HomeNalar PolitikHaus Rebutan Tim Sukses Jokowi

Haus Rebutan Tim Sukses Jokowi

Parpol-parpol tampak bernafsu memperebutkan tempat di tim sukses Jokowi.


PinterPolitik.com

[dropcap]J[/dropcap]ika ditanya siapa yang mau sukses, tentu semua orang akan menjawab mau. Akan tetapi, jika ditanya siapa yang mau jadi tim sukses, rasanya tidak semua akan menjawab ya. Apalagi, jika tim sukses yang dimaksud adalah tim sukses yang perannya berat, seperti tim pemenangan Pemilu kandidat tertentu.

Nyatanya, dalam kasus tim sukses Jokowi, terlihat bahwa pos-pos ini menjadi rebutan. Sejumlah partai seperti berlomba-lomba meloloskan kadernya untuk menjadi prajurit utama pemenangan Jokowi. Sejumlah nama tenar diusulkan untuk mengisi posisi-posisi penting di tim itu.

Sejauh ini, memang belum diumumkan secara resmi komposisi full team dari tim sukses Jokowi. Meski begitu, formula dari tim ini dikabarkan sudah mulai terbentuk. Dikabarkan, tim ini akan banyak diisi oleh kader-kader sembilan parpol pendukung Jokowi.

Jika yang diperebutkan parpol adalah kursi menteri, hal itu tentu tidak mengherankan. Akan tetapi, perlombaan memperebutkan posisi di tim sukses cenderung tidak banyak terjadi. Lalu, apa yang menyebabkan parpol-parpol ini mau berebut posisi di tim inti pemenangan Jokowi?

Tim Sukses, Bukan Tim Sembarangan

Membentuk tim yang tepat dapat menjadi kunci untuk mengantarkan seorang kandidat menuju kursi yang diinginkan. Meski terkesan klise, keberadaan tim sukses tetap merupakan salah satu hal yang penting dalam menyukseskan kampanye seorang kandidat.

Pentingnya tim sukses ini ditunjukkan misalnya oleh bagaimana Presiden AS Barack Obama mempersiapkan timnya. Presiden kulit hitam pertama AS ini memilih nama-nama dengan kredensial mentereng untuk menjadi ujung tombak utama kampanyenya.

Untuk pucuk pimpinan sebagai manajer kampanye misalnya, Obama memilih mengisinya dengan seorang ahli strategi media, David Plouffe dari AKP Media. Terdapat pula nama David Axelrod, kolega Plouffe di AKP Media yang kemudian menjadi salah satu orang kepercayaan Obama. Selain kedua nama itu, ada banyak nama lain di tim inti pemenangan Obama dengan latar belakang ahli strategi politik.

Obama tampak sangat serius memilih timnya, sehingga tidak ada sosok sembarangan terutama di inner circle atau lingkar dalam tim suksesnya. Nama-nama tersebut belakangan diketahui memang terafiliasi dengan Partai Demokrat, akan tetapi keberadaan mereka tidak semata-mata bentuk dari bagi-bagi posisi untuk petinggi-petinggi partai.

Hal yang berbeda nampaknya akan terjadi pada tim sukses Jokowi. Sebagaimana telah dibicarakan partai-partai pendukungnya, tim sukses Jokowi kemungkinan besar akan bernama Tim 27. Nama ini diambil untuk menggambarkan representasi tiga orang dari total sembilan partai.

Baca juga :  Puan yang Nggak Direstui

Ada beberapa posisi yang bisa diberikan kepada partai. Sejauh ini, yang sudah terisi adalah posisi sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) yang diisi oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Selain itu, sekjen-sekjen partai lain juga telah mengisi posisi-posisi lain yaitu untuk jabatan wakil ketua dan wakil sekretaris TKN.

Hingga saat ini, posisi ketua tim masih belum terisi. Parpol-parpol anggota koalisi tampak berlomba untuk menjadi panglima tim pemenenangan Jokowi. Mereka saling berebut dan mengajukan nama untuk mendapat posisi strategis di tim pemenangan tersebut.

Sulit untuk tidak melihat bahwa partai-partai ini hanya mengincar insentif tertentu dengan terlibat dalam tim sukses Jokowi. Hal ini terutama jika dibandingkan dengan tim sukses Obama, pengisinya cenderung petinggi partai saja, alih-alih orang-orang yang benar memiliki keahlian.

tim sukses Jokowi

Kondisi itu juga cenderung kontras jika dibandingkan dengan kampanye Jokowi di Pilpres 2014. Saat itu tampak bahwa kalangan akademisi non-parpol justru yang banyak mengisi posisi penting di tim sukses kampanye Jokowi. Akademisi-akademisi dan kaum cerdik-cendikia seperti Andrinof Chaniago, Andi Widjajanto, Anies Baswedan, atau  Pratikno memegang peranan penting dalam kampanye Jokowi di tahun 2014.

