HomeNalar PolitikBerbusana dan Beretorika ala Sandiaga

Berbusana dan Beretorika ala Sandiaga

Keputusan Prabowo dalam memilih Sandiaga adalah keputusan cerdas. Dengan politik busana dan komunikasi retorik ia mampu menandingi popularitas Jokowi-Ma’ruf


PinterPolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]ndikator Politik Indonesia baru saja merilis hasil survei mereka ke hadapan publik. Lembaga survei di bawah asuhan Burhanuddin Muhtadi tersebut mencoba menyoroti elektabilitas dua pasangan capres-cawapres dan peta elektoral pemilu legislatif 2019.

Dalam hasil survei disimpulkan bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf masih mengungguli elektabilitas Prabowo-Sandi. Tetapi, meskipun unggul, disebutkan bahwa Sandiaga Uno lebih populer dibandingkan Ma’ruf Amin. Wakil Gubernur DKI itu dikenal hingga 73 persen pemilih, sedangkan Ma’ruf hanya dikenal 70 persen pemilih.

Hasil ini menjadi pukulan bagi kubu Jokowi-Ma’ruf dan mungkin saja akan membuat mereka memikirkan cara untuk menandingi elektabilitas Sandiaga Uno. Politisi Golkar Bambang Soesatyo sendiri sudah angkat suara mengenai hasil survei Indikator Politik Indonesia. Ia mengatakan akan memoles Ma’ruf Amin untuk tandingi popularitas Sandiaga. Bambang Soesatyo pun mengatakan akan membuat masyarakat berebut foto selfie dengan Ma’ruf.

Popularitas Sandiaga tentu tidak terlepas dari keaktifannya berkunjung ke tengah masyarakat. Sementara itu, menurut Juru Bicara Jokowi-Ma’ruf, Irma Suryani, Ma’ruf Amin tidak terlalu sering turun ke masyarakat seperti Sandiaga.

Dalam beberapa kesempatan Sandiaga memang nampak diajak berselfie, bahkan sampai dicubit pipinya oleh “emak-emak”. Fakta kepopuleran Sandiaga di lapangan seperti diperkuat oleh hasil survei dari Indikator Politik Indonesia tersebut. Menarik untuk diulas lebih jauh, apa yang akhirnya membuat Sandiaga Uno begitu populer di mata masyarakat?

Mendekatkan Diri Lewat Busana

Sandiaga adalah fenomena unik dalam dunia politik. Ia adalah pemain baru, tak berpengalaman dalam politik, tetapi berhasil mengalahkan politisi berpengalaman seperti Ahok pada Pilgub DKI 2017.

Saat ini,  politisi yang populer dengan tagline “OK-OCE” pada Pilgub DKI tersebut telah digandeng oleh Prabowo Subianto untuk menjadi cawapres pada Pilpres 2019. Sementara ini, keputusan Prabowo tersebut terlihat ampuh untuk menandingi Jokowi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebut bahwa Sandiaga tampak populer di mata masyarakat jika dibandingkan Ma’ruf Amin.

Popularitas seorang politisi tak muncul tiba-tiba. Fenomena itu memerlukan strategi khusus. Salah satu dari strategi politik itu adalah dalam hal berbusana. Cobalah perhatikan cara Sandiaga dalam berbusana. Ia sering kali menggunakan busana non-formal, seperti kaos oblong, kaos berkerah, hingga mengenakan kemeja dengan lengan digulung pada momen penting pengambilan nomor urut capres-cawapres.

Sekilas, busana Sandiaga memang tampak biasa saja. Akan tetapi jika diperhatikan lebih jauh, busana itu bermakna politis. Vanessa Friedman, dalam tulisan berjudul When Politics Become a Fashion Statement, menyatakan bahwa untuk mengatakan kepada orang lain tentang apa yang diyakini, cara paling sederhana dan paling kuat untuk melakukan itu adalah melalui apa yang dikenakan.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Di Amerika Serikat, Hillary Clinton beberapa kali tampil dengan mengenakan setelan putih Ralph Lauren ketika sedang berpidato. Warna putih sendiri kerap diidentikkan dengan hak-hak perempuan. Disebutkan para akticis Amerika seperti Gloria Steinem dan Betty Friedan sering mengenakan pakaian putih tersebut untuk menyuarakkan hak-hak perempuan pada tahun 1978. Busana Hillary seperti ingin berpesan bahwa ia berpihak pada kaum perempuan Amerika.

Hal itulah yang dilakukan oleh Sandiaga Uno dalam politik Indonesia. Melalui busana yang dikenakan, Sandiaga seperti ingin menyampaikan pesan bahwa ia adalah pemimpin yang sederhana dan merakyat. Sandiaga juga seperti ingin menunjukkan bahwa ia adalah representasi politik generasi milenial melalui penampilan kasualnya selama ini.

Kontributor Forbes AJ Agrawal berpendapat, kadang-kadang menjadi santai dalam pengaturan yang tepat, membantu seorang kandidat politik lebih mudah didekati. Ia mengatakan para politisi yang mengenakan pakaian santai dalam suasana formal berhasil mencitrakan diri mereka sebagai orang biasa sehari-hari.

Demam selfie adalah salah satu indikasi keberhasilan politik berbusana Sandiaga. Mungkin saja masyarakat merasa begitu dekat karena busana Sandiaga tidaklah kaku dan formal, sehingga mereka tak segan untuk berselfie, bahkan mencubit pipi cawapres nomor urut dua tersebut.

