Dengarkan artikel ini?
Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group, Aguan alias Sugianto Kusuma, menyiapkan anggaran untuk program renovasi ribuan rumah. Ini akan jadi bentuk dukungan bagi program-program pemerintah. Namun berkaca pada kedekatan Aguan dengan pemerintahan era Jokowi, akankah ini jadi lembar baru relasi pengusaha properti itu dengan pemerintahan Prabowo?
Di sebuah sore yang sejuk di Jakarta, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait berdiri di depan kamera dengan senyum penuh optimisme. Ia baru saja mengumumkan kolaborasinya dengan salah satu konglomerat paling berpengaruh di Indonesia—Sugianto Kusuma, atau yang lebih dikenal dengan nama Aguan.
Lewat program sosial yang difasilitasi oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Aguan menggelontorkan dana miliaran rupiah dari kantong Agung Sedayu Group (ASG) untuk merenovasi dua ribu rumah tak layak huni di berbagai daerah seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah.
Anggaran yang disiapkan? Rp30 juta sampai Rp50 juta per rumah. Tak cukup sampai di situ, Aguan bahkan disebut telah menyiapkan 750 unit rumah gratis, masing-masing senilai Rp100 juta per unit, di kawasan Tangerang dan Kalimantan.
Bagi sebagian orang, ini adalah aksi sosial yang patut diapresiasi. Tapi di balik semua euforia itu, ada pertanyaan klasik yang muncul: ketika konglomerat masuk ke wilayah kerja pemerintahan, apakah ini murni urusan sosial? Ataukah ini juga soal politik?
Pasalnya, kita semua tahu: rumah bukan sekadar tempat berteduh. Dalam politik, rumah bisa jadi simbol: tentang kehadiran negara, tentang janji-janji kampanye, tentang pemerataan pembangunan. Itulah kenapa isu perumahan rakyat selalu jadi bahan politik yang empuk. Terutama di era ketika angka backlog perumahan Indonesia masih tinggi—sekitar 12,7 juta unit pada 2022, menurut data Kementerian PUPR.
Namun, di tengah keterbatasan anggaran negara dan ketatnya prioritas fiskal, program-program perumahan rakyat sulit terealisasi maksimal. Lalu datanglah inisiatif seperti milik Aguan ini. Lewat CSR Agung Sedayu Group dan jaringan Buddha Tzu Chi, pembangunan rumah untuk rakyat kecil kembali hidup.
Apakah ini membantu pemerintah? Jelas. Tapi jangan lupa, di sinilah titik simpul antara pengusaha dan penguasa mulai terbentuk lebih nyata. Bagaimana hal ini harus dimaknai?
Relasi Bisnis dan Kekuasaan
Aguan bukan nama baru dalam lingkaran kekuasaan. Ia dikenal sebagai sosok low-profile tapi punya jejaring luas. Dari era Presiden SBY, Jokowi, hingga kini Prabowo, namanya tetap bertahan sebagai salah satu pemain utama di balik layar.
Bahkan beberapa waktu lalu, Aguan dan sejumlah konglomerat besar lainnya tercatat bertemu langsung dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Pesan yang disampaikan? Mungkin soal ekonomi, mungkin juga soal sinyal kepercayaan. Dan ketika sinyal itu muncul, relasi yang terbangun bukan hanya soal “siapa bantu siapa”—tapi juga siapa pegang apa.
Dunia politik dan bisnis memang sudah lama saling bersentuhan. Dalam banyak teori, relasi ini disebut sebagai bagian dari state-business relations. Salah satu pemikir utama soal ini adalah Peter Evans lewat konsep embedded autonomy. Menurut Evans, negara yang efektif adalah negara yang mampu menjaga otonominya, tapi juga “tertambat” secara produktif pada pelaku bisnis. Artinya, negara tidak didikte oleh pengusaha, namun tetap menjaga komunikasi intens demi kepentingan bersama.
