Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Tragedi Juliana Marins di Gunung Rinjani membuka mata publik pada pengorbanan senyap Basarnas di tengah berbagai tantangan teknis dan nonteknis yang melanda, termasuk anggaran yang terbatas. Lalu, apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja, atau justru akan ada gebrakan besar dari Presiden Prabowo?
Tragedi kematian wisatawan asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani pada penghujung bulan Juni 2025 menjadi sorotan tajam bagi publik nasional maupun internasional.
Marins, yang mengalami kelelahan dan mengalami kondisi kritis, dan terjatuh saat turun dari puncak, tidak berhasil diselamatkan tepat waktu meski sudah dilaporkan ke otoritas terkait.
Evakuasi oleh Basarnas atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan jamak dinilai lamban, meskipun laporan masuk sejak dini. Kritik tajam muncul dari DPR RI, khususnya Komisi V, yang mempertanyakan respons Basarnas dalam menghadapi kasus ini.
Seakan, para kritikus luput dari persoalan teknis dan nonteknis lain mengenai sebab akibat penyelamatan seolah terkesan lambat. Selain medan berat yang dihadapi Basarnas, faktor anggaran dinilai juga turut andil.
Paradoks yang lebih dalam kemudian eksis, yaknin mengapa lembaga yang berada di garda depan penyelamatan nyawa manusia justru terjebak dalam keterbatasan anggaran dan alutsista?
Pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas mengenai kebijakan efisiensi anggaran negara, restrukturisasi prioritas belanja publik, dan arahan strategis Presiden Prabowo Subianto, yang secara eksplisit mendorong efisiensi birokrasi dan anggaran.
Saat anggaran diperiode sebelum Presiden Prabowo sudah terbatas, di titik ini, dapat terlihat bahwa tragedi Marins di Rinjani bukan sekadar persoalan teknis evakuasi, melainkan manifestasi dari dilema struktural negara dalam membagi sumber daya di era modern: antara efisiensi fiskal dan ekspektasi keselamatan rakyat. Benarkah demikian?
Basarnas and Their Tension?
Seiring dengan reformasi fiskal nasional dalam pengelolaan anggaran berbagai instansi mengalami penyesuaian budget signifikan. Salah satunya adalah Basarnas, yang mengalami penundaan pengadaan alat utama sistem SAR (alutsista SAR), termasuk kendaraan taktis, pesawat nirawak, hingga helikopter penyelamatan.
Berbagai laporan media menyebutkan bahwa kebijakan efisiensi ini telah membuat Basarnas harus “menghitung ketat” setiap liter bahan bakar dan jadwal operasional armada penyelamat mereka.
Di sinilah letak ironi dan pengorbanan besar yang tak terlihat dari “pasukan Basarnas” di bawah komando Presiden Prabowo saat ini, dalam semangat penghematan nasional dan reformasi birokrasi yang lebih ramping dan efisien, institusi SAR yang seharusnya berada di garis depan penyelamatan nyawa, justru terkekang ruang geraknya oleh keterbatasan logistik dan anggaran.
Dalam telaah public value management, fungsi lembaga seperti Basarnas bukanlah untuk menghasilkan laba atau efisiensi fiskal semata, tetapi untuk menciptakan nilai publik yang fundamental, keselamatan manusia.
Ketika nilai publik ini dikompromikan karena rasionalitas anggaran, maka negara menghadapi dilema etis yang serius.
Apalagi, Basarnas bukan hanya lembaga domestik, tetapi juga etalase internasional tentang bagaimana Indonesia melayani keselamatan manusia, termasuk wisatawan asing seperti kasus Marins. Pun dengan reputasi Basarnas yang disebut-sebut sebagai lembaga SAR terbaik di dunia.
Meskipun Basarnas bekerja keras di lapangan dengan sumber daya terbatas, mereka justru menjadi korban dari narasi besar penyesuaian anggaran negara yang sudah berlangsung sejak berdirinya badan ini secara independen pada 2009.