Komposisi tim semacam itu menjadikan Jokowi sebagai pembeda dalam gelaran pesta demokrasi tahun 2014. Jokowi dianggap sebagai tokoh yang bisa membawa perubahan ditandai dengan adanya tokoh-tokoh akademisi tersebut.

Visi dan misi Jokowi di tahun 2014 yang diarsiteki tokoh-tokoh akademisi berhasil menarik golongan pemilih rasional yang mengedepankan program ketimbang figur. Kehadiran tim yang tepat di sisi Jokowi ini membuat program-programnya terdengar amat menggoda bagi banyak orang. Jokowi kemudian didukung oleh banyak lapisan masyarakat akibat visi yang dibuat oleh tim sukses tersebut. Golongan aktivis yang biasanya golput akhirnya mau ke bilik suara karena merasa Jokowi membawa harapan untuk perubahan.

Kini, dengan posisi tim sukses yang berpotensi diisi tokoh-tokoh parpol, harapan perubahan itu menjadi sirna. Jokowi saat ini tidak jauh berbeda dengan politisi-politisi pada umumnya. Nuansa parpol lebih kentara ketimbang nuansa perubahan.

Mencari Insentif yang Tepat

Parpol-parpol di lingkar Jokowi mengakui bahwa rebutan posisi tim sukses ini memang ada. Hal ini terkait dengan adanya insentif yang mungkin mereka dapatkan jika mendapat posisi penting di tim utama pemenangan Jokowi.

Salah satu insentif yang diincar adalah adanya coattail effect atau efek ekor jas seperti yang dikemukakan oleh Thomas Poguntke dan Paul Webb. Masing-masing partai berharap bisa mendapatkan efek peningkatan suara partai jika diberi posisi strategis di tim sukses Jokowi, apalagi jika posisinya sekelas ketua tim sukses.

Baca juga :  Meraba Politik Luar Negeri Prabowo Subianto 

Selain insentif elektoral, posisi dan peran penting di tim sukses juga dapat memberikan keuntungan lain bagi parpol-parpol yang terlibat. Proses bagi-bagi kekuasaan bisa menjadi keuntungan lain yang diincar parpol-parpol tersebut.

tim sukses Jokowi

Jika diperhatikan, komposisi partai yang begitu banyak dalam tim Jokowi dapat menggambarkan kondisi kartelisasi partai. Sebagai partai-partai yang berada di balik layar pemenangan Jokowi, mereka memiliki posisi tawar yang cukup untuk meminta power sharing kepada Jokowi saat terpilih.

Menurut Dan Slater dari University of Chicago, kartelisasi partai adalah suatu kondisi di mana koalisi hampir semua partai yang berbagi kekuatan eksekutif tanpa memperdulikan afiliasi politiknya.  Kartel partai seperti ini umumnya melakukan bagi-bagi kekuasaan terlepas dari apapun sikap politik atau ideologi mereka.

Lazimnya, bagi-bagi kekuasaan akan berjalan dengan bagi-bagi kursi menteri. Nyaris semua parpol anggota koalisi umumnya akan mendapatkan kursi di kabinet, proporsional dengan perolehan kursi mereka masing-masing.

Meski demikian, kursi menteri adalah jabatan yang terbatas. Dengan koalisi yang demikian besar, sulit bagi semua anggota tim sukses untuk menjadi menteri. Oleh karena itu, diperlukan pos-pos baru bagi tim-tim pemenangan Jokowi tersebut.

Jabatan kursi komisaris BUMN boleh jadi adalah posisi empuk yang dapat menjadi sarana bagi-bagi kue kekuasaan. Hal ini telah dibuktikan oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Setelah ia resmi menjabat, ia membagi berbagai kursi komisaris di banyak perusahaan pelat merah kepada tim suksesnya.

Tercatat, ada 21 relawan dan tim sukses yang diangkat menjadi komisaris BUMN di era Jokowi. Lima di antaranya diketahui adalah kader-kader atau setidaknya terafiliasi dengan parpol pendukung Jokowi. Angka itu bisa saja bertambah pasca Pilpres 2019 seiring dengan hasrat parpol untuk mengisi kursi-kursi di tim sukses Jokowi.

Boleh jadi, inilah salah satu penyebab mengapa banyak anggota partai yang berlomba-lomba menjadi anggota tim sukses Jokowi. Tidak hanya jabatan menteri, jabatan komisaris BUMN bisa jadi pilihan yang menarik bagi mereka yang memiliki hasrat akan kuasa dan tentu saja uang.

Berdasarkan kondisi tersebut, sangat wajar jika parpol-parpol berupaya keras untuk mendapat posisi strategis di tim pemenangan Jokowi. Masalahnya kemudian adalah, apakah Jokowi mau merelakan citranya sebagai sosok perubahan yang didukung akademisi mumpuni menjadi politisi biasa yang disokong elite-elite parpol? Jika ia memilih jadi politisi seutuhnya, bukan tidak mungkin ia ditinggalkan pemilih yang berharap padanya di tahun 2014 lalu. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...