Peringatan Hari Buruh beberapa waktu lalu diwarnai dengan aksi kelompok berbaju hitam yang mencuri perhatian. Aparat pun melakukan tindakan khusus dan memiliki label tersendiri kepada kelompok ini.
Pinterpolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]da yang tak biasa dari peringatan Hari Buruh (May Day) 2019 beberapa waktu lalu. Kala itu, ada sekelompok orang berpakaian hitam-hitam yang ikut turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Meski demikian, kelompok ini menjalankan aksi mereka dengan melakukan tindakan yang dianggap mengarah kepada vandalisme.
Polisi menyebut gerakan ini sebagai gerakan anarko sindikalisme. Untuk menindak kelompok ini, polisi menggunakan cara yang tidak lazim saat menghadapi massa, terutama di Bandung, Jawa Barat. Para peserta berbaju hitam itu ditangkap untuk kemudian dilucuti pakaiannya dan juga dicukur plontos kepalanya.
Tindakan polisi ini menuai kritik tajam dari sejumlah pegiat HAM. Kelompok-kelompok seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kontras, dan ICJR mempertanyakan langkah kepolisian yang dianggap tak sesuai dengan prosedur.
Merujuk pada pendapat pegiat HAM tersebut, terlihat bahwa ada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian saat peringatan Hari Buruh beberapa waktu lalu. Yang jadi perkara adalah, tindakan tersebut diambil tatkala pemerintahan tengah disorot komitmennya terhadap demokrasi dan juga ancaman people power. Lalu, apa yang mungkin terjadi akibat kekerasan tersebut?
Fenomena Internasional
Gerakan anarko sindikalisme boleh jadi belum terlalu populer di Indonesia sebelum aksi di May Day beberapa waktu lalu. Meski demikian, gerakan ini disinyalir sebenarnya sudah memiliki banyak kelompok yang tersebar di beberapa kota di negeri ini.
Menurut Vadim Damier dalam Anarcho-syndicalism in 20th Century, anarko sindikalisme merupakan serikat pekerja – dalam bahasa Prancis disebut syndicat – revolusioner yang bertindak untuk menciptakan masyarakat yang tanpa negara (anarki) dan dikelola oleh sendiri.
Paham tersebut meyakini bahwa serikat pekerja adalah kekuatan yang potensial untuk mewujudkan revolusi sosial yang mampu menggantikan kapitalisme dan negara dengan demokrasi langsung dari pekerja. Oleh karena itu, sebagian besar teori anarko-sindikalisme memang bertumpu pada gerakan pekerja.
Identifikasi dengan gerakan buruh inilah yang membuat gerakan tersebut kerap ambil bagian dalam perayaan hari buruh. Di Indonesia misalnya, kiprah mereka di tahun ini sebenarnya bukan yang pertama karena mereka diketahui pernah ikut ambil bagian di tahun sebelumnya.
Anarchist graffiti in #Bandung, #Indonesia on #MayDay2019 pic.twitter.com/15JHbhhZDS
— Anarchists Worldwide (@AnarchistsWW) May 1, 2019
Sebenarnya, gerakan tersebut merupakan sebuah fenomena internasional, alih-alih bersifat lokal saja. Sebagai sebuah identitas yang dikenal di masyarakat dunia, kelompok ini dikenal dengan bendera atau logo dengan warna hitam dan juga merah.
Meski merupakan gerakan yang amat terkait dengan serikat buruh, dalam praktiknya di Indonesia, gerakan ini nyatanya tak selalu sejalan dengan serikat buruh yang ada di negeri ini. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) misalnya justru meminta kelompok ini ditindak tegas, alih-alih satu suara dan bersimpati kepada mereka.
Secara spesifik, gerakan ini melakukan taktik tersendiri yang kerap disebut sebagai Black Bloc. Taktik ini kerap diidentikkan dengan tindak kekerasan atau vandalisme untuk menarik perhatian. Dalam banyak kasus, taktik ini memang kerap diidentikkan dengan kelompok-kelompok anarkis. Menurut Jeffrey S. Juris, tindakan ini disebut sebagai performative violence atau kekerasan performatif yang dilakukan untuk menarik perhatian media.
Tindakan aparat keamanan pada kelompok hitam-hitam di peringatan hari buruh dapat menjadi preseden buruk. Share on XGerakan seperti itu sangat identik dengan pakaian serba hitam saat menunjukkan diri di depan publik. Ada beberapa momen di mana gerakan ini mendapatkan sorotan luas, salah satunya adalah ketika pertemuan G20 digelar di tahun 2017 di Hamburg, Jerman.
Dalam konteks Indonesia, taktik Black Bloc – sebutan untuk aksi protes dengan menggunakan atribut berwarna hitam – boleh jadi dapat dikaitkan dengan kelompok hitam-hitam di Bandung. Pada peringatan hari buruh lalu, mereka misalnya diduga melakukan tindakan vandalisme dengan mencoret-coret fasilitas umum di kota tersebut.
Preseden Tidak Aman
Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, mudah bagi banyak orang untuk menganggap bahwa gerakan anarko sindikalisme pada May Day beberapa waktu lalu dapat dianggap sebagai sebuah tindakan kekerasan atau vandalisme. Secara spesifik, mudah pula bagi orang merasa kesal pada mereka dan menganggap tindakan polisi sudah sangat tepat.
Meski demikian, bagi beberapa orang, tindakan kepolisian dalam menangani kelompok ini dianggap terlalu berlebihan. Mereka menganggap bahwa tindakan kepolisian ini tak sesuai prosedur yang seharusnya dilalui korps tersebut.
Secara prosedur, banyak yang menganggap aparat bertindak terlalu jauh dengan menelanjangi dan menggunduli para peserta aksi tersebut. Idealnya, aparat keamanan menjalankan proses hukum yang berlaku sambil juga menjalankan asas praduga tak bersalah.
Selain itu, tampak pemerintah seperti tengah membuat kembali musuh ideologi mereka dalam bentuk kelompok anarko-sindikalis ini. Sebelumnya, pemerintah juga sudah memiliki musuh ideologi seperti kelompok agama radikal maupun komunisme.
Yang membuatnya menjadi pelik sebenarnya adalah, tindakan kepolisian ini hadir di masa yang cukup kritis. Pemerintahan saat ini tengah menghadapi situasi yang masih tergolong panas pasca pemilu. Salah satu ancaman yang tengah terus merongrong pemerintahan saat ini adalah gerakan people power yang digalang kelompok oposisi.
Memang, jika mau adil, saat ini sama sekali belum terbukti ada hubungan antara gerakan anarko sindikalisme dengan kelompok-kelompok pegiat people power tersebut. Meski demikian, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan ini tergolong rawan untuk digoreng oleh pihak manapun.
Tak hanya itu, tindakan aparat tersebut juga dapat menjadi preseden tak aman jika ada gerakan lain yang setara atau bahkan lebih dari para anarko sindikalis tersebut. Aparat bisa saja melakukan hal serupa kepada pihak lain yang coba menggalang massa dan turun ke jalan di masa genting pasca pemilu ini, seperti para pendukung people power ala kelompok oposisi.
Perlakuan serupa kepada massa hitam-hitam anarko sindikalis inilah yang rawan dijadikan alasan oleh para pegiat people power. Mereka bisa saja menganggap pemerintahan dan aparat saat ini bertindak represif, sehingga bisa memicu gerakan lebih besar untuk melakukan protes keras kepada mereka.
Penangkapan sewenang-wenang melanggar Kode Etik Kepolisian, hak atas fair trial, dan asas praduga tak bersalah. Negara harus memenuhi kewajiban atas perlindungan, bantuan media darurat, dan hak atas pemulihan untuk korban.
— LBH JAKARTA (@LBH_Jakarta) May 2, 2019
Menurut Joan Barceló dalam Batons and ballots: The effectiveness of state violence in fighting against Catalan separatism, kekerasan yang dilakukan kepolisian kepada pelaku protes justru akan menimbulkan backfire atau efek yang berkebalikan yang memicu aksi yang lebih besar.
Di luar itu, tindakan yang dianggap tak prosedural ini juga rawan dicap sebagai tindakan tak demokratis atau melanggar HAM, terutama di mata dunia internasional. Secara umum, tak banyak negara –terutama negara-negara Barat – yang bisa menerima tindakan semacam itu.
Tindakan kepada para anarko-sindikalis itu tidak hanya bisa mencoreng nama baik Indonesia di mata internasional, tetapi juga dalam banyak kasus, negara-negara itu kerap campur tangan dalam proses perlawanan kepada pemerintahan tak demokratis dan tak menjaga HAM.
Pada titik tersebut, kepolisian harus berhati-hati saat menghadapi gerakan massa, entah itu anarko sindikalis maupun gerakan lainnya. Di satu sisi, tindakan yang diberikan kepada para anarko sindikalis ini bisa dipertanyakan perkara proseduralnya. Di sisi yang lain, secara pragmatis tindakan ini dapat menjadi catatan hitam bagi pemerintah dan bisa saja digulirkan menjadi hal lain yang lebih besar.
Memang, para anarko-sindikalis itu tak berafiliasi kepada kelompok politik manapun. Meski demikian, tindakan keras aparat kepada mereka dapat menjadi alarm tanda bahaya jika ada kelompok politik yang bisa saja mendapatkan perlakuan serupa. (H33)