Sementara itu, strategi politik berbusana tersebut bisa saja sulit ditiru oleh Ma’ruf Amin. Sebagai seorang ulama, sulit untuk membayangkan Ma’ruf mengenakan kemeja kotak-kotak, kaos berkerah, kaos oblong atau celana chino seperti Sandiaga Uno. Jika Sandiaga bisa mengubah busana sesuai segmentasi masyarakat yang ia kunjungi, Ma’ruf Amin sejauh ini belum melakukan itu. Ia hampir tidak pernah melepas sarung dan baju kokonya dan menggantinya dengan jenis pakain lain ketika berhadapan langsung dengan publik.

Hal itu bisa saja menjadi salah satu faktor mengapa Ma’ruf Amin tidak sepopuler Sandiaga Uno. Busana dan latar belakang Ma’ruf Amin sebagai seorang ulama boleh jadi membuat masyarakat menjadi segan ketika bertemu langsung dengan cawapres Jokowi tersebut. Bukan tak mungkin, upaya Bambang Soesatyo untuk membuat masyarakat berebut selfie dengan Ma’ruf Amin akan terkendala karena alasan itu.

Di titik ini, bisa dikatakan bahwa Sandiaga unggul dalam meraih popularitas, karena latar belakang Sandiaga sebagai seorang pengusaha tak membatasinya dalam mengenakan busana apa saja untuk menarik perhatian masyarakat. Senada dengan itu, Lilly Banks mengatakan bahwa pertarungan politik bukan hanya tentang apa yang dikatakan oleh seorang politisi, melainkan bagaimana mereka menampilkan diri mereka sebaik mungkin untuk menarik perhatian publik.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Menyederhanakan kata-kata

Selain berbusana, Sandiaga jika diperhatikan menggunakan strategi komunikasi khusus untuk menarik perhatian publik. Cawapres nomor urut 02 itu kerap kali mengeluarkan istilah tak biasa akhir-akhir ini. Pada awal September 2018, Sandiaga melontarkan kata “tempe setipis kartu ATM” untuk membahasakan melemahya ekonomi.

Selain tempe, ia juga melontarkan pernyataan tentang uang 100 ribu hanya dapat bawang dan cabai, untuk mengkritik perekonomian di era Jokowi. Melalui kata-kata itu, Sandiaga seperti ingin mengajak masyarakat untuk mengetahui bahwa perekonomian mereka sedang lemah. Sandiaga, dengan bahasa sederhana itu sedang beretorika kepada publik.

AJ Powel, dalam tulisan Why is Rhetoric Important to Leadership menuliskan pengertian retorika menurut beberapa tokoh. Salah satu tokoh itu adalah Kenneth Burke. Menurut Burke, retorika adalah pesan yang menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga publik tertarik pada kata-kata, merasakan keterikatan padanya, dan digerakkan, dibujuk, diyakinkan, atau dimanipulasi olehnya sehingga dapat menimbulkan respons.

Dari pengertian tersebut, bisa dimaknai bahwa Sandiaga Uno sedang beretorika dengan mengajak, membujuk dan menggerakkan masyarakat untuk sadar bahwa terdapat kesalahan dari pemerintahan saat ini. Retorika Sandiaga tak bisa dianggap sepele. Hal itu bisa menjadi ancaman bagi petahana karena Sandiaga mampu membahasakan bahasa-bahasa rumit tentang perekonomian dengan kalimat-kalimat sederhana.

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, Sandiaga seperti ingin memperingatkan masyarakat bahwa ketika masyarakat tetap memilih Jokowi, maka ukuran tempe akan semakin mengecil, dan uang seratus ribu semakin tak bisa dibelanjakkan apa-apa. Cara Sandiaga dalam berkomunikasi akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat ketimbang data-data yang disodorkan oleh Jokowi.

Senada dengan hal tersebut, komikus Scott Adams pernah mengatakan bahwa masyarakat lebih terpengaruh oleh persuasi visual, emosi, pengulangan, dan kalimat sederhana dibandingkan dengan penjelasan detail dan fakta.

Sebaliknya, Ma’ruf Amin sebagai penantang Sandiaga Uno tidak melakukan komunikasi serupa. Berdasarkan kondisi ini, ia bisa saja akan kesulitan mempengaruhi masyarakat seperti apa yang dilakukan oleh Sandiaga Uno selama ini.

Sandi unggul

Pada titik ini, publik bisa menilai bahwa keputusan Prabowo dalam memilih Sandiaga adalah keputusan cerdas. Strategi Sandiaga untuk menandingi Jokowi-Ma’ruf dengan politik busana dan komunikasi retorik bisa saja menjadi faktor mengapa elektabilitas Sandiaga mampu berada di atas Ma’ruf Amin.

Pelan tapi pasti, bukan tidak mungkin popularitas Sandiaga Uno akan berdampak pula kepada peningkatan elektabilitas Prabowo. Berdasarkan, kondisi ini, Jokowi dan terutama Ma’ruf Amin harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin, pilihan busana dan retorika Sandi bisa membuatnya unggul atas mereka. (D38)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Politik Snouck Hurgronje ala Jokowi

Ada indikasi Jokowi menggunakan taktik Snouck Hurgronje dalam menguasai wilayah Banten. Hal itu dikarenakan, Jokowi kerap mengenakan simbol-simbol Islam dan adat ketika berkunjung ke...

Rangkul Pemuda Pancasila, Jokowi Orbais?

Pemuda Pancasila adalah organisasi warisan Orde Baru (Orbais). Apakah kelompok ini akan dirangkul oleh Jokowi di Pilpres 2019? PinterPolitik.com Istana kedatangan tamu. Kediaman presiden itu kini...

Tampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Kata-kata “tampang Boyolali” ala Prabowo terindikasi memiliki kaitan dengan latarbelakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali. PinterPolitik.com Akhir-akhir ini, Prabowo Subianto menjadi sorotan. Yang terbaru, kata-kata Prabowo...