HomeNalar PolitikIde Bahlil Tentang Pilkada Keliru?

Ide Bahlil Tentang Pilkada Keliru?

Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia memberi usulan agar kepala daerah tidak perlu dipilih secara langsung oleh rakyat. Apakah usulan ini dapat diimplementasikan sesuai dengan hukum tata negara di Indonesia?


PinterPolitik.com

Menjelang Pemilu 2024, isu terkait penundaan Pemilu semakin hangat. Isu ini dibarengi dengan munculnya kembali narasi kebijakan pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini diusulkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia dimana dia menilai bahwa DPR RI itu sendiri sudah merupakan wakil rakyat.

Selain itu, Bahlil juga menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah melalui badan legislatif juga merupakan wujud demokrasi. Usulan ini Ia ajukan dengan alasan tingginya dana politik untuk maju menjadi kepala daerah.

Pada akhir pernyataan, Bahlil menyatakan bahwa Ia menyerahkan penundaan maupun peniadaan pemilu kepada publik. Dia menyatakan bahwa opsi itu dapat difasilitasi dalam demokrasi selama sesuai dengan konstitusi.

Sebenarnya wacana peniadaan pemilihan langsung bagi kepala daerah sudah pernah dilontarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya saja Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian yang pernah mengusulkan untuk memilih kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Ia pun memiliki dalih yang sama yaitu besarnya biaya politik yang perlu ditanggung calon kepala daerah. Lantas, dalih ini ditentang oleh berbagai pengamat pemilu sebagai suatu perbuatan yang berpotensi menghilangkan hak warga negara, tidak transparan, dan memicu konflik.

Terlepas dari berbagai pandangan pro dan kontra, apakah pemilihan kepala daerah oleh lembaga legislatif bisa sesuai dengan pedoman hukum tata negara di Indonesia?

Mahfud: Demokrasi Indonesia Tak Sehat  

Mustahil Secara Konstitusi?

Wujud demokrasi dapat diimplementasikan secara beragam, termasuk pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat maupun secara tidak langsung oleh DPR atau DPRD. Kedua gagasan tersebut sama-sama mengandung nilai demokrasi sehingga secara teknis tidak menyalahi hakikat demokrasi itu sendiri.

Namun, jika menelaah lebih dalam, Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan dengan gamblang bahwa kepala daerah hanya bisa dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Pemilihan calon kepala daerah pun diajukan oleh partai politik maupun gabungan partai politik.

Dari pasal ini saja, kita dapat mengartikan bahwa usulan pemilihan kepala daerah oleh lembaga legislatif (DPR maupun DPRD) tidak sesuai dengan konstitusi negara.

Selain itu, jika memang ingin mengalihkan sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPR maupun DPRD, maka perlu diadakan amandemen UUD 1945. Dalam hal ini, oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.

Adapun bunyi Ketetapan MPR No. 1/MPR/1978 memberi kesan bahwa MPR tidak berhak untuk mengubah UUD 1945. Ketetapan itu berbunyi bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan. Adapun jika diperlukan, MPR akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen.

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Bunyi aturan ini tidak serta-merta membuat MPR tidak berkuasa untuk melakukan amandemen, namun aturan kewenangan MPR dan proses amandemen UUD 1945 menjadi lebih rigid atau kaku, sehingga sangat sulit untuk melakukan amandemen.

Ini mengartikan bahwa kekuasaan terbesar untuk membuat aturan agar kepala daerah dipilih DPR, tetap berada pada MPR.

Terkait ini, kita juga tidak boleh lupakan para aktor yang berada di dalam MPR.

Jokowi: Usulan Cawapres dari Siapa?

“Tangan Partai”, Super Power Konstitusi?

Mari merujuk kembali pada isi konstitusi negara. Pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan DPRD.

Selain itu, hal ihwal amandemen diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa usulan amandemen UUD 1945 dapat diagendakan sidang MPR, namun jika sudah ada pengajuan oleh sekurang-kurangnya ⅓ dari jumlah anggota.

Di samping itu, sidang tersebut perlu dihadiri minimal ⅔ dari jumlah anggota MPR. Pada akhirnya, putusan amandemen UUD 1945 memerlukan minimal 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Adapun terkait pasal yang diusulkan untuk amandemen perlu dikaji terlebih dahulu oleh Panitia ad hoc. Jika sudah memenuhi syarat, dapat diproses lebih lanjut. Dengan demikian, jika melihat proses amandemen UUD 1945 itu sendiri terlihat bahwa kuasa MPR sangat besar untuk mengubah konstitusi negara.

Konstitusi negara yang dimaksud bahkan berada pada tingkat pertama dalam hirarki hukum negara. Yang menariknya, aktor yang paling berperan dalam amandemen perubahan UUD 1945 tidak lain adalah para anggota DPR dan DPRD, yang dipilih menjadi anggota MPR. Mereka semua dipilih secara langsung oleh rakyat dan dicalonkan melalui partai politik.

Nah, ketika sudah menyangkut partai politik, maka kepentingan suatu anggota akan bergantung kepada kepentingan partai politiknya. Karena itu, mereka dapat disebut sebagai “tangan panjang” partai. Ini semakin menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan proses yang panjang dan kompleks.