Namun, bukan berarti semua hubungan seperti itu berujung baik. Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam karya mereka Reorganising Power in Indonesia menyebut bahwa di Indonesia, hubungan antara negara dan pengusaha sering kali bersifat oligarkis. Di sini, kebijakan publik bisa jadi komoditas politik yang ditukar dengan dukungan modal atau legitimasi ekonomi.
Dalam konteks Aguan, kontribusi terhadap program perumahan rakyat tentu saja sangat membantu. Tapi ketika kita bicara soal political conglomerate—yakni konglomerat yang bukan hanya aktif di ekonomi, tapi juga punya pengaruh dalam arah kebijakan negara—maka level kekuatan yang dibicarakan berbeda.
Kita bisa menyebut Aguan sebagai bagian dari kategori ini. Ia bukan sekadar dermawan sosial. Ia adalah figur yang mampu membuka akses proyek, menjembatani komunikasi antara elite politik dan dunia bisnis, hingga ikut menentukan wajah kota lewat proyek raksasa seperti Pantai Indah Kapuk (PIK).
Dengan semua modal itu, maka hubungan antara Maruarar dan Aguan bukan sekadar program sosial, tapi juga kemitraan strategis—yang tentu saja punya efek panjang terhadap kebijakan dan bahkan elektabilitas politik ke depan.
Prabowo di Ujung Jalan
Ketika Presiden Prabowo Subianto resmi memulai masa jabatannya, tantangan ekonomi akan menjadi prioritas utama. Dari soal daya beli yang melemah, pengangguran yang belum tertangani, hingga proyek pembangunan yang memerlukan pembiayaan alternatif di luar APBN. Dalam situasi seperti itu, keterlibatan konglomerat menjadi peluang yang tak bisa diabaikan.
Namun, seperti dua sisi koin, peluang ini juga membawa risiko. Pemerintahan yang terlalu bergantung pada modal swasta bisa kehilangan arah kebijakan. Bahkan, bisa menggeser prioritas dari publik ke privat. Di titik inilah Prabowo harus pandai memainkan peran.
Pertama, ia harus memastikan bahwa kerja sama dengan para konglomerat bersifat transparan dan akuntabel. Program CSR semacam rumah gratis dari Aguan bisa menjadi blueprint—asal dievaluasi dan tidak dikapitalisasi untuk kepentingan elite tertentu.
Kedua, Prabowo perlu membentuk semacam Public-Private Partnership Council yang mewadahi koordinasi antara negara dan pelaku usaha. Di forum ini, kebutuhan rakyat bisa dijadikan bahan diskusi bersama, bukan sekadar dijadikan “ladang branding” untuk kepentingan politik atau bisnis pribadi.
Ketiga, Prabowo harus tetap mengedepankan meritokrasi dalam menentukan siapa yang bisa jadi mitra strategis. Tak semua konglomerat perlu dilibatkan. Yang relevan dengan misi pembangunan, yang punya rekam jejak sosial kuat, dan yang tidak tercemar kasus hukum—itulah yang layak diberi panggung.
Akhirnya, ini soal menjaga jarak yang produktif. Presiden bukan manajer proyek para taipan. Tapi juga bukan musuh alami para konglomerat. Dalam sistem demokrasi yang masih muda dan rapuh seperti Indonesia, relasi semacam ini harus dijaga seimbang.
Kalau tidak? Maka kita akan kembali pada masa ketika negara hanyalah pelayan elite, bukan pelayan rakyat.
Dari dua ribu rumah sederhana yang direnovasi oleh Aguan bersama Maruarar Sirait, kita tidak hanya bicara tentang genteng yang diganti atau dinding yang dicat ulang. Kita sedang melihat peta baru kekuasaan—di mana proyek sosial bukan hanya tindakan mulia, tapi juga strategi politik.
Kita sedang menyaksikan kelahiran sebuah fenomena: The Political Conglomerate. Mereka bukan hanya pebisnis. Mereka adalah aktor politik yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus bantu.
Pertanyaannya tinggal satu: apakah pemerintahan Prabowo akan mampu mengelola kekuatan ini untuk kepentingan rakyat? Atau justru akan terjebak dalam jaring pengaruh yang perlahan tapi pasti memeluk terlalu erat? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)