HomeNalar PolitikBagaimana Jika Putin Menang?

Bagaimana Jika Putin Menang?

Konflik Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari satu bulan. Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengepung Ukraina dengan pasukan militer, sembari mengamankan pengaruh politik di wilayah yang kaya akan sumber daya energi di Ukraina Timur. Bagaimana jika akhirnya konflik ini dimenangkan oleh Rusia? 

PinterPolitik.com 


Serangan Rusia ke Ukraina sudah berlangsung lebih dari 1 bulan. Menurut data Global Conflict Tracker dari Council on Foreign Relations, sebanyak 2.685 warga sipil Ukraina telah menjadi korban jiwa sejak 24 Februari lalu. 

Setitik cahaya harapan pun muncul setelah diumumkannya hasil pertemuan antara delegasi Rusia dan Ukraina di Turki pada 29 Maret lalu. Pemerintah Ukraina disebut telah membuka kesempatan untuk menjadikan negaranya sebagai negara netral, di mana ambisi untuk bergabung NATO ditinggalkan, namun Ukraina juga tidak menyatu dengan Rusia. 

Kemudian, Rusia juga menyebut akan meringankan tekanan militernya di sejumlah wilayah Ukraina, walau sampai saat ini hal itu masih ditunggu. Dan kalau kita mengikuti perkembangannya, sepertinya masuk akal bila menilai saat ini Rusia sedang memegang posisi unggul, karena Ukraina akhirnya mau mengikuti sebagian permintaan Rusia. 

Meski pada akhirnya pemenuhan janji-janji tadi masih menjadi sesuatu yang ditunggu, dengan dinamika yang terjadi sekarang, banyak orang mulai meraba-raba bagaimana jadinya bila konflik Rusia-Ukraina selesai.  

Salah satunya adalah ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama. Dalam sebuah video wawancara dengan SpectatorTV dengan judul Francis Fukuyama: ‘Putin Will Become Father of Ukrainian Nation’, Fukuyama mengatakan bahwa bagaimanapun akhirnya, Presiden Vladimir Putin akan menjadi “ayah” dari negara Ukraina yang baru. 

Hal ini menurutnya karena konflik yang terjadi telah menciptakan sebuah gerakan nasionalisme baru di mana semakin banyak warga Ukraina, termasuk yang berbahasa Rusia, merasa tersakiti oleh invasi yang dilakukan Rusia. Karena itu, Ukraina yang baru, menurut Fukuyama, akan terdiri dari pengelompokan masyarakat yang baru juga. 

Itu hanyalah salah satu prediksi tentang apa yang akan terjadi setelah semua ini selesai. Lantas, bagaimana jika Putin akhirnya memang memenangkan perseteruan ini? 

Putin Semakin di Atas Angin? 

Banyak aspek yang bisa kita prediksi dari dampak akhir konflik Rusia-Ukraina. Di tulisan ini kita akan memfokuskannya ke 4 poin utama. Pertama, hubungan Rusia dan NATO; kedua, hubungan AS dengan Uni Eropa (UE); ketiga, situasi politik di Rusia;  keempat, situasi politik Ukraina. 

Hubungan Rusia dengan NATO menjadi pembahasan menarik yang pertama. Mungkin pertanyaan besar dari banyak orang adalah, apakah Putin akan memberi ancaman lanjutan pada UE setelah Ukraina ditaklukkan? Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai bahwa justru ketika konflik ini berakhir, hubungan Rusia-NATO akan kembali ke status quo.  

Seperti yang sudah disampaikan oleh Putin sendiri, keinginan besar Rusia pada Ukraina sesungguhnya adalah untuk menjadikan negara terbesar di Eropa tersebut sebagai negara yang netral.  

Baca juga :  Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Ide ini pun sebenarnya sudah bertahun-tahun ditanamkan di Barat oleh pemikir seperti John J. Mearsheimer dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault. Di dalamnya, Mearsheimer mengatakan solusi damai yang paling menguntungkan semua pihak adalah Ukraina yang netral.  

Karena dengan demikian, Rusia tidak lagi merasa terancam oleh potensi ekspansi NATO, sementara NATO memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Rusia. Menariknya, dilihat dari respons yang ditunjukkan NATO, sepertinya mereka pun mulai setuju dengan mosi tersebut.  

Walau Barat sudah menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi, mereka selama ini tidak tergoda sama sekali untuk menurunkan militer di Ukraina. Ini artinya sanksi ekonomi yang dijatuhkan hanya untuk mengecam agresi Rusia. Sementara, dengan tidak melibatkan diri langsung di Ukraina, artinya NATO membiarkan nasib politik Ukraina ditentukan oleh Ukraina sendiri dan Rusia.  

Karena itu, masuk akal bila kestabilan keamanan setelah konflik ini selesai tidak akan berbeda jauh dari keadaan sebelumnya. 

Mengenai hubungan AS dengan UE, ini barangkali adalah poin yang paling menarik, karena pihak yang sangat menggeliat di balik sanksi-sanksi ekonomi dan pendiktean dari AS sebenarnya adalah negara-negara Eropa.  

Dengan demikian, Liana Fix, pengamat politik Eropa dari Körber-Stiftung, dalam artikel What if Russia Wins? menilai akan terjadi reorientasi besar dalam politik luar negeri AS terhadap UE. Kemungkinan besarnya adalah, setelah konflik selesai, AS akan membuat sejumlah kebijakan follow up untuk semakin mendikte UE. 