Selain mempertimbangkan kemungkinan penerbitan aturan pemilihan kepala daerah oleh DPR, kita juga perlu melihat dari segi relevansinya. 

Lantas, apakah implementasi pemilihan kepala daerah secara tidak langsung masih relevan di era reformasi?

Sejarah Berpihak Pada Pemilu Langsung?

Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dianalisis menggunakan teori comparative historical analysis (CHA). Teori ini mencakup berbagai metode dan teknik. Salah satu tokoh yang memaparkan teori ini yaitu Charles Ragin, dimana dia membagi dua jenis utama studi perbandingan. Kedua jenis studi tersebut antara lain case-oriented comparative research dan variable-oriented comparative research.

Terkhusus untuk melihat relevansi pemilihan kepala daerah secara tidak langsung akan sesuai dengan teori case-oriented comparative. Teori ini mencoba untuk mengeksplorasi berbagai kesempatan dari peristiwa tertentu melalui kesamaan dan penyebab mendasar yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Dengan demikian, suatu kebijakan pada waktu tertentu belum tentu bisa diimplementasikan pada waktu yang mendatang.

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Sebenarnya, secara historis pilkada secara tidak langsung pernah diimplementasikan pada masa penjajahan oleh Pemerintah Kolonial untuk wilayah kabupaten dan kecamatan. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pasca kemerdekaan, kepala daerah dipilih oleh presiden dan dicalonkan oleh DPRD.

Khususnya untuk kepala daerah kabupaten dipilih oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan dicalonkan oleh DPRD Desa (kota kecil). Kepala daerah desa dipilih oleh Kepala Daerah Provinsi dan dicalonkan oleh DPRD Desa.

Pada masa kolonial Belanda semua kepala daerah ditunjuk langsung. Kepala daerah istimewa memiliki karakteristik tersendiri yaitu diangkat oleh Presiden dan dipilih oleh keturunan keluarga (kesultanan) sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. 

Akhirnya, pada tahun 2004 hingga kini pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada tahun ini juga desentralisasi mulai berlaku melalui Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari tiap-tiap pergantian kebijakan, terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihannya tentu menunjukkan derajat rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih meluas, dan terciptanya hubungan yang kuat antara kepala daerah dengan masyarakat.

Pemilihan langsung juga dapat menimbulkan checks and balances. Dengan demikian, proses ini akan menciptakan pengakuan yang kuat dari rakyat sehingga dapat melancarkan implementasi kebijakan.

Di samping itu, pilkada secara langsung juga memiliki kekurangan antara lain menjadi celah untuk menimbulkan konflik Pemilu yang tidak adil dan jujur, isu yang berhubungan dengan diskriminasi etnis, biaya politik yang besar, dan muncul anggapan kalau menjadi kepala daerah harus bisa ‘profit’ sehingga banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. 

Berdasarkan pemaparan implementasi pemilihan langsung secara historis beserta kelemahan dan kelebihannya, kita juga perlu melihat dinamika perubahan era dari sebelum reformasi.

Era reformasi lahir dari tuntutan-tuntutan masa Orde Baru yang dinilai sangat merugikan rakyat. Bahkan korupsi pada masa itu dinilai luar biasa. Layaknya sebuah kerajaan, presiden berusaha untuk mempertahankan jabatannya lewat penguatan regulasi dan kekuatan partai di badan legislatif.

Dengan demikian, sejarah telah membuktikan bahwa pilkada tidak langsung sesungguhnya berpotensi memunculkan adanya ketimpangan peran legislatif dan eksekutif sehingga dapat menjadi celah untuk menimbulkan korupsi secara besar-besaran.

Pada akhirnya, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sejauh ini menjadi pilihan yang tepat mengingat masih banyaknya anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi. Jika anggota legislatif diberikan kuasa untuk memilih kepala daerah, maka akan timbul konflik kepentingan yang lebih kompleks. Bagaimana pun, “tangan partai” akan membawa kepentingan partainya masing-masing.

Kesimpulan ini membuktikan bahwa pernyataan Bahlil terkait kepala daerah yang lebih baik dipilih DPR merupakan hal yang terlalu riskan secara politik, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa usulan tersebut dapat diberlakukan melalui proses amandemen UUD 1945. (Z81)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Paspor Cepat Hanya Bisnis Imigrasi?

Permohonan paspor sehari jadi menuai respons negatif di jagat sosial media. Biaya yang dibutuhkan untuk mengakses pelayanan ini dinilai jauh lebih mahal ketimbang pelayanan...

Zelensky “Sulut” Perang di Asia?

Dampak perang Ukraina-Rusia mulai menyulut ketegangan di kawasan Asia, terutama dalam aspek pertahanan. Mampukah perang Ukraina-Rusia  memicu konflik di Asia? PinterPolitik.com Perang Ukraina-Rusia tampaknya belum memunculkan...

Bakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

Aksi pembakaran Al-Quran menuai berbagai sorotan, terutama kaum muslim di dunia. Kendati demikian, pemerintah Swedia menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun secara...