HomeHeadline“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa sedikit bernafas lega saat “gorengan” isu yang dimainkan, baik oleh kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo, kiranya tak lagi “laku”. 


PinterPolitik.com 

Walaupun kerap disudutkan oleh isu pelanggaran atau yang terkait hak asasi manusia (HAM), duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kiranya tak akan terlalu gusar. 

Ya, pelanggaran HAM seolah menjadi isu lima tahunan yang terus “digoreng” pihak berkepentingan di kontestasi elektoral. Namun keseriusan menanganinya secara konkret dipertanyakan, tanpa terkecuali ke semua kandidat. 

Di Pilpres 2024, sorotan kepada jaminan penegakan hukum dan penanganan kasus HAM juga muncul. 

Pasangan nomor urut satu, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menuangkan perhatian mereka di visi misinya dengan berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang mendapat nomor urut dua, menegaskan berkomitmen penuh pada semua isu dan kasus HAM. 

Sementara itu, pasangan nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD juga berkomitmen untuk berupaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara adil.  

Fokus isu HAM menjadi menarik saat turut ramai dibicarakan para relawan, simpatisan, hingga masyarakat secara umum, terutama di media sosial. 

Di situasi tersebut, Prabowo – secara khusus – seakan tersudut dikarenakan dianggap memiliki “dosa masa lalu” saat gejolak politik Reformasi pada tahun 1998. 

Dengan narasi kampanye gemoy-nya di media sosial, Prabowo bahkan disebut ingin menutupi isu HAM agar tidak terekspose ke generasi milenial atau Z yang kurang relate atau tak berada di situasi sosiopolitik itu secara langsung. 

Akan tetapi, gempuran narasi itu agaknya tak akan berpengaruh banyak kepada Prabowo-Gibran. Mengapa demikian? 

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?

Bias, Pembunuhan Karakter? 

Secara personal, Prabowo telah diterpa isu terkait HAM yang menyudutkannya sejak Pilpres 2009 kala menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri.  

Sejak saat itu, upaya membongkar “dosa” tersebut seolah tak pernah selesai, terbukti secara konkret, dan hanya menjadi komoditas politik yang dibicarakan oleh pihak-pihak berkepentingan. 

Atas repetisi dan kecenderungan tersebut, sorotan minor pelanggaran HAM di Pilpres 2024 kiranya hanya merupakan bias informasi semata. Keberadaannya dilebih-lebihkan dan kerap digunakan hanya untuk menjatuhkan lawan politik di momen tertentu. 

Sebagai contoh di luar konteks isu HAM, pengakuan yang viral dan baru saja dilontarkan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa Presiden Jokowi pernah mengintervensi kasus korupsi e-KTP tak serta merta mendapat dukungan begitu saja. 

Pihak yang selalu kritis untuk menggali lebih dalam mempertanyakan mengapa Agus baru memberikan pengakuan itu saat ini, di tengah momentum proses politik 2024. 

Kembali ke gorengan isu HAM, dalam beberapa penjelasan dan literatur telah cukup jelas bahwa tudingan yang menyudutkan Prabowo tidaklah tepat. 

Mantan aktivis Budiman Sudjatmiko, misalnya, telah menelusuri secara personal tudingan itu dan sampai pada kesimpulan bahwa sang Pangkostrad ke-22 itu hanya menjadi target framing politik tertentu. Bahkan belakangan, Budiman mendukung Prabowo di Pilpres 2024. 

Selain itu, di awal tahun ini, Presiden Jokowi telah mengakui 12 pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk beberapa yang terjadi pada Reformasi 1998. 

Selain memastikan hak korban dipulihkan, Presiden Jokowi juga berjanji agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi. 

Keputusan RI-1 sendiri berdasarkan laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), di mana Menko Polhukam Mahfud Md menjadi ketua tim pengarah dan Makarim Wibisono menjadi ketua tim pelaksana. 

Baca juga :  Kenapa Xi Jinping Undang Prabowo?

Berdasarkan daftar pelanggaran HAM tersebut pun, pertanyaan mengemuka mengapa yang terus disoroti adalah yang terkait dengan isu 1998 saja yang sebenarnya sudah diklarifikasi secara clear

Padahal, terdapat kasus lain seperti yang terjadi di Lampung, Aceh, maupun Papua dengan aktor yang berbeda. 

Pada akhirnya, jika ditelaah lebih dalam, bias tersebut membuat isu HAM tak lagi dipandang sakral untuk diperjuangkan dan penting secara substansi. Melainkan ditujukan pula sebagai instrumen pembunuhan karakter (character assassination) aktor politik di momen politik tertentu. 

Lebih lanjut, saat mengembalikannya kepada para kandidat lain seperti Anies-Imin maupun Ganjar-Mahfud, upaya menghadirkan konteks penegakan hukum dan HAM yang adil pun tampaknya mendapat pandangan skeptis.

ganjar anies klaim paling paham kemiskinan

Anies-Ganjar Sama Saja? 

Skeptisisme terhadap visi-misi isu HAM kandidat lain seperti Anies-Imin maupun Ganjar-Mahfud agaknya tak dapat dihindari. 

Sebagaimana stigma dalam setiap ajang tarung politik, janji-janji manis selalu eksis, termasuk penyelesaian isu HAM di masa lalu. 

Tak terkecuali di Pilpres 2024. Frasa “janji manis” pun membuat skeptis bahwa akan ada realisasi penegakan HAM berat masa lalu yang benar-benar berkeadilan. 

Terlebih, untuk mencapainya butuh political will, sinergi, produk hukum, hingga produk-produk legislatif relevan yang tak mudah untuk diaktualisasikan begitu saja saat berhasil merengkuh kekuasaan. 

Pada akhirnya, janji manis dan bias informasi melalui framing yang seolah “membunuh” karakter tertentu dilakukan bukan demi kepentingan korban dan keluarganya. Melainkan kerap hanya sebatas komoditas politik belaka untuk memenangkan para aktor tersebut dalam konstelasi politik. 

Oleh karena itu, dalam merespons isu terkait HAM, pemilih kiranya harus lebih cermat di Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang. Bukan hanya simpati kepada janji manis para kandidat tetapi dapat melihat secara komprehensif aspek greater good yang dapat diraih oleh kandidat terbaik. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?