Perang di Ukraina membuat Rusia kehilangan banyak sumber dayanya, menariknya, mereka masih bisa produksi kekuatan militer yang relatif bisa dibilang setimpal dengan sebelum perang terjadi. Mengapa demikian?
Per April 2025, jumlah korban di pihak militer Rusia dalam perang melawan Ukraina telah menembus angka 750.000 jiwa, menurut data dari Angkatan Bersenjata Ukraina. Bahkan, estimasi dari Kementerian Pertahanan Inggris menyebutkan bahwa total korban bisa mencapai hingga 900.000 orang, termasuk hingga 250.000 tentara yang tewas.
Angka ini secara mencolok melampaui populasi kota-kota besar dunia seperti Amsterdam, Marseille, San Francisco, hingga Provinsi Yogyakarta. Tak hanya itu, ribuan unit tank, kendaraan lapis baja, artileri, dan pesawat tempur milik Rusia juga telah hancur dalam konflik yang terus berlarut sejak Februari 2022. Diperkirakan lebih dari setengah dari total armada tank aktif Rusia sebelum perang kini telah musnah di medan tempur.
Namun, yang mengejutkan dunia adalah bahwa dengan kerugian sebesar ini, Rusia belum juga runtuh. Alih-alih bangkrut atau menyerah seperti yang kerap diprediksi oleh berbagai analis Barat sejak awal perang, negara itu justru menunjukkan daya tahan yang luar biasa. Perekonomiannya memang terguncang, tetapi masih berjalan.
Logistik militer mereka masih mengalir. Bahkan, produksi persenjataan dan perekrutan personel militer tetap berlanjut dalam skala besar. Maka, pertanyaan penting pun muncul: bagaimana Rusia bisa terus bertahan dalam kondisi kehancuran seperti ini?

Kunci Bertahannya Sumber Daya Rusia?
Salah satu kunci utama bertahannya Rusia dalam perang berkepanjangan ini adalah transformasi strukturalnya ke dalam apa yang bisa disebut sebagai “ekonomi perang total.” Konsep ini pertama kali dirumuskan secara formal oleh ekonom Nazi Jerman, Fritz Todt dan Albert Speer, namun telah diadaptasi oleh banyak negara dalam sejarah.
Dalam konteks Rusia, transformasi ini melibatkan alokasi besar-besaran anggaran negara untuk sektor militer, pengalihan industri sipil menjadi industri pertahanan, serta mobilisasi sumber daya manusia untuk kepentingan perang, yang salah satunya disebut mencakup kebijakan “conscripting” atau wajib militer, dan prediksi intelijen Barat yang mencurigai adanya rekrutmen tenaga manusia dari sejumlah negara sekutu Rusia.
Kedua, faktor geopolitik juga berperan besar. Rusia telah berhasil menjaga dan bahkan memperkuat hubungan strategis dengan negara-negara seperti Tiongkok, Iran, dan India. Melalui aliansi ini, Rusia tidak hanya mendapatkan dukungan politik di forum internasional, tetapi juga akses terhadap pasar dan teknologi penting yang memungkinkan mereka untuk mengakali sanksi Barat.
Hal ini menunjukkan bahwa Rusia menerapkan prinsip realisme dalam politik internasional, di mana survival negara adalah tujuan utama, dan segala cara yang memperkuat posisi negara sah untuk dilakukan.
Ketiga, Rusia juga memanfaatkan kekuatan propaganda domestik dan kontrol informasi yang ketat untuk memastikan stabilitas sosial internal. Dengan mengontrol narasi di dalam negeri, Kremlin mampu mengatur persepsi publik tentang perang, mengubahnya dari tragedi menjadi heroisme nasional. Ini berkaitan dengan teori hegemoni budaya Gramscian, di mana negara mengendalikan kesadaran kolektif masyarakat untuk memperkuat legitimasi kekuasaan.
Namun, ada satu faktor tambahan yang tidak boleh diremehkan: kemampuan Rusia dalam memproduksi alutsista murah dan berskala besar melalui pendekatan “makeshift warfare.” Banyak laporan menyebut bahwa Rusia kini memproduksi drone, kendaraan tempur, hingga sistem rudal dengan teknologi yang lebih sederhana namun efektif, bahkan dengan menggunakan komponen sipil.
Meskipun kualitas tempurnya menurun, kuantitas menjadi kunci. Dalam strategi perang konvensional, seperti yang dikemukakan oleh Liddell Hart, strategi indirect approach memungkinkan kemenangan bukan lewat superioritas teknologi, melainkan melalui pengurasan sumber daya lawan—dan Rusia tampaknya bermain di arena ini dengan sangat sadar.

Akankah Bertahan Terus?
Melihat kenyataan di lapangan, tampaknya perang kini telah menjadi mesin ekonomi baru bagi Rusia. Hal ini bukan tanpa preseden historis. Uni Soviet, pendahulu Rusia modern, telah lama mempertahankan struktur ekonomi yang mampu bertahan dari tekanan eksternal meski berada dalam kondisi konflik panjang dan sanksi ekonomi. Kita bisa melihat pola yang serupa, di mana kekuatan industri militer dan kedisiplinan sosial-politik menjadi basis utama daya tahan negara.
Dalam kerangka filosofis, mungkin Rusia sedang menjalani semacam realisasi dari gagasan Friedrich Nietzsche tentang “Will to Power“—kehendak untuk bertahan dan berkuasa, bahkan di tengah penderitaan ekstrem. Atau, kita bisa menilik Giorgio Agamben, yang membahas bagaimana negara dalam keadaan darurat bisa menciptakan bentuk kekuasaan baru yang justru menguatkan legitimasi, bukan melemahkannya.
Namun, seberapa lama strategi ini bisa bertahan? Apakah ekonomi Rusia akan terus mampu menopang beban perang tanpa henti ini? Akankah masyarakat Rusia tetap bisa menerima pengorbanan besar yang mereka tanggung? Apakah makeshift warfare bisa terus melawan teknologi Barat yang semakin presisi dan canggih? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang kini perlu dijawab.
Maka, publik global pun layak bertanya: apakah model ketahanan Rusia ini akan menginspirasi, atau justru memperingatkan kita bahwa dalam perang modern, ketangguhan bukan hanya soal teknologi, tetapi soal seberapa besar negara mampu bertahan dalam logika kehancuran yang terus berulang? (D74)