekonomi tinggi, dan sekaligus penuh dengan friksi kepentingan: tambang, energi baru dan terbarukan, hingga transisi energi nasional. Dengan kontrol atas ESDM dan jabatan sebagai Ketum Golkar, Bahlil berada pada posisi konvergensi antara kekuasaan negara dan kekuatan partai—sebuah posisi strategis yang jarang dimiliki oleh satu orang dalam politik Indonesia kontemporer.
Dalam perspektif neo-institusionalisme, posisi Bahlil menunjukkan bahwa institusi formal dan informaldapat saling memperkuat ketika dijalankan oleh aktor yang tepat dalam konteks politik yang sedang bertransformasi.
Bahlil menjadi figur perantara antara oligarki ekonomi, partai politik, dan kepentingan negara, mengisi kekosongan figur yang dapat menjahit berbagai simpul kekuasaan di era transisi pasca Jokowi.
Bahlil Lahadalia kiranya adalah anomali sekaligus pertanda zaman. Ia memulai dari titik nadir, berjualan kue, menjadi kernet dan sopir angkot, hingga membangun bisnis serta jejaringnya, masuk ke pemerintahan, dan kini memimpin partai yang dikenal sangat feodal dalam kultur organisasinya.
Dalam lanskap politik yang sering kali menyisihkan mereka yang tak punya trah atau kapital politik, kisah Bahlil adalah pengecualian yang tampak signifikan.
Sebagai wadah aspirasi rakyat, sikap dan pemikiran kritis terhadap bagaimana kekuasaan dikelola dan ke mana arah Partai Golkar di bawah kepemimpinan Bahlil kiranya tetap harus dijaga.
Apalagi, struktur kepengurusan Partai Golkar kini telah mengalami penyegaran dengan ruang partisipasi bagi tokoh muda dan keterwakilan perempuan di DPP kian terlihat.
Dan setidaknya, dalam diri sosok Bahlil terkandung kemungkinan hadirnya elite baru yang tumbuh bukan karena warisan, melainkan karena kemampuan menjalin aliansi, membaca momentum, dan membangun narasi diri yang kuat di tengah turbulensi politik.
Apakah ini pertanda bahwa meritokrasi mulai menemukan tempat dalam politik Indonesia? Mungkin belum sepenuhnya mengingat tak ada variabel tunggal seperti interpretasi di atas.
Tetapi, dengan naiknya “korea” ke posisi puncak, celah kecil di tengah dinding kokoh patronase politik kiranya eksis. Dan celah itu, andai terus diperlebar, mungkin bisa menjadi jalan baru bagi regenerasi politik Indonesia yang lebih inklusif dan dinamis. (J61)