Para petugas lapangan di Rinjani tidak hanya menghadapi tantangan geografis ekstrem, tetapi juga harus bergerak cepat tanpa kelengkapan teknologi pendeteksi, kendaraan modern, dan dukungan logistik memadai.
Di sinilah frasa “great sacrifice” menemukan maknanya di mana mereka berjuang dalam senyap, melawan keterbatasan sistem demi sebuah panggilan kemanusiaan.

Bagaimana Masa Depan Basarnas?
Prabowo Subianto dikenal dengan pendekatan tegas dan realistis terhadap tata kelola negara. Dalam berbagai pidatonya, ia menekankan pentingnya efisiensi, nasionalisme, dan kemandirian sektor krusial seperti pangan, pendidikan, pertahanan, dan keamanan.
Di bawah kepemimpinannya sebagai Menhan, telah terjadi peningkatan anggaran signifikan untuk militer, penguatan komando teritorial, dan pembelian alutsista strategis.
Namun, sektor spesifik seperti mitigasi bencana, BMKG, dan SAR mengalami penyesuaian ke bawah.
Sebagaimana laporan CNN Indonesia (Februari 2025), BMKG bahkan mengalami pemangkasan anggaran hingga 50%, yang berimbas pada penurunan kualitas sistem deteksi gempa dan tsunami.
Ini menunjukkan adanya pergeseran strategi negara dari pendekatan human security ke pendekatan state security, di mana ancaman eksternal dan geopolitik dianggap lebih mendesak dibandingkan penyelamatan manusia sehari-hari akibat bencana atau kecelakaan.
Dalam perspektif Barry Buzan tentang securitization, negara dapat memilih untuk menganggap suatu isu sebagai ancaman eksistensial, dan menyesuaikan seluruh kebijakannya berdasarkan ancaman tersebut.
Dalam hal ini, aspek lain tentu memiliki pertimbangan tersendiri saat mendapatkan prioritas, sedangkan sektor SAR dan mitigasi bencana tidak dianggap mendesak secara teknis dan politis, mungkin saja.
Namun, di sinilah muncul kekhawatiran, jika pemerintah mengabaikan aspek human-centric security, maka negara berisiko kehilangan kepingan legitimasi di mata rakyat.
Input kepercayaan publik terhadap institusi sendiri sangat ditentukan oleh output pelayanan yang mereka terima. Dalam kasus Basarnas, jika evakuasi korban tidak dilakukan cepat karena minimnya fasilitas, maka rakyat mulai mempertanyakan kehadiran dan keberpihakan negara.
Dalam konteks geopolitik dan diplomasi publik, tragedi ini pun bisa saja mengganggu citra Indonesia sebagai destinasi wisata aman.
Wisatawan asing bukan tidak mungkin akan mempertimbangkan tidak hanya keindahan alam, tetapi juga kesiapan sistem darurat negara. Maka, investasi pada Basarnas bukan hanya soal penyelamatan, tetapi juga bagian dari soft power dan daya saing pariwisata.
Oleh karena itu, memperlakukan Basarnas sebagai bagian dari strategic frontline pertahanan nonkonvensional, penjaga nyawa manusia dari bencana dan kecelakaan kiranya menjadi penting dilakukan oleh pemerintah.
Tragedi di Gunung Rinjani hanyalah puncak dari gunung es persoalan struktural dan ketimpangan prioritas negara dalam menyusun anggaran dan kebijakan.
Meski begitu, tak boleh dilupakan bahwa para petugas Basarnas telah mengorbankan segalanya, waktu, tenaga, bahkan nyawa, untuk melaksanakan tugas mulia mereka.
Mereka adalah pasukan kemanusiaan yang diam-diam menjalankan amanat konstitusi: melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Prabowo sebagai presiden terpilih memiliki peluang besar untuk menulis ulang arah kebijakan, menjadikan Basarnas dan sistem penyelamatan sebagai bagian integral dari kekuatan nasional.
Karena sesungguhnya, kekuatan negara juga dapat dilihat dari seberapa cepat negara bisa menyelamatkan satu nyawa di ketinggian Rinjani, di kedalaman lautan, atau di reruntuhan bencana. (J61)