HomeCelotehJokowi Lawan Kejahatan Statistik?

Jokowi Lawan Kejahatan Statistik?

“Jadi memang ada yang berusaha agak mengecilkan jumlah kematian karena Covid-19. Tapi itu kan berbahaya, seakan-akan kita bilang prevalensi seperti itu, menularnya sedikit jadinya”. – Akmal Taher, mantan Kepala Bidang Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19


PinterPolitik.com

Sejak pertama kali digunakan oleh para ahli matematika dan kriptografi Arab di era Islamic Golden Age antara abad ke-8 hingga abad ke-13 masehi, statistik telah memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan manusia.

Al-Khalil (717-786) misalnya, dalam bukunya Book of Cryptographic Messages memuat semua kemungkinan kata-kata bahasa Arab tanpa huruf vokal dengan menggunakan permutasi dan kombinasi yang merupakan bagian dari statistika. Ini kemudian berkembang di era-era selanjutnya dan menandai makin majunya ilmu statistika.

Kini, statistik menjadi bagian yang integral dari kehidupan manusia, termasuk ketika penggunaannya membantu pemerintah dan berbagai perangkat pembuat kebijakan di seluruh dunia merumuskan langkah yang tepat dalam penanganan pandemi Covid-19.

Sayangnya, beberapa waktu terakhir, isu yang berkembang – terutama di Indonesia – agak kurang “sedap terasa”. Pasalnya, pemerintah dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk mendefinisikan ulang kasus kematian akibat Covid-19.

Jadi, nantinya yang dianggap meninggal akibat Covid-19 tidak lagi mencakup mereka yang meninggal “dengan Covid-19” alias yang punya penyakit bawaan lainnya. Soalnya banyak kan yang meninggal saat menderita Covid-19, tetapi juga diserta penyakit bawaannya kayak diabetes, jantung, dan lain sebagainya.

Jika jadi diberlakukan, pada akhirnya angka kematian akibat Covid-19 hanya terbatas pada mereka yang meninggal benar-benar karena virus tersebut, yakni yang menderita pneumonia akut seperti yang menjadi ciri akut penyakit tersebut. Banyak yang bilang tujuan dari usulan ini adalah untuk “menekan” angka kematian dan memudahkan pembuatan kebijakan yang lebih longgar terhadap ekonomi.

Baca juga :  MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Sayangnya, upaya pemerintah ini dianggap sebagai pembohongan. Bahkan epidemiolog seperti Pandu Riono menyebut hal ini sebagai “kejahatan” karena berbohong dengan statistik.

Beh, keras banget tuh tuduhannya. Tapi, konteks pembohongan lewat statistik ini emang seperti yang pernah ditulis oleh penulis asal Amerika Serikat, Darrel Huff lewat bukunya yang berjudul How to Lie with Statistics yang terbit pada tahun 1954.

Sosoknya kemudian menjadi kontroversi karena pada tahun 1960-an, industri tembakau memberikannya dana untuk menulis buku kedua berjudul How to Lie with Smoking Statistics yang berisi pembelaan terhadap industri rokok dengan menggunakan statistik. Buku tersebut memang tidak pernah terbit di kemudian hari, namun Huff udah kadung jadi bulan-bulanan kritik dari para ahli statistik karena membela aktivitas merokok yang udah jelas-jelas berdampak buruk bagi kesehatan.

Hmm, jadi Pak Jokowi kudu lebih serius memperhatikan persoalan ini nih. Jangan sampai deh pemerintah kita jadi kayak Huff yang karena persoalan “dana” akhirnya mencoba membuat sebuah kebohongan statistik. Jangan sampai kita malah jadi “huft”. Uppps. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Pendapat menarik diungkapkan oleh Denny Indrayana yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja hanya mendiskualifikasi Gibran dan tetap mensahkan kemenangan Prabowo sebagai presiden.