Dengarkan artikel ini?
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Interpretasi terbuka saat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto tampil begitu percaya diri dan justru sumringah di tengah persidangan terakhirnya pekan lalu. Mengapa demikian? Apakah ada kaitannya dengan implikasi politik-hukum pasca pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarnoputri?
Di tengah sorotan publik yang intens namun cenderung angin-anginan terhadap kasus korupsi eks kader PDIP Harun Masiku yang menyeret nama besar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, sebuah fenomena menarik justru mencuat dari ruang persidangan.
Bukan wajah tegang atau murung penuh beban yang terlihat, melainkan raut sumringah dan percaya diri dari seorang Hasto. Dengan senyum tersungging dan sikap tenang, ia menyapa awak media dengan kalimat, “Tampak fresh kan saya?” pada Kamis, 17 April 2025 lalu.
Lebih dari sekadar ekspresi personal, sikap ini memunculkan beragam penafsiran serta interpretasi di ruang publik.
Alih-alih dibebastugaskan atau digeser secara internal, partai tampak solid menjaga martabat politik Hasto.
Bahkan, dalam dimensi sedikit berbeda, dukungan moril datang dari pihak yang tak lazim dalam kasus hukum politik, yakni kunjungan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, ke rumah tahanan KPK menjelang Paskah, di pekan yang sama pula.
Persidangan pun mengungkap dinamika unik, yakni beberapa saksi yang memberikan testimoni terkesan kurang solid dalam memberikan keterangan yang memberatkan. Salah satunya, mantan Ketua KPU, Arief Budiman.
Kondisi ini seolah memperkuat posisi Hasto bukan hanya sebagai tersangka yang membela diri, tetapi juga sebagai aktor politik yang sedang “bermain panjang.”
Lebih jauh, muncul pertanyaan menarik yang sederhana, mengapa Hasto menunjukkan ekspresi tersebut?
Politik Martabat PDIP?
Sebagaimana penafsiran-penafsiran sebelumnya, kasus Hasto sempat dinilai bukan semata kasus hukum, melainkan episode dari panggung besar politik Indonesia yang juga berpengaruh dan memengaruhi dinamika politik kekinian.
Dalam konteks ini, satu hal pertama yang muncul adalah gestur PDIP yang tetap teguh di belakang Hasto dan tampak memainkan politik martabat. Tak lain, dengan tetap menjaga simbol, mempertahankan posisi, dan menunjukkan bahwa partai tidak goyah meski berada di bawah tekanan.
Hal seperti ini biasanya tak terjadi di partai politik lain, yang justru dengan cepat melakukan penon-aktifan atau bahkan pemecatan sebelum memberikan statement normatif “menghormati proses hukum”.
Penting untuk memahami bahwa dalam politik Indonesia, terutama yang diwarisi dari logika kekuasaan Orde Baru dan diwarisi sebagian oleh Reformasi, jabatan struktural dalam partai memiliki nilai simbolik yang tinggi. Utamanya, dalam case PDIP.
Posisi Hasto sebagai Sekjen bukan hanya soal fungsi administratif, tetapi representasi langsung dari garis ideologis partai, loyalitas kepada ketua umum, dan integritas kekuasaan internal PDIP.
Mempertahankan Hasto pada posisinya mengirimkan pesan ke publik dan elite politik bahwa PDIP tidak tunduk pada tekanan eksternal dan akan “melindungi” kader intinya. Tentu, dalam hal ini bukan dan seharusnya tidak dalam konteks “melindungi” dengan merintangi proses hukum.
Bahkan, ketika berhadapan dengan lembaga penegak hukum sekalipun, partai tetap menjaga soliditasnya. Strategi ini serupa dengan pendekatan “rally around the flag” dalam politik krisis, di mana institusi mengerahkan semua sumber daya simbolik dan struktural untuk menjaga kehormatan pusat kekuasaan.
Satu interpretasi lain, sikap percaya diri Hasto juga tak bisa dilepaskan dari pemahaman atas kalkulasi kekuasaan dalam dimensi tertentu, yakni Hasto bukan hanya tersangka, melainkan variabel penting dalam arena pasca Pemilu dan Pilpres 2024.