Selanjutnya, mengenai kepemimpinan Putin di Rusia, Bret Stephens dalam artikelnya What if Putin Didn’t Miscalculate di laman The New York Times, menyampaikan pandangan yang menarik. Sebelumnya, banyak yang mengatakan konflik di Ukraina telah merugikan Rusia dan ini membuat Putin berpotensi dikudeta. Tapi melihat keadaan yang terjadi, besar kemungkinnya konflik ini justru menguntungkan Putin. 

Hal ini karena Putin sudah mendapatkan beberapa keuntungan dalam satu bulan terakhir. Dengan memperkuat pengaruh politiknya di Luhansk dan Donetsk, Putin telah mendapatkan persediaan sumber daya energi yang besar. Dua wilayah tersebut diketahui menyimpan cadangan batu bara dan gas alam yang melimpah. 

Untuk politik dalam negeri, dikabarkan dalam satu bulan terakhir, Putin telah mempersekusi sejumlah politisi yang menjadi ‘duri’ dalam pemerintahannya, contohnya seperti Aleksei Navalny. Begitu juga dengan pembungkaman beberapa media free-speech.  

Ini artinya, Putin telah menggunakan konflik Ukraina sebagai justifikasi untuk semakin menancapkan pengaruh dan kekuasaannya di Rusia. Oleh karena itu, setelah konflik Ukraina selesai, Rusia akan memiliki daya tawar yang lebih tinggi dalam perdagangan energi, dan Putin akan semakin mantap di Rusia. 

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Yang terakhir, mengenai situasi politik Ukraina. Meski sempat dirumorkan bahwa Putin bertujuan melengserkan kepemimpinan Volodymyr Zelensky, besar kemungkinannya justru Zelensky akan tetap dibiarkan memimpin Ukraina.  

Seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa Putin Tidak Bunuh Zelensky?, dengan menjatuhkan atau membunuh Zelensky, Putin justru berpotensi menciptakan martir internasional, karena banyak negara yang akan terpicu untuk mengecam atau bahkan menyerang Rusia. 

Di sisi lain, perkataan Francis Fukuyama yang sudah dipaparkan di awal tulisan juga menjadi salah satu kemungkinan. Jika Rusia menang, maka akan tercipta barisan-barisan masyarakat baru di Ukraina yang mengemban nilai nasionalisme yang semakin sinis pada Rusia. 

Well, itu semua pada akhirnya adalah prediksi semata. Lantas, bagaimana dengan keadaan sekarang? Apakah Putin memang sedang unggul dalam konflik Ukraina? 

Putin Menunda Kemenangan?  

Walaupun media selalu menyebutkan Putin telah melakukan miskalkulasi di Ukraina, kita tidak boleh melupakan bahwa kekuatan militer Rusia secara nyata jauh melampaui Ukraina. Dari sejumlah perangkat perang yang sudah diterjunkan, Rusia masih menyimpan alat dan senjata canggih yang belum diperlihatkan. 

Francis Fukuyama dalam tulisannya Ukraine, Looking Backward and Forward juga mencurigai fenomena tersebut. Ia menilai, berbeda dengan penyerangan AS ke Irak pada 2003 yang langsung melakukan serangan mengejutkan dan besar, Rusia justru hanya meluncurkan sejumlah rudal jelajah dan penyerangan kecil-kecilan. 

Ini bukan pertama kalinya Rusia melakukan taktik semacam itu. Ketika Perang Chechnya terjadi pada era 1990-an, pada fase awal perang, para pejuang Chechnya yang termotivasi memusnahkan brigade lapis baja Rusia, berhasil memukul mundur dan mengejutkan Moskow. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rusia malah unggul, dengan menggunakan artileri dari jauh dan kekuatan udara. 

Oleh karena itu, dilihat dari apa yang dilakukan militer Putin, kita bisa menilai Rusia sepertinya memang tidak bertujuan untuk menghancurkan Ukraina. Putin ingin Ukraina selamat dan tertekan untuk memenuhi kepentingan Rusia. Serangan pada infrastruktur dan warga sipil tidak lain hanya untuk memberi tekanan lebih besar. 

Yang menarik untuk juga dilihat adalah, tentara Rusia selama ini fokus menyerang wilayah Timur Ukraina, yang merupakan wilayah paling banyak menyimpan sumber daya energi.  

Dengan demikian, kembali mengutip Bret Stephens, sangat rasional bila tujuan utama Rusia bukanlah semata-mata untuk menyelamatkan warga Ukraina yang berbahasa Rusia, tetapi untuk memastikan keberlangsungan dominasi sumber daya energi Rusia. 

Akhir kata, kita bisa mengatakan, jika Rusia menang, hubungan antara Negeri Beruang Putih dan NATO tidak akan berubah banyak, tetapi hubungan AS dan Eropa akan menarik untuk kita jadikan perhatian utama.  

Dan melihat keadaan saat ini, sepertinya Putin sedang menunda kemenangannya dan menunggu momen yang tepat untuk memberikan tinju terakhir. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Usai pengumuman KPU, isu pengguliran hak angket DPR kembali berbunyi. Kira-kira akankah Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri mendorongnya?