HomeCelotehKanjuruhan, Semua Salah Gas Air Mata?

Kanjuruhan, Semua Salah Gas Air Mata?

“Tidak satupun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen” –  Irjen Dedi Prasetyo, Kepala Divisi Humas Mabes Polri


PinterPolitik.com

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering menjumpai fakta yang bertolak belakang dengan harapan kita – semisal mencintai orang yang mungkin tidak akan dimiliki. Meski akhirnya mengecewakan, lambat laun kita bisa menerimanya. 

Berbeda dengan inkonsistensi antara harapan dengan kenyataan, ada hukum alam yang disebut “kausalitas” atau sebab akibat yang suka tidak suka harus kita terima sebagai konsekuensi logis dari kenyataan. 

Namun, sering kali kausalitas ini luput dari cara berpikir manusia. Hal ini sesuai dengan kritik Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur yang menyoroti pernyataan Polri yang menyebutkan bahwa gas air mata bukanlah penyebab utama kematian. 

Isnur menilai Polri tengah menolak konsep kausalitas dalam Tragedi Kanjuruhan. Padahal, sudah jelas bahwa penyebab utamanya kepanikan adalah gas air mata. 

Sedikit memberikan konteks, sebelumnya pihak Polri mengklaim bahwa penggunaan gas air mata dalam skala tinggi tidak mematikan – bahkan dengan tegas menyebut gas air mata bukan penyebab jatuhnya 131 korban di Kanjuruhan. 

Selain dari YLBHI, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menolak pernyataan gas air mata bukan penyebab kematian. 

Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengungkapkan bahwa sebenarnya Tragedi Kanjuruhan dapat dicegah jika polisi cukup menggunakan gas air mata yang kapasitasnya untuk meredam agresivitas massa. 

image 74
Mengapa Harus Gas Air Mata?

Anyway, persoalan ini menjadi menarik karena muncul kesan kalau polisi ingin cuci tangan atas Tragedi Kanjuruhan ini. Tentu, ini berkaitan dengan konteks hukum kausalitas antara gas air mata dengan kematian. 

Seolah pernyataan polisi memperlihatkan cara berpikir sebab akibat yang keliru, yang dalam istilah Latin disebut dengan “Non causa pro causa” atau “Post-hoc ergo propter hoc”. 

Sederhananya ungkapan ini memperlihatkan adanya kesalahan bernalar, yang sering terjadi kepada seseorang yang keliru mengidentifikasi penyebab suatu kejadian. 

Ungkapan ini mengajarkan kita bijak dalam melihat fenomena sosial politik, termasuk hukum, karena pada kenyataannya berpikir hanya merujuk pada pendekatan monokausalitas akan membuat kita terlalu deterministis. 

Melihat bahwa keniscayaan sebab akibat dengan mengembalikan kausalitas suatu peristiwa pada satu faktor saja. Padahal, ada konsep lain, seperti multi-kausalitas, yang meyakini sebuah peristiwa dilatarbelakangi berbagai faktor. 

Teori multi-kausalitas menjelaskan suatu peristiwa dengan berbagai penyebab. Namun, hal ini tidak cukup. Dalam hukum pidana, ada faktor lain yang juga digunakan untuk menuntut pelaku untuk bertanggung jawab. 

Eva Achjani Zulfa dalam tulisannya Hukum Pidana Materil & Formil: Kausalitas mengungkapkan bahwa, selain kausalitas, perlu ada unsur kesalahan yang merujuk

Dalam melihat rangkaian peristiwa pidana, perlu melihat unsur “kontrol pelaku” sebagai syarat peristiwa disebut sebagai tindak pidana. Unsur ini ingin melihat ada tidaknya kehendak bebas pelaku dalam sebuah peristiwa.

Literasi Ilmu Hukum mengenal teori Der meist wirksame bedingung yang dicetuskan oleh Birkmeyer. Menurut teori ini, dari rangkaian faktor-faktor, terbentuk kejadian ada faktor yang paling besar pengaruhnya atas sebuah  kejadian (meist wirksame).

Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya akibat (meist wirksame) di antara rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat.

Nah, teori ini setidaknya bisa menjadi titik terang bahwa perlu memahami syarat  yang  paling  besar  pengaruhnya dan yang paling dekat jaraknya terhadap timbulnya akibat. 

Kembali ke konteks pernyataan polisi terkait penyebabnya tragedi, hal ini akan menurunkan citra kepolisian yang sedang dibangun kembali oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. 

Polisi, layaknya seorang ksatria, bukan hanya sebagai pencipta kedamaian tapi juga punya nilai–nilai kepemimpinan. Salah satunya adalah siap bertanggung jawab, jika memang benar kesalahan bermula dari dirinya.

Hmm, biasanya sikap ksatria ini punya antitesis, yaitu seorang pengecut – orang yang dalam peribahasa diumpamakan sebagai “orang yang suka lempar tangan sembunyi batu.” Eh, sebaliknya, ya? Uppsss. Hehehe. (I76)


Mobokrasi, Putin Pakai Jasa Mafia?
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...