Dengan posisi PDIP sebagai partai besar yang berpotensi tetap menjadi penentu dalam dinamika pemerintahan Presiden Prabowo, Hasto agaknya mengerti bahwa perannya tak sekadar sebagai tersangka, tetapi juga pion strategis dalam percaturan politik nasional.
Di titik lain dan sebagai akumulasi, disinilah dukungan moral dari tokoh Gereja Katolik memiliki signifikansinya.
Terlepas dari pro-kontra yang mengiringinya, kunjungan Kardinal Suharyo bukan peristiwa biasa, melainkan simbol bahwa Hasto masih dipandang sebagai figur publik yang layak mendapat empati, bahkan pembelaan moral, bahkan meski berada dalam tahanan.
Dalam keterkaitannya dengan konteks politik, hal ini adalah bentuk redemption capital di mana menggambarkan modal simbolik yang dipakai untuk menegaskan bahwa seseorang belum jatuh, dan bahkan sedang disiapkan untuk “comeback.”
Ada Faktor Megawati–Prabowo?
Jika politik adalah seni membaca isyarat, maka pertemuan antara Megawati dan Presiden Prabowo dapat dibaca sebagai dialog kekuasaan yang lebih dalam dari sekadar silaturahmi biasa.
Sejak Pilpres 2024 selesai, peta koalisi politik Indonesia tampak memasuki fase konsolidasi yangn cair, partai-partai mulai melakukan penyesuaian strategi untuk tetap relevan di bawah pemerintahan baru. Termasuk korelasinya dengan poros kekuatan Joko Widodo (Jokowi).
Dalam konteks ini, pertemuan dua tokoh besar itu membuka ruang interpretasi bahwa komunikasi elite sudah mencapai fase “diplomasi sunyi.”
Istilah “diplomasi sunyi” sendiri merujuk pada komunikasi nonformal, tertutup, dan kerap bersifat simbolik, namun berdampak besar pada struktur relasi kuasa.
Dalam banyak kasus, pertemuan semacam ini menjadi penentu arah hukum-politik atau politik-hukum terhadap kader atau tokoh atau dinamika tertentu.
Menjadi rahasia umum dalam politik Indonesia, proses hukum tidak sepenuhnya steril dari pertimbangan politik, dan pertemuan Prabowo-Megawati bisa saja menandai dimulainya negosiasi atau bagian dari skenario tertentu menjaga stabilitas.
Perspektif bargaining in the shadow of the law kiranya bisa menjadi rujukan dalam membaca dinamika ini. Dalam konsep tersebut, proses hukum bukan semata ruang rasional mencari kebenaran, tetapi tempat kompromi politik dinegosiasikan di bawah bayang-bayang hukum.
Dalam konteks Hasto, jika PDIP menawarkan agenda serta dukungan politik tertentu kepada pemerintahan Prabowo, maka bukan tidak mungkin tekanan terhadap Hasto akan berkurang. Bukan melalui pembatalan proses hukum, tetapi dengan cara penyesuaian irama dan dinamika kasusnya.
Posisi Hasto sebagai “korban struktural” dari peristiwa yang telah berlangsung lama (kasus Harun Masiku bermula sejak 2020) juga dapat digunakan sebagai narasi bersama.
Di tengah upaya rekonsiliasi nasional, kader yang dianggap “bermasalah” bisa dijadikan martir atau simbol dari beban masa lalu yang harus dikubur bersama demi stabilitas pemerintahan baru.
Bagaimanapun, penjabaran di atas masih merupakan interpretasi semata yang sifatnya relatif.
Kendati demikian, case ekspresi sumringah Hasto seolah menguak satu hal, dalam politik Indonesia, sumringah bukanlah tanda ketidakpedulian, tetapi sinyal bahwa seorang aktor atau entitas di baliknya masih memiliki daya tawar. Bahkan dari balik jeruji besi atau pusaran kasus hukum, semoga tidak selalu demikian. (J61)