HomeNalar PolitikDarurat Demokrasi, Haruskah Jokowi Disalahkan?

Darurat Demokrasi, Haruskah Jokowi Disalahkan?

Kasus Bintang Emon dan yang terbaru terkait pemanggilan pengunggah lelucon Gus Dur telah semakin memperkeruh narasi yang menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia telah semakin menurun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Lantas, patutkah mantan Wali Kota Solo tersebut disalahkan atas rentetan kasus kontroversial yang tengah terjadi?


PinterPolitik.com

Bagi para penikmat Warkop DKI, tentu tidak asing dengan guyonan “Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang”. Melihat konteks rezim otoriter Soeharto pada saat itu, boleh jadi guyonan tersebut memiliki pesan politik untuk mengatakan rezim telah begitu otoriter, sehingga candaan saja dapat berujung pada pembungkaman.

Getirnya, tidak sedikit pihak yang menyebutkan bahwa pesan politik tersebut sepertinya tengah terjadi saat ini. Pada kasus komika Bintang Emon misalnya, komentar yang menyebutkan “hukum dibecandain, sedangkan humor diseriusin” berseliweran di berbagai lini masa sosial media.

Sebagaimana diketahui, setelah videonya yang menanggapi satire kasus hukum Novel Baswedan, meme sang komika menggunakan sabu-sabu tiba-tiba tersebar di Twitter. Tidak sedikit kemudian yang menyebutkan Bintang Emon telah diserang buzzer.

Terbaru, seorang warga Kepulauan Sula, Maluku Utara bernama Ismail Ahmad tidak pernah membayangkan dirinya yang menggunggah guyonan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang polisi yang jujur akan membuatnya didatangi pihak kepolisian.

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid bahkan turut bersuara dengan menyebutnya sebagai bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya.

Sontak saja, peristiwa tersebut kemudian memantik komentar dari berbagai pihak terkait kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, ia menilai kasus ini menunjukkan demokrasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih baik dari saat ini.

Ibarat bola salju, kasus tersebut kemudian memicu berbagai tudingan keras yang mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap penegakan politik demokrasi. Ini memang bukan tudingan baru. September tahun lalu, mantan Wali Kota Solo tersebut bahkan memberikan penegasan lugas agar komitmennya untuk menjaga demokrasi tidak perlu dipertanyakan.

Namun, rentetan peristiwa seperti kasus Bintang Emon ataupun Ismail Ahmad tentu saja menjadi semacam bantahan atas penegasan tersebut. Akan tetapi, tentu perlu dipertanyakan, tepatkah kita melimpahkan kekesalan atas dua kasus tersebut kepada Presiden Jokowi?

Fundamental Attribution Error

Setiap cerita yang mengejutkan selalu memiliki tokoh utama yang menjadi pusat perhatian. Dalam kesuksesan militer Prancis pada awal tahun 1800-an, kita tentu mengetahui mengenai kisah kehebatan sang pemimpin Napoleon Bonaparte. Pun begitu dengan pencapaian sensasional Real Madrid dalam memenangi gelar liga champion tiga kali beruntun yang disebut sebagai tuah dari sang pelatih Zinedine Zidane.

Namun, pernahkah kita bertanya, tepatkah asosiasi ketokohan semacam itu menjadi jawaban atas kedua cerita gemilang tersebut?

Baca juga :  Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Pada tahun 1967 di Duke University, diadakan sebuah eksperimen, di mana partisipan diminta untuk menyampaikan argumentasi antara memuji atau menyudutkan Fidel Castro.  Yang menarik adalah, kendati para peserta diberitahu bahwa pihak yang mengeluarkan argumentasi ditentukan berdasarkan lemparan koin, hampir sebagian besar menilai bahwa argumentasi yang dikeluarkan memang merupakan pendapat asli pihak terkait.

Temuan dalam eksperimen ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai fundamental attribution error, yakni adanya kesalahan fundamental dalam melakukan atribusi atas suatu situasi.

Pada eksperimen tersebut terlihat jelas telah terjadi kesalahan atribusi, di mana argumentasi yang dikeluarkan dikaitkan dengan pandangan pribadi penutur. Padahal, sebagaimana diketahui, argumentasi ditentukan berdasarkan lemparan koin.

Pada kasus kesuksesan militer Prancis dan Real Madrid, kita dapat melihat kesalahan semacam itu terjadi. Alih-alih melihat kesuksesan tersebut karena adanya kerja sama yang baik dari semua pihak, atribusi kesuksesan justru dilekatkan pada individu tertentu.

Mengacu pada Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, pada kasus-kasus semacam ini,  fundamental attribution error juga disebut sebagai bias dalam menaksir terlalu tinggi peran individu terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu peristiwa.

Suka atau tidak, fundamental attribution error sepertinya tengah terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Bagaimana tidak, atas kasus Bintang Emon dan Ismail Ahmad, berbagai pihak mengaitkannya dengan ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam menjaga demokrasi. Singkat kata, rentetan peristiwa yang terjadi diatribusi atas mantan Wali Kota Solo tersebut.

Padahal, apabila kita merenung sejenak, apakah mungkin buzzer yang menyerang Bintang Emon mendapatkan komando dari Presiden Jokowi? Jikapun demikian, atas motif apa itu dilakukan? Bukankah Bintang Emon tidak menyinggung sang presiden?

Dengan kata lain, katakanlah serangan buzzer tersebut terkoordinasi, maka itu mestilah dari pihak yang berkorelasi dengan kasus Novel Baswedan.

Kemudian pada kasus Ismail Ahmad, apakah mungkin kepolisian setempat berkoordinasi dengan Presiden Jokowi untuk melakukan pemanggilan? Tentunya tidak mungkin. Singkat kata, itu mestilah tindakan yang diinisiasi oleh aparat setempat.

Dengan demikian, menautkan kasus Bintang Emon dan Ismail Ahmad kepada Presiden Jokowi pada hakikatnya merupakan kesalahan atribusi yang fundamental.

Menerka Posisi Jokowi

Mengacu pada fundamental attribution error, kita tentu dapat menarik kesimpulan bahwa tidaklah bijak dalam menjadikan Presiden Jokowi sebagai pesakitan atas kasus yang terjadi. Akan tetapi, konteksnya dapat menjadi berbeda apabila ditemukan indikasi bahwa memang benar Presiden Jokowi terlibat dalam kedua kasus tersebut.

Konteksnya mungkin tidak pada pengertian keterlibatan secara langsung, yang mana, kemungkinan ini sepertinya sulit dibayangkan untuk terjadi. Kasus yang mungkin terjadi adalah Presiden Jokowi memiliki indikasi untuk melakukan “pembiaran” terhadap pihak-pihak yang melakukan tindakan berlawanan dengan penegakan politik demokrasi.

Baca juga :  Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Jika kasus itu benar terjadi, maka terdapat dua hal yang dapat dimaknai.

Pertama, secara denotatif, Presiden Jokowi memang tidak memiliki komitmen dalam menegakkan politik demokrasi seperti yang pernah diutarakannya.

Kedua, jika mengacu pada Joel Achenbach dalam tulisannya di The Washington Post, presiden sebenarnya tidak memiliki kekuasaan sebesar yang dipikirkan banyak orang selama ini. Tegasnya, terdapat lembaga pemerintahan yang lain, serta birokrasi yang telah membatasi kekuasaan presiden.

Dengan kata lain, Presiden Jokowi pada dasarnya tidak memiliki pengaruh sebesar itu untuk menjaga agar setiap pihak dapat menjaga penegakan demokrasi. Ia misalnya tidak mungkin mengontrol 24 jam aparat kepolisian di Maluku Utara agar pemanggilan Ismail Ahmad tidak terjadi.

Pun begitu dengan tidak mungkin mengontrol penuh Twitter agar meme Bintang Emon menggunakan sabu-sabu tidak terjadi dan menyebar.

Tentu perlu digarisbawahi, atribusi yang tepat akan terjadi apabila Presiden Jokowi melakukan kemungkinan pertama, di mana sang presiden memang melakukan pembiaran. Namun, jika kemungkinan kedua yang terjadi, disalahkannya Presiden Jokowi atas kedua kasus tersebut adalah atribusi yang keliru.

Kembali mengacu pada Rolf Dobelli, simpulan simplifikatif seperti menyalahkan presiden atas kedua kasus tersebut boleh jadi berpangkal atas cara kerja dari otak manusia.

Pada dasarnya otak manusia tidak mampu bereaksi secara proporsional terhadap informasi yang kompleks, abstrak, atau saling bertentangan. Untuk menyiasatinya, otak kemudian memproses informasi tersebut dengan membuatnya menjadi sederhana dan terlihat sistematis.

Pada kasus melimpahkan kesalahan pada Presiden Jokowi, penjelasan Dobelli tersebut kemungkinan telah terjadi. Pasalnya, tentu begitu sulit untuk membayangkan seseorang yang harus mengolah berbagai informasi seperti siapa dalang buzzer di Twitter, siapa aparat kepolisian yang memanggil, ataupun siapa aktor-aktor intelektual di pemerintahan?

Informasi semacam itu tidak hanya kompleks, melainkan juga abstrak. Pasalnya, bagaimana mungkin pihak-pihak di luar sana, yang tidak mengetahui seluk-beluk pemerintahan dapat mengetahui aktor-aktor intelektual pemerintahan? Untuk menyiasatinya, bukankah lebih mudah untuk memikirkan sosok yang pasti dikenal, yakni Presiden Jokowi?

Jika proses tersebut yang terjadi, maka jelas telah terjadi fundamental attribution error.

Di luar perdebatan mengenai kedua kemungkinan yang tengah terjadi, tentu kita berharap bahwa kedua kasus tersebut tidak terulang kembali. Tentunya, ini demi nama baik pemerintahan Presiden Jokowi sendiri. Beliau pasti menginginkan soft landing di akhir pemerintahannya bukan?

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...