HomeNalar PolitikHari Lahir Pancasila, Manipulasi Sejarah?

Hari Lahir Pancasila, Manipulasi Sejarah?

Jokowi telah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Namun, hal tersebut masih menjadi perdebatan di publik karena 18 Agustus dinilai lebih tepat untuk dijadikan Hari Lahir Pancasila. Ada dugaan sejarah Pancasila dimanipulasi untuk kepentingan politis. Apakah hal tersebut benar adanya?


PinterPolitik.com

“History is written by the victors.” – Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya

Bertepatan pada tanggal 1 Juni, Indonesia merayakan Hari Lahir  Pancasila melalui upacara virtual yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada perayaan tahun tersebut, pemerintah mengusung tema “Pancasila dalam Tindakan, Bersatu, untuk Indonesia Tangguh.”

Melalui pidatonya, Jokowi mengajak masyarakat untuk memperkokoh nilai Pancasila dalam bernegara dan meminta agar ada cara baru untuk membumikan nilai Pancasila. Jokowi juga mengatakan konektivitas 5G memunculkan ancaman perkembangan ideologi transnasional yang menjadi tantangan implementasi Pancasila masa kini.

Selasa lalu merupakan kali kelima Hari Lahir Pancasila dirayakan sejak penetapannya pada tahun 2016 lalu. Jokowi menetapkan Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016. Penetapan tersebut bertujuan agar seluruh elemen masyarakat memperingati Pancasila sebagai ideologi negara.

Pada tahun 2016, Tjahjo Kumolo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa lahirnya Pancasila lekat dengan sosok Soekarno sebagai proklamator penggali Pancasila. Tjahjo mengatakan bahwa penetapan tanggal 1 Juni merupakan hasil keputusan bersama dan bagian dari proses sejarah bangsa.

Namun, sejarah lahirnya Pancasila memiliki berbagai versi dan masih menjadi perdebatan. Pakar menilai tanggal 18 Agustus lebih tepat ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa Pancasila baru lahir secara hukum saat dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut, maka Pancasila lahir pada 18 Agustus saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 yang di dalamnya memuat Pancasila.

Baca Juga: Sukmawati dan Misteri Pengkultusan Soekarno

Namun, Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman mengatakan bahwa penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sudah sesuai dengan fakta sejarah. Penetapan tersebut merujuk pada waktu Soekarno menjabarkan gagasannya atas Pancasila dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Berbagai macam versi sejarah Hari Lahir Pancasila disebutkan oleh Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi sebagai bentuk manipulasi sejarah. Menurut Asrinaldi, penentuan hari besar kenegaraan seharusnya didasari oleh kajian dan fakta empirik bukan atas kepentingan rezim yang berkuasa.

Perdebatan sejarah Hari Lahir Pancasila membawa kita ke pertanyaan selanjutnya. Apakah ada intrik politik di belakang penetapan Hari Lahir Pancasila?

Anakronisme Sejarah?

Jika ditarik ke sejarahnya, lahirnya Pancasila lekat pada kekalahan Jepang di Perang Pasifik yang berlangsung sejak 1941 hingga 1945. Melemahnya kekuatan Jepang membuat Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia dan membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI sebagai lembaga yang mempersiapkan dan menyusun rencana mengenai persiapan kemerdekaan.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Sidang pertama BPUPKI dilaksanakan di gedung Chuo Sang In atau Gedung Pancasila pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Sidang yang diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Weyodiningrat membahas mengenai gagasan dasar negara.

Soekarno merupakan salah satu tokoh yang mengemukakan lima butir dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945. Gagasan tersebut merupakan kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, kemanusiaan atau internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan Ketuhaan yang berkebudayaan.

Soekarno bukan satu-satunya tokoh yang mengemukakan gagasannya pada BPUPKI. Ada Muhammad Yamin yang menerangkan “Azas dan Dasar Negara Indonesia Merdeka” pada tanggal 29 Mei 1945 dan Soepomo yang memaparkan “Dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka” tanggal 31 Mei 1945.

Untuk penyempurnaan rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar, dibentuk PPKI pada 9 Agustus 1945 sebagai pengganti BPUPKI. PPKI terdiri dari sembilan panitia yang disebut Panitia Sembilan yang merupakan tim khusus untuk membahas lanjutan dari hasil rumusan BPUPKI. Soekarno sendiri merupakan salah satu dari sembilan panitia tersebut.

Setelah berbagai proses persidangan, Pancasila resmi disahkan dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Pancasila disetujui untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah.

Jika dilihat dari runutan sejarahnya, Pancasila baru disahkan secara resmi tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI. Hal ini menjadi dasar argumen pakar hukum tata negara Refly Harun yang menilai bahwa 18 Agustus merupakan tanggal yang paling tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila, bukan 1 Juni.

Namun, pemerintah tetap menetapkan Pancasila pada tanggal 1 Juni karena Pancasila dilekatkan dengan Soekarno sebagai tokoh yang merumuskan gagasan Pancasila. Sikap pemerintah bisa dijelaskan melalui konsep anachronism atau anakronisme sejarah.

Baca Juga: Menguak ‘Kemesraan’ Megawati-Putin

Berdasarkan tulisan Jacques Ranciere yang berjudul The Concept of Anachronism and the Historian’s Truth, anakronisme merupakan bentuk kesalahan dalam menentukan kronologi sejarah. Hal ini menimbulkan ambiguitas dalam memahami sejarah karena ada kesalahan dalam menempatkan seseorang, fenomena atau era pada runutan waktu yang salah. Hal ini menimbulkan kegagalan menentukan sebab dan akibat suatu fenomena dan kesalahan dalam menetapkan fakta dan kebenaran sejarah.

Jika berangkat pada teori anakronisme sejarah, ada permainan kronologis sejarah di balik penetapan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Benar adanya bahwa 1 Juni merupakan tanggal di mana Sukarno menjabarkan rumusannya di BPUKPKI, tapi hal ini dirasa keliru jika dijadikan acuan untuk menetapkan Hari Lahir Pancasila.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila sendiri belum sah terbentuk. Pancasila masih dibahas di PPKI yang akhirnya disahkan pada 18 Agustus 1945.

Selain itu alasan penetapan tanggal 1 Juni yang didasari oleh hari Soekarno menjabarkan gagasannya terkait Pancasila di BPUPKI juga tidak relevan. Pasalnya ada dua tokoh politik lainnya, yakni Muhammad Yamin dan Soepomo, yang juga menjabarkan gagasannya di hari-hari sebelumnya. Soekarno bukanlah orang pertama yang memberikan gagasan dasar negara, melainkan Mohammad Yamin.

Baca juga :  MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Lalu mengapa penetapan Pancasila harus dikaitkan dengan sosok Soekarno? Apakah ada kepentingan politis di balik penetapan tersebut?

Menghindari De-Soekarnoisasi?

Pada zaman Orde Baru, 1 Juni merupakan peringatan pidato Soekarno di BPUPKI. Maka dari itu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengusulkan 1 Juni bukan hanya sekadar peringatan pidato Soekarno, namun sebagai hari besar nasional.

Usulan ini disampaikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pada saat itu masih menjabat sebagai presiden. Namun, usulan tersebut tidak ada kelanjutannya dan baru diwujudukan oleh Jokowi.

Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila mungkin saja tidak lepas dari status Jokowi sebagai kader PDIP. Megawati sebagai tokoh sentral PDIP mengatakan bahwa kader partai merupakan petugas partai, sehingga harus melakukan tugas yang diamanatkan partai.

Megawati pernah mengatakan bahwa dirinya telah menetapkan Jokowi sebagai calon presiden (capres). Sehingga ketika Jokowi nanti terpilih, ia tidak boleh melupakan statusnya sebagai petugas partai.

Dari pernyataan Megawati, bisa jadi penetapan tanggal 1 Juni merupakan salah satu tugas partai yang diberikan kepada Jokowi. Hal ini menjadi upaya Megawati untuk melekatkan Pancasila dengan Soekarno dan menghindari de-Soekarnoisasi.

Manuver Megawati dapat dijelaskan melalui tulisan Antoon De Baets yang berjudul Dossier: History and Social Demands yang menjelaskan teori abuse of history. Baets mengatakan bahwa sejarah sering kali disalahgunakan untuk kepentingan politis, seperti memperkuat kekuasaan dan legitimasi ideologi. Lingkungan yang tidak demokratis dan diktator mempengaruhi manipulasi sejarah. Teori abuse of history menjelaskan sejarah ditulis tanpa pendekatan teoretis dan metodologi atas analisa sejarah. 

Baca Juga: Megawati-Nadiem Bongkar Politik Desukarnoisasi?

Berangkat dari tulisan Baets, penetapan tanggal 1 Juni mungkin bagian dari tujuan politis Megawati untuk menghilangkan de-Soekarnoisasi. Ini merupakan upaya Soeharto untuk mendiskreditkan sosok Soekarno, misalnya upaya Soeharto untuk tidak mengaitkan Pancasila dengan Soekarno.

Hal ini diafirmasi oleh politisi PDIP Ahmad Basarah. Ia mengatakan bahwa ada upaya Soeharto untuk melakukan de-Soekarnoisasi yang masih berlanjut hingga sekarang sehingga dibutuhkan pelurusan sejarah terkait Soekarno. Mungkin saja tindakan Megawati yang melekatkan lahirnya Pancasila dengan Sokerno merupakan upaya untuk menghilangkan de-Soekarnoisasi dan “pelurusan sejarah.”

Pada kesimpulannya, Soekarno memang berperan besar dalam pembentukan Pancasila. Namun kita tidak bisa menafikan bahwa Pancasila juga merupakan hasil gotong royong para tokoh bangsa lainnya. Penetapan Hari Lahir Pancasila yang masih menimbulkan perdebatan menjadi tanda bahwa penetapan tersebut sepatutnya dikaji ulang karena sejarah harus ditulis secara obyektif. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...