Holywings akhirnya ditutup oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan karena promosi minuman alkohol gratis bagi pelanggan yang bernama Muhammad dan Maria. Namun, perkembangan isunya yang menyerempet ke persoalan identitas bisa menjadi poin menarik terkait kiprah Anies jelang Pilpres 2024.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengambil keputusan untuk menutup Holywings, setelah viralnya kasus promosi penjualan minuman keras yang menyerempet ke isu agama dan identitas. Keputusan Anies ini juga mendapatkan banyak dukungan publik loh.
Kalau diperhatikan, seperti diberitakan di banyak media, terdapat 13 outlet Holywings ditutup oleh Pemprov DKI Jakarta. Tapi alasannya bukan karena promo menggunakan nama Muhammad dan Maria, melainkan karena persoalan izin usaha Holywings yang disebut bermasalah.
Sontak masyarakat memberikan penilaian yang positif terhadap keputusan Anies. Bahkan beberapa pengamat politik menilai tindakan Anies akan berdampak terhadap elektabilitasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Anies akan cenderung naik setelah penutupan Holywings. Lebih spesifik, Dedi menyebut dukungan bisa saja berasal dari kelompok tertentu.
Sedikit memberikan konteks, kelompok tertentu yang dimaksud Dedi kemungkinan berasal dari spektrum politik konservatif. Ya, kelompok ini yang dianggap memiliki kecocokan dengan keputusan Anies karena memihak kelompok Islam.
Fenomena Anies saat ini dapat dikatakan sebanding dengan Jokowi effect pada medio 2014. Jika memperhatikan pemberitaan media, banyak tulisan maupun pembicaraan virtual menyebutkan Anies tipikal pemimpin populer karena kerap mendapatkan respons dengan nada positif dari warganet.
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, dalam analisanya tentang fenomena Anies, mengatakan bahwa praktik-praktik populisme memang selalu berhasil menarik simpati masyarakat. Namun, di era serba keterbukaan ini, tidak sulit untuk membedakan, mana populisme nyata dan mana populisme yang semu.
Istilah populisme nyata mungkin bermaksud untuk mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Anies bersandar pada idealisme, di mana Anies dengan kemampuan retorikanya mampu membuat ruang diskursif dengan kelompok masyarakat yang dianggap memperjuangkan kepentingan mereka. Sedangkan populisme semu kebalikan dari hal ini.
Noam Gidron dan Bart Bonikowski, dalam tulisannya Varieties of Populism: Literature Review and Research Agenda, dengan merujuk salah satu sarjana, yaitu De la Torre, menganalisis fenomena populisme di Amerika Latin dan mendefinisikan populisme sebagai sebuah “retorika” yang menafsirkan politik sebagai moral dan etika perjuangan antara rakyat melawan oligarki.
Populisme muncul sebagai sumber perubahan dengan menggunakan retorika untuk menarik rakyat. Bentuk yang diskursif tersebut menuntut kebijakan programatik, dan juga memiliki simbol atau isu-isu yang kuat dan sensitif, misalnya saja mengenai isu agama, etnis, dan sebagainya.
Hmm, bisa jadi popularitas Anies ini ibarat kotak pandora ya. Yups, kotak pandora yang ada dalam cerita mitologi Yunani itu loh. Kotak itu kerap diceritakan bentuknya seperti peti harta karun yang penuh pernak-pernik.
Namun, kotak pandora punya syarat mutlak yang tak boleh dilanggar, yaitu kotak tersebut tak boleh dibuka sampai kapan pun. Ini karena kotak itu sebenarnya diisi oleh berbagai macam bencana yang kelak akan terus menimpa manusia.
Jadi, Bang Anies harus lebih hati-hati nih. Takutnya, popularitas yang sudah terbangun baik selama ini bisa sirna karena isu-isu yang dianggap hanya mendukung kelompok atau agama tertentu saja.
Apalagi, banyak dari masyarakat kita yang cenderung alergi sama isu-isu seperti itu. Walaupun kalau alergi sih bukan kotak pandora yang dibuka, tapi kotak P3K kali ya. Upss. (